Minggu, 17 Juni 2012

makalah strategi dakwah di sekolah



















BAB I
PENDAHULUAN


Dakwah secara esensi memiliki satu kata kunci yakni ishlah atau perbaikan. Perbaikan yang dimaksudkan di sini adalah perbaikan dalam perspektif Islam dan perbaikan dalam arti sebuah proses yang terarah dan berkesinambungan. Dalam perspektif Islam dakwah berarti sebuah proses untuk mengajak seluruh manusia dari penghambaan kepada makhluk menuju penghambaan kepada Allah semata secara paripurna.
Dalam melaksanakan dakwah, dituntut menguasai setiap permasalahan dalam dakwah. Salah satu hal yang menjadi titik tolak keberhasilan dakwah adalah penggunaaan media sebagai perantara dalam dakwah. Banyak sekali media yang dapat digunakan dalam berdakwah atau yang sering disebut sebagai media dakwah, seperti dakwah dengan media massa, atau dakwah dengan partai politik. Namun dalam kesempatan ini mari kita diskusikan dakwah dalam lembaga keluarga dan lembaga pendidikan islam.
Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak hingga dewasa, suatu tahap kehidupan yang bersifat peralihan dan tidak tetap. Remaja selalu penuh dengan gejolak dan keinginan besar. Remaja ingin menyesuaikan diri dalam masyarakat, ingin diakui oleh masyarakat bahwa ia telah dewasa. Rasa ingin tau yang tinggi dapat menjerumuskan remaja pada hal-hal negatif apabila tidak diberikan pendidikan dan pengarahan pada mereka. Begitu banyak remaja yang menghabiskan waktu luang mereka dengan  nongkrong tidak karuan di jalanan, ikut-ikutan teman yang sering mengkonsumsi minuman keras bahkan terjerumus pada penggunaan zat psikotropika dan seks bebas.
Berdasarkan uraian di atas penulis akan membahas tentang Strategi Dakwah di Sekolah.



BAB II
PEMBAHASAN


A.      Pengertian Dakwah
Pembicaraan tentang dakwah Islam selalu merujuk pada pola-pola perilaku dakwah Nabi dengan para sahabatnya. Proses dakwah pada saat itu telah memberikan bentuk yang khas sesuai dengan tingkatan peradaban masyarakat. Dakwah Rasulullah SAW yang dilakukan di tengah masyarakat jahiliyah ketika beliau tinggal di Makkah menunjukkan pola yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan dakwah Rasulullah SAW di Madinah. Bahkan seolah-olah Tuhan sendiri mengisyaratkan pendekatan dakwah yang berbeda antara kedua model masyarakat tersebut dengan memberikan ciri-ciri tersendiri pada ayat Al Qur’an yang diwahyukan.
Dakwah secara bahasa berarti ajakan, seruan (Sanwar, 1985: 3). Sedangkan secara istilah ada beberapa pendapat mengenai definisi dakwah, di antaranya adalah:
Pertama, H. M. Arifin dalam bukunya yang berjudul Psikologi Dakwah mengungkapkan bahwa dakwah mengandung pengertian sebagai suatu kegiatan ajakan, baik dalam bentuk lisan, tulisan, tingkah laku dan sebagainya yang dilakukan secara sadar dan berencana dalam usaha mempengaruhi orang lain, baik secara individual maupun kelompok agar supaya timbul dalam dirinya suatu pengertian, kesadaran, sikap, penghayatan serta pengamalan terhadap ajaran agama sebagai message (pesan) yang disampaikan kepadanya dengan tanpa adanya unsur-unsur paksaan (Arifin, 1993: 17).
Kedua, pengertian dakwah menurut Hamzah Ya’kub adalah mengajak umat manusia dengan hikmah kebijaksanaan untuk mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-rasul-Nya (Ya’kub, 1981 : 23).
Ketiga, Hasymi mengungkapkan bahwa dakwah adalah mengajak orang lain untuk meyakini dan mengamalkan akidah dan syari’at Islam yang lebih dahulu telah diyakini dan diamalkan oleh pendakwah (Hasymi, 1974 : 28).
Berdasarkan beberapa pengertian tentang dakwah di atas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa dakwah merupakan serangkaian aktivitas mensosialisasikan ajaran-ajaran dan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam dengan hikmah dan kebijaksanaan agar mereka mengerti, memahami dan melaksanakan pesan tersebut guna mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

B.       Dasar Hukum Dakwah
Titik  tolak atau pijakan untuk mendasari hukum dakwah adalah Al-Qur’an dan Hadits. Berdasarkan kedua sumber hukum Islam tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa dakwah merupakan kewajiban bagi setiap manusia yang mengaku dirinya telah Islam. Tidak ada alasan lain untuk meninggalkan aktivitas dakwah kecuali manusia telah meniggalkan dunia yang fana ini. Dakwah yang dimaksud dalam pengertian di sini bukan hanya pidato, melainkan mencakup pengertian yang luas dan meliputi seluruh aspek atau bidang kehidupan (Abda, tth: 34). Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat An-Nahl “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. An-Nahl : 125) (Depag RI, 1982 : 421).

Kata ud’u dalam ayat di atas diterjemahkan dengan arti seruan dan ajakan. Kata ud’u merupakan fi’il amar yang berarti perintah dan setiap perintah adalah wajib serta harus dilaksanakan selama tidak ada dalil lain yang memalingkannya dari kewajiban itu kepada sunnah atau hukum lain. Jadi, melaksanakan dakwah adalah wajib karena tidak ada dalil-dalil lain yang memalingkannya dari kewajiban itu dan hal ini disepakati oleh para ulama’. Dengan demikian dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa hukum melaksanakan dakwah adalah wajib (fardhu ‘ain) dan harus dilaksanakan oleh setiap muslim.
Berkaitan dengan hukum dakwah, ada perbedaan pendapat antara ulama’ yang satu dengan ulama’ yang lain, yakni ulama’ yang berpendapat bahwa hukum dakwah adalah fardhu ‘ain dan ulama’ yang berpendapat bahwa hukum dakwah adalah fardhu kifayah. Pendapat ulama’ yang pertama mengatakan bahwa dakwah itu hukumnya fardhu ‘ain, maksudnya setiap orang Islam yang sudah baligh (dewasa), kaya, miskin, pandai dan bodoh semuanya tanpa kecuali wajib melaksanakan dakwah. Sedangkan ulama’ yang berpendapat bahwa hukum dakwah adalah fardhu kifayah mempunyai maksud bahwa apabila dakwah sudah dilaksanakan oleh sebagian atau sekelompok orang, maka jatuhlah kewajiban dakwah itu dari kewajiban seluruh kaum muslimin sebab sudah ada yang melaksanakannya walaupun hanya sebagian orang (Sanwar, 1985 : 34-35).
  Perbedaan pendapat para ulama’ di atas disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran terhadap Al-Qur’an Suarat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi :
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. Ali Imran : 104) (Depag RI, 1982 : 93).

Perbedaan penafsiran tersebut terletakمنكم (minkum). Min di sini diberi pengertian littabidh yang berarti sebagaian, sehingga menunjukkan kepada fardhu kifayah. Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa min mempunyai maksud littabyin yang berarti menerangkan, sehingga menunjukkan kepada hukum fardhu ‘ain (Sanwar, 1985 35).

C.      Dakwah Dalam Lembaga Pendidikan Formal
Setelah mendapatkan pendidikan Islam di dalam lingkungan keluarga, maka langkah selanjutnya adalah memberikan anak-anak kita untuk mengenyam pendidikan di lingkungan formal. Lembaga pendidikan formal dapat juga dikategorikan sebagai media dakwah, yakni sebuah alat yang dapat digunakan untuk berdakwah kepada peserta didik.
Setelah mendapat pengetahuan awal dari orang tua, dan masyarakat yang secara tidak langsung memberikan berbagai pengetahuan dasar, namun dirasakan belum sistematis. Pengetahuan anak yang diperoleh hanya dari peniruan, pengulangan atau kebiasaan. Diperlukan sebuah kegiatan yang terstruktur dalam berdakwah. Salah satunya adalah didirikannya lembaga lembaga formal pendidikan Islam.
Pendidikan siswa artinya lembaga pendidikan yang memiliki kurikulum, siswa sejajar kemampuannya, pertemuan rutin, dan sebagainya. Contohnya adalah sekolah dan lain sebagainya. Di dalam pedidikan formal, terdapat proses belajar mengajar. Sebuah usaha untuk mengajarkan pendidikan agama yakni dengan usaha usaha secara sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik agar mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam. Dengan pendidikan agama yang terdapat di dalam lembaga formal tersebut, menjadikan ia sebagai sebuah media dakwah yang dapat digunakan oleh dai.
Lembaga pendidikan Islam di Indonesia, dapat dikategorikan kedalam tiga kelompok, yakni pesantren, madrasah dan sekolah. Dimana ketiganya sama-sama mencoba mendidik generasi penerus bangsa kearah yang lebih baik sesuai dengan ajaran Islam. Pesantren sendiri atau lebih dikenal dengan sebutan pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tradisional tertua di Indonesia. Pondok berasal dari bahasa Arab funduq yang artinya tempat menginap atau asrama, sedangkan pesantren adalah berasal dari kata santri,  bahasa tamil yang berarti para penuntut ilmu.
Jadi jika digabungkan pondok pesantren adalah tempat belajar atau tempat mencari ilmu para santri denga bertempat tinggal atau mukim disana. Kemudian karena makna yang terkandung dalam namanya itu, pondok pesantren selalu tampil dengan unsure aslinya yakni pondok, mesjid, pengajian kitab kita klasik atau kitab kuning, santri, kiayi atau guru ngaji. Kelima unsure tersebut selalu ada dalam sebuah pondok pesantren. (Zamakhsyari dhofier,1983:43).
Pada awal perkembangannya, ada dua fungsi pondok pesantren, yakni sebagai lembaga pendidikan, dan kedua sebagai lembaga penyiaran agama. Pada masa colonial dahulu, pondok pesantren mempunyai peranan yang aktif dalam menentang penetrasi kolonialisme dengan uzlah yakni menutup diri daripengaruh luar.
Kedua dari lembaga pendidikan formal Islam adalah madrasah. Lembaga ini muncul pada permulaan abad ke 20. Madrasah berasal dari bahasa arab, darasa yang artinya belajar. Jadi madrasah adalah tempat belajar. Lembaga ini muncul dikarenakan beberapa alasan diantaranya, sebagai manifestasi dan realisasi cita cita pembaharuan dalam system pendidikan islam di Indonesia. Selain itu juga sebagai salah stu usaha menyempurnakan system pendidikan pesantren yang dipandang tidak memungkinkan lulusannya memperoleh kesempatan kerja dibanding lulusan dari sekolah colonial belanda waktu itu. Dan terakhir alasannya adalah adanya sikap sementara umat islam yang lebih condong mengikuti system pendidikan ala barat yang lebih memungkinkan anak anak mereka lebih maju dalam ilmu, ekonomi dan teknologi.
Lembaga pendidikan formal ketiga dalam Islam adalah sekolah Islam. Lembaga ini merupakan pengembangan dari madrasah dengan falsafah yang dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Barat. Kurikulumnya lebih dekat dengan sekolah-sekolah umum.
Di dalam pendidikan formal terdapat seorang guru sekaligus dai yang tugasnya bukan semata mata utuk mengajarkan ilmu agama atau islamologi, melainkan juga mendidik. Karena mengajar hanyalah memberikan pengetahuan agama saja, sehingga anak padai ilmu agama tapi tidak taat terhadap ajaran agama.  Sebaliknya mendidik mempunyai arti menanamkan tabiat kepada anak anak agar mereka taat kepada ajaran agama (membentuk pribadi muslim).
Itulah lembaga lembaga formal pendidikan islam yang bias dijadikan sebagai media dalam berdakwah.



D.      Kelemahan Dan Keuntungan Dakwah Dalam Lembaga Pendidikan
Pendidikan sebagai lembaga juga memiliki kelemahan dan juga kelebihan untuk dijadikan acuan bagi kesuksesan dakwah. Diantara kelemahannya adalah :
1.        Siswa hanya mementingkan disiplin ilmunya (nilai/skor) untuk kenaikan atrau kelulusan sekolah, tapi tidak taat kepada ajaran agama
2.        Kurikulum pendidikan agama yang terlalu tinggi dan luas, mengakibatkan guru hanya mengindahkan habisnya bahan pelajarannya tanpa mengutamakan pendidikan agama dan dakwah islamiyah
3.        Bila mayoritas personil sekolah beragama non islam, pendidikan agam,a islam agak terlambat
4.        Pendidikan formal, hanya terbatas pada usia usia tertentu.
Adapun keuntungan dakwah dalam lembaga pendidikan adalah :
1.        Sasaran dakwah (siswa) memiliki kemampuan yang relative sama. Dengan kemampuan itu memudahkan dai untuk menentukan strategi dakwah
2.        Waktu pertemuan masuk rutin dan kontinyu
3.        Missi dakwah bukan saja melalui pendidikan agama, akan tetapi bidang bidang yang lain seperti pendidikan social atau pendidikan moral.
4.        Kaum terpelajar artinya dakwah islam mudah diterima karena islam adalah agama yang rationil
5.        Penyelenggaraan pendidikan agama maupun kegiatan kegiatan agama lainnya mendapatkan perlindungan dan dukungan pemerintah dan masyarakat.

E.       Metode Penyampaian Pesan Dakwah
Beberapa metode penyampaian pesan dakwah telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, di antaranya adalah melalui media tulisan (dakwah bil qalam). Penerapan metode  ini dapat dilihat melalui sejarah dakwah Rasulullah SAW, yaitu pada tahun ke IV H beliau menerapkan suatu metode dakwah dengan menggunakan media tulisan (dalam bentuk risalah) yang ditujukan kepada raja-raja dan kaisar. Oleh karena itu, risalah dapat diartikan sebagai surat. Surat-surat Nabi SAW ada yang ditolak dengan sikap jelek dan ada pula yang disambut dengan baik. Dalam aplikasinya, materi atau risalah dakwah yang terdapat dalam sebuah majalah dapat terbagi ke dalam materi faktual (berita dan reportase) dan opini (artikel, tajuk rencana, kolom) serta materi perpaduan antara opini
Dalam rangka mencapai tujuan dakwah Islam, yakni mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan baik di dunia dan akhirat, seorang da’i/da’iyah membutuhkan perantara untuk menyampaikan materi-materi dakwahnya. Media cetak merupakan media dakwah bil-qalam yang sangat populer di masyarakat. Oleh karena itu, media cetak sangat penting bagi proses penyampaian pesan dakwah. Dengan kemajuan zaman dakwah harus menyesuaikannya supaya dakwah yang dilakukan dapat diterima oleh banyak orang dalam waktu yang hampir bersamaan dan tempat yang berbeda.
Dengan melakukan dakwah bil-qalam di media massa cetak, maka seorang da’i/da’iyah dapat menjalankan peranannya sebagai jurnalis muslim, yakni sebagai muaddib (pendidik), musahid (pelurus informasi tentang ajaran dan umat Islam), mujaddid (pembaharu ajaran Islam), muwahid (pemersatu ukhuwah islamiyah) dan mujahid (pembela ajaran Islam) (Romly, 2003 : 23).
Media massa Islam memiliki karakteristik yang sedikit berbeda dengan media massa umum dalam hal pemuatan artikel-artikel keagamaan. Sekumpulan majalah mempunyai ciri tersendiri, meskipun demikian majalah dapat difungsikan sebagai media dakwah, yaitu dengan menyelipkan di dalamnya misi yang bersifat dakwah. Tentu saja pengungkapan misi tersebut harus serasi dengan ciri majalah tersebut.
Semakin banyak media tulis yang muncul, maka semakin banyak pula membutuhkan tulisan-tulisan yang bermutu dari para penulis dakwah. Penulis itu erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan. Semakin banyak lahan pemikiran, penulis semakin banyak khazanah ilmu pengetahuan. Fungsi strategis menulis di samping untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan mengabadikan hasil karya intelektual juga memiliki peran untuk menyelamatkan manusia dari kebusukan-kebusukan informasi yang disampaikan oleh musuh-musuh Islam.



F.       Manajemen Dakwah Remaja
Dua langkah praktis manajemen dakwah bagi remaja.
1.        Pembinaan syakhshiyyah dalam klub dakwah.
Rasulullah memulai dakwahnya dengan membina kepribadian (syakhshiyyah) shahabat secara intensif. Pembinaan yang benar-benar membekas dalam kepribadian para shahabat. Aqidah yang dipahami para shahabat nyata-nyata melahirkan keterikatan mereka yang begitu kuat terhadap syari’at Islam. Apa saja yang diperintahkn rasul, mereka taati. Membina diri dengan sungguh-sungguh dan terus menerus mendalami tsaqofah Islam adalah langkah awal yang harus dilakukan oleh remaja muslim. Pembinaan dilakukan di klub dakwah yang tepat. Klub dakwah yang benar-benar sesuai dan mengikuti metodologi dakwah Rasul. Klub dakwah yang berdiri atas dasar perintah Allah (QS. Al Imran : 104) dan berjuang untuk menghidupkan kembali Islam dalam realitas kehidupan umat Islam. Keistiqomahan dalam membina diri akan membawa remaja beraqidah benar dan kuat sehingga memiliki syakhsyiyyah Islami, yakni berpola pikir Islami (aqliyyah islamiyyah) dan berpola sikap Islami (nafsiyyah islamiyyah).

2.        Berdakwah bersama klub dakwah.
Dakwah memang menyeru, mengajak dengan omongan. Bukan hanya bicara di atas mimbar, tapi bisa juga dengan ngobrol dengan teman sebangku di kelas, di kantin, di angkot lalu menulis di majalah dan sebagainya. Namun begitu, uslub (cara) seperti ini juga perlu ditunjang dengan uswah (teladan). Artinya tidak cukup sekedar mengajak, tetapi yang namanya akhlakpun harus sesuai dengan Islam. Nah, bergabung dengan klub dakwah akan senantiasa menjaga performance (tampilan) atau citra dakwah kita agar tetap berada dalam koridor syari’at.
Berdakwah agar efisien dan efektif juga harus memperhatikan ketersediaan bahan dakwah sejauh mana pemahamannya terhadap Islam, medan dakwah di mana ia tinggal serta skill yang dipunyai seperti kemampuan komunikasi, analisis kondisi lingkungan dan sebagainya. Remaja sebagai pengemban dakwah yang baik mestilah berupaya melengkapi diri dengan berbagai modal ini. Untuk itu, klub dakwah adalah tempat yang tepat.
Yang utamanya lagi, berdakwah secara team (together everyone achieve more) dengan manajemen yang oke akan lebih efisien dan efektif dalam mencapai tujuan dakwah dibandingkan jika hanya berdakwah secara individual. Bersama-sama dengan hamiluddakwah lainnya dalam klub dakwah melakukan:
Prakondisi perencanaan, meliputi pengenalan medan dakwah melalui analisis kondisi lingkungan.
Perumusan perencanaan, meliputi: penetapan tujuan-tujuan jangka pendek dalam rangka pencapaian tujuan jangka panjang yakni melanjutkan kembali kehidupan Islam di tengah-tengah umat; penetapan sasaran-sasaran atau objek dakwah serta penentuan tolok ukur keberhasilan dakwah.
Implementasi, mencakup pembagian tugas, pembekalan materi yang diperlukan serta melakukan pertemuan-pertemuan rutin pra-action (briefing).
Evaluasi dan umpan balik. Untuk melihat dampak dakwah yang telah dilakukan, perlu selalu dievaluasi dengan mengacu kepada tolak ukur, baik yang bersifat strategis (QS. Al Mulk: 2-3) maupun yang bersifat operasional terukur.

G.      Panduan Melakukan Dakwah
Agar dakwah diterima oleh Allah swt, sekalipun obyek dakwah menolak dakwah tersebut, maka kita harus memenuhi persyaratannya. Dakwah termasuk ibadah sehingga memiliki persyaratan yang sama dengan ibadah. Yaitu:
a.         Juru dakwah harus muslim, bukan kafir
b.        Juru dakwah harus ikhlas karena Allah
c.         Juru dakwah harus mutaba’ah (mengikuti sunnah Nabi saw)
Tiga persyaratan ini tercantum dalam firmanNya, “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al Kahfi: 110)
Setelah mengetahui syarat dakwah, maka selanjutnya memahami cara berdakwah. Setiap cara dan strategi dakwah harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw. Kita dapat mengembangkan dan memodifikasi cara berdakwah dengan tetap mendasarkan rujukan dan qiyas dari Al Quran dan Sunnah.
Hal ini ditopang dengan banyaknya dalil yang menunjukkan telah sempurnanya Dienul Islam:
“… (Nabi) yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk …” (QS. Al A’raaf: 157)
Nabi saw bersabda, artinya: “Sesungguhnya tidaklah seorang Nabi sebelumku melainkan dia berkewajiban untuk menjelaskan kepada ummatnya perkara yang wajib dia ketahui untuk mereka, dan mengingatkan perkara yang jelek yang dia ketahui untuk mereka.” (HR. Muslim)
Beliau saw juga bersabda, artinya: “Sungguh kutinggalkan kepadamu dien (agama Islam) yang terang benderang ini, (ibarat) malamnya seperti siangnya (sangat jelas), tidaklah seorangpun yang berpaling darinya melainkan dia akan celaka.” (HR. Ibnu Majah)
Sehingga semua cara dan strategi dakwah adalah boleh selama sesuai dengan tuntunan Islam. Cara dan strategi dakwah tidak boleh hanya berazaskan kebaikan tujuan akhir, atau mengikuti trend terkini, atau meniru keberhasilan golongan lain. Berikut ini beberapa penjelasan cara berdakwah yang salah:
1.        Mencampurkan yang haq dan yang batil
2.        Menerima paham/isme di luar Islam
3.        Mengikuti kehendak penguasa yang bertentangan dengan Islam



BAB III
PENUTUP


Dakwah merupakan serangkaian aktivitas mensosialisasikan ajaran-ajaran dan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam dengan hikmah dan kebijaksanaan agar mereka mengerti, memahami dan melaksanakan pesan tersebut guna mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Dakwah juga merupakan kewajiban bagi setiap manusia yang mengaku dirinya telah Islam. Tidak ada alasan lain untuk meninggalkan aktivitas dakwah kecuali manusia telah meniggalkan dunia yang fana ini.
Dengan melakukan dakwah bil-qalam di media massa cetak, maka seorang da’i/da’iyah dapat menjalankan peranannya sebagai jurnalis muslim, yakni sebagai muaddib (pendidik), musahid (pelurus informasi tentang ajaran dan umat Islam), mujaddid (pembaharu ajaran Islam), muwahid (pemersatu ukhuwah islamiyah) dan mujahid (pembela ajaran Islam).
Media massa Islam memiliki karakteristik yang sedikit berbeda dengan media massa umum dalam hal pemuatan artikel-artikel keagamaan. Sekumpulan majalah mempunyai ciri tersendiri, meskipun demikian majalah dapat difungsikan sebagai media dakwah, yaitu dengan menyelipkan di dalamnya misi yang bersifat dakwah. Tentu saja pengungkapan misi tersebut harus serasi dengan ciri majalah tersebut.






DAFTAR PUSTAKA



Ali, Hasan & M. Umar. 1988. Kelengkapan Dakwah, Yogyakarta: CV Thaha Putra.



http://studislam.blogdetik.com/urgensi-dakwah-sekolah/ Diakses Tnggal 9 Juni 2012, Pukul 09.24.

Majlis Tarjih, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Bengkel Penelitian dan Perencanaan Dakwah, Yogyakarta, th.1407 H.

Syukir, Asmuni. 1983. Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam. Jakarta: Al-Ikhlas-Indonesia.





 

Selasa, 12 Juni 2012

Metode Bagdadiyah

















BAB I
PENDAHULUAN


Fenomena yang terjadi di masyarakat kita, terutama di rumah-rumah keluarga muslim semakin sepi dari bacaan ayat-ayat suci Al Qur'an. Hal ini disebabkan karena terdesak dengan munculnya berbagai produk sain dan tehnologi serta derasnya arus budaya asing yang semakin menggeser minat untuk belajar membaca Al Qur'an sehingga banyak anggota keluarga tidak bisa membaca Al Qur'an. Akhirnya kebiasaan membaca Al Qur'an ini sudah mulai langka. Yangada adalah suara-suara radio, TV, Tape recorder, karaoke, dan lain-lain. Keadaan seperti ini adalah keadaan yang sangat memprihatinkan. Belum lagi masalah akhlak, akidah dan pelaksanaan ibadahnya, yang semakin hari semakin jauh dari tuntunan Rasulullah . Maka sangat diperlukan kerjasama dari semua fihak untuk mengatasinya. Yaitu mengembalikan kebiasaan membaca Al Qur'an di rumah-rumah kaum muslimin dan membekali kaum muslimin dengan nilai-nilai Islam, sehingga bisa hidup secara Islami demi kebahagiaan dunia dan akhirat.
Pada dekade belakangan ini telah banyak metode pengajaran baca tulis Al-Qur'an dikembangkan, begitu juga buku-buku panduannya telah banyak disusun dan dicetak. Para pengajar baca tulis Al-Qur'an tinggal memilih metode yang paling cocok baginya, paling efektifdan paling murah. Dunia pendidikan mengakui bahwa suatu metode pengajaran senantiasa memiliki kekuatan dan kelemahan.
Berdasarkan uraian di atas pemakalah akan membahas tentang metode bagdadiyah secara lebih rinci lagi.


BAB II
PEMBAHASAN


A.      Sejarah Metode Bagdadiyah
Metode baghdadiyah adalah metode tempo dulu yang telah teruji keberkahannya dari masa ke masa berasal dari Baghdad masa pemerintahan khalifah Bani Abbasiyah. Tidak tahu dengan pasti siapa penyusunnya. Dan telah seabad lebih berkembang secara merata di tanah air. Kata H. Tjetjep Firdaus Al Bantani, mengungkap pengalaman masa kecilnya ketika belajar mengaji. Tidak dapat ditemukan suatu riwayat yang menerangkan dengan tegas bahwa metode ini adalah karya si fulan, atau paling tidak sampai hari ini kami belum menemukannya. Tak terhitung banyaknya alim-ulama, hafidz al Qur'an, maulana, mufti, syaikhul hadits, dan lain-lain. di seluruh dunia telah belajar melalui metode ini pada masa kanak-kanak. Para ''guru ngaji'' di berbagai belahan dunia telah menjadikannya sebagai pegangan utama dalam membimbing anak muridnya.
Belajar kepada Guru Ngaji Dari dulu Qa'idah Baghdadiyah selalu dipelajari dengan bimbingan Guru Ngaji. Terdapat banyak rahasia keberkahan dan khasiat di dalamnya. Guru menjadi berwibawa, murid menjadi santun, hormat kepada orang tua, sayang kepada adik. Harapan kita agar hubungan antara guru dengan murid dapat kembali menjadi erat dengan keberkahan metode ini.

B.       Pengertian Metode Bagdadiyah
Metode ini disebut juga dengan metode “ Eja “, Secara dikdatik, materi-materinya diurutkan dari yang kongkrit ke abstrak, dari yang mudah ke yang sukar, dan dari yang umum sifatnya kepada materi yang terinci (khusus). Secara garis besar, Qoidah Baghdadiyah memerlukan 17 langkah. 30 huruf hijaiyyah selalu ditampilkan secara utuh dalam tiap langkah. Seolah-olah sejumlah tersebut menjadi tema central dengan berbagai variasi. Variasi dari tiap langkah menimbulkan rasa estetika bagi siswa (enak didengar) karena bunyinya bersajak berirama. Indah dilihat karena penulisan huruf yang sama. Metode ini diajarkan secara klasikal maupun privat.
C.      Cara Pembelajaran Metode Bagdadiyah
Cara pembelajaran metode ini adalah:
1.      Hafalan
2.      Eja
3.      Modul
4.      Tidak variatif
5.      Pemberian contoh yang absolute

Secara garis besar dalam kaidah Baghdadiyah 30 huruf hijaiyyah selalu ditampilkan secara utuh dalam tiap langkah. Seolah-olah sejumlah tersebut menjadi tema central dengan berbagai variasi. Variasi dari tiap langkah menimbulkan rasa estetika bagi siswa (enak didengar) karena bunyinya bersajak berirama. Indah dilihat karena penulisan huruf yang sama. Metode ini diajarkan secara klasikal maupun privat.

D.      Kelebihan Dan Kekurangan Metode Bagdadiyah
Metode ini mempunyai kelebihan dan kekurangan, yaitu:
1.      Kelebihan
a.       Santri akan mudah dalam belajar karena sebelum diberikan materi, santri sudah hafal huruf-huruf hijaiyah.
  1. Santri yang lancar akan cepat melanjutkan pada materi selanjutnya karena tidak menunggu orang lain.
  2. Bahan/materi pelajaran disusun secara sekuensif.
  3. 30 huruf abjad hampir selalu ditampilkan pada setiap langkah secara utuh sebagai tema sentral.
  4. Pola bunyi dan susunan huruf (wazan) disusun secara rapi.
  5. Ketrampilan mengeja yang dikembangkan merupakan daya tarik tersendiri.
  6. Materi tajwid secara mendasar terintegrasi dalam setiap langkah.


2.      Kekurangan
a.       Membutuhkan waktu yang lama karena harus menghafal huruf hijaiyah dahulu dan harus dieja.
b.      Santri kurang aktif karena harus mengikuti ustadz-ustadznya dalam membaca.
c.       Kurang variatif karena menggunakan satu jilid saja.
d.      Qaidah Baghdadiyah yang asli sulit diketahui, karena sudah mengalami beberapa modifikasi kecil.
e.       Penyajian materi terkesan menjemukan.
f.       Penampilan beberapa huruf yang mirip dapat menyulitkan pengalaman siswa.
g.      Memerlukan waktu lama untuk mampu membaca Al-Qur’an



BAB III
PENUTUP


Metode bagdadiyah merupakan metode “Eja” yang berasal dari Baghdad masa pemerintahan khalifah Bani Abbasiyah. Namun tidak diketahui dengan pasti siapa penyusunnya. Dan telah seabad lebih berkembang secara merata di tanah air. Secara dikdatik, materi-materinya diurutkan dari yang kongkrit ke abstrak, dari yang mudah ke yang sukar, dan dari yang umum sifatnya kepada materi yang terinci (khusus).
Cara pembelajaran metode bagdadiyah diantaranya adalah: Hafalan, eja, modul, tidak variatif, pemberian contoh yang absolute.
Kelebihan metode bagdadiyah yaitu: santri akan mudah dalam belajar karena sebelum diberikan materi, santri sudah hafal huruf-huruf hijaiyah, santri yang lancar akan cepat melanjutkan pada materi selanjutnya karena tidak menunggu orang lain, bahan/materi pelajaran disusun secara sekuensif, 30 huruf abjad hampir selalu ditampilkan pada setiap langkah secara utuh sebagai tema sentral, Pola bunyi dan susunan huruf (wazan) disusun secara rapi, ketrampilan mengeja yang dikembangkan merupakan daya tarik tersendiri, materi tajwid secara mendasar terintegrasi dalam setiap langkah.
Kekurangan metode bagdadiyah yaitu: membutuhkan waktu yang lama karena harus menghafal huruf hijaiyah dahulu dan harus dieja, santri kurang aktif karena harus mengikuti ustadz-ustadznya dalam membaca, kurang variatif karena menggunakan satu jilid saja, kaidah Baghdadiyah yang asli sulit diketahui, karena sudah mengalami beberapa modifikasi kecil, penyajian materi terkesan menjemukan, penampilan beberapa huruf yang mirip dapat menyulitkan pengalaman siswa, dan memerlukan waktu lama untuk mampu membaca Al-Qur’an


DAFTAR PUSTAKA


http://qaidabaghdadi.blogspot.com/ Diakses Tanggal 07 Juni 2012, Pukul 12.35.


http://fitriinsani.wordpress.com/2009/12/12/metode-metode-baca-tulis-al-quran-di-indonesia/ Diakses Tanggal 07 Juni 2012, Pukul 12.29.





                                                                                     Langsa,   30   April  2012