PENDAHULUAN
Al-Qur’an
merupakan kalammullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad lewat
perantara malaikat Jibril sebagai mu’jizat. Al-Qur’an adalah sumber ilmu
bagi kaum muslimin yang merupakan dasar-dasar hukum yang mencakup
segala hal, baik aqidah, ibadah, etika, mu’amalah dan sebagainya.
Dan
Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala
sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri.(Q.S.An-Nahl 89).
Mempelajari
isi Al-qur’an akan menambah perbendaharaan baru, memperluas pandangan
dan pengetahuan, meningkatkan perspektif baru dan selalu menemui hal-hal
yang selalu baru. Lebih jauh lagi, kita akan lebih yakin akan keunikan
isinya yang menunjukan Maha Besarnya Allah sebagai penciptanya. Firman
Allah: Dan sesungguhnya Kami
telah mendatangkan sebuah Kitab (Al Quran) kepada mereka yang Kami telah
menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.(Q.S.Al-A’raf 52).
Al-Qur’an
diturunkan dalam bahasa Arab. Karena itu, ada anggapan bahwa setiap
orang yang mengerti bahasa Arab dapat mengerti isi Al-qur’an. Lebih dari
itu, ada orang yang merasa telah dapat memahami dan menafsirkan
Al-qur’an dengan bantuan terjemahnya sekalipun tidak mengerti bahasa
Arab. Padahal orang Arab sendiri banyak yang tidak mengerti kandungan
Al-Qur’an. Bahkan di antara para sahabat dan tabi’in ada yang salah
memahami Al-Qur’an karena tidak memiliki kemampuan untuk memahaminya.
Pembahasan mengenai ulumul Qur’an ini insya Allah akan dibahas secara
rinci pada bab-bab selanjutnya.
BAB I
ULUMUL QUR’AN
A. Pengertian Ulumul Qur’an
Secara
etimologi, kata Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang terdiri
dari dua kata, yaitu “ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata ulum adalah bentuk
jama’ dari kata “ilmu” yang berarti ilmu-ilmu. Kata ulum yang
disandarkan kepada kata Al-Qur’an telah memberikan pengertian bahwa ilmu
ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an,
baik dari segi keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi
pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnaya. Dengan
demikian, ilmu tafsir, ilmu qira’at, ilmu rasmil Qur’an, ilmu I’jazil
Qur’an, ilmu asbabun nuzul, dan ilmu-ilmu yang ada kaitanya dengan
Al-Qur’an menjadi bagian dari ulumul Qur’an.
Berdasarkan
pengertian di atas Ulumul Qur’an merupakan ilmu yang membahas hal-hal
yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaanya sebagai
Al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandunganya sebagai pedoman dan
petunjuk bagi manusia atau ilmu-ilmu yang berhubungan dengan berbagai
aspek yang terkait dengan keperluan membahas al-Qur’an.
B. Ruang Lingkup Ulumul Qur’an
Ulumul
Qur’an merupakan suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan
yang sangat luas. Ulumul Qur’an meliputi semua ilmu yang ada kaitanya
dengan Al-Qur’an, baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir
maupun ilmu-ilmu bahasa Arab, seperti ilmu balaghah dan ilmu I’rab
al-Qur’an. Disamping itu, masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di
dalamnya. Dalam kitab Al- Itqan, Assyuyuthi menguraikan sebanyak 80
cabang ilmu. Dari tiap-tiap cabang terdapat beberapa macam cabang ilmu
lagi. Kemudian dia mengutip Abu Bakar Ibnu al_Araby yang mengatakan
bahwa ulumul qur’an terdiri dari 77450 ilmu. Hal ini didasarkan kepada
jumlah kata yang terdapat dalam al-qur’an dengan dikalikan empat. Sebab,
setiap kata dalam al-Qur’an mengandung makna Dzohir, batin, terbatas,
dan tidak terbatas. Perhitungan ini masih dilihat dari sudut
mufrodatnya. Adapun jika dilihat dari sudut hubungan kalimat-kalimatnya,
maka jumlahnya menjadi tidak terhitung. Firman Allah : Katakanlah:
Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku,
sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat
Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).(Q.S.
Al-Kahfi 109).
C. Sejarah Perkembangan Al-Qur’an
Sebagai
ilmu yang terdiri dari berbagai cabang dan macamnya, ulumul Qur’an
tidak lahir sekaligus. Ulumul Qur’an menjelma menjadi suatu disiplin
ilmu melalui proses pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan kebutuhan
dan kesempatan untuk membenahi Al-Qur’an dari segi keberadaanya dan
segi pemahamanya.
Di
masa Rasul SAW dan para sahabat, ulumul Qur’an belum dikenal sebagai
suatu ilmu yang berdiri sendiri dan tertulis. Para sahabat adalah
orang-orang Arab asli yang dapat merasakan struktur bahasa Arab yang
tinggi dan memahami apa yang diturunkan kepada Rasul, dan bila menemukan
kesulitan dalam memahami ayat-ayat tertentu, mereka dapat menanyakan
langsung kepada Rasul SAW.
Di
zaman Khulafa’u Rasyiddin sampai dinasti umayyah wilayah islam
bertambah luas sehingga terjadi pembauran antara orang Arab dan
bangsa-bangsa yang tidak mengetahui bahasa Arab. Keadaan demikian
menimbulkan kekhawatiran sahabat akan tercemarnya keistimewaan bahasa
arab, bahkan dikhawatirkan tentang baca’an Al-Qur’an yang menjadi sebuah
standar bacaan mereka. Untuk mencegah kekhawatiran itu, disalinlah dari
tulisan-tulisan aslinya sebuah al-qur’an yang disebut mushaf imam. Dan
dari salinan inilah suatu dasar ulumul Qur’an yang disebut Al rasm
Al-Utsmani.
Kemudian,
Ulumul Qur’an memasuki masa pembukuanya pada abad ke-2 H. Para ulama
memberikan prioritas perhatian mereka kepada ilmu tafsir karena
fungsinya sebagai umm al ulum alQur’aniyyah. Para penulis pertama dalam
tafsir adalah Syu’bah ibn al-Hajjaj (160 H), Sufyan Ibn Uyaynah (198 H),
dan Wali Ibn al-Jarrah (197 H). dan pada abad ke-3 muncul tokoh tafsir
yang merupakan mufassir pertama yang membentangkan berbagai pendapat dan
mentarjih sebagianya. Beliau adalah Ibn jarir atThabari (310 H).
Selanjutnya sampai abad ke-13 ulumul Qur’an terus berkembang pesat
dengan lahirnya tokoh-tokoh yang selalu melahirkan buah karyanya untuk
terus melengkapi pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan ilmu
tersebut. Diantara sekian banyak tokoh-tokoh tersebut, Jalaluddin
al-bulqini (824 H) pengarang kitab Mawaqi’ Al-ulum min Mawaqi’ al-Nujum
dipandang Assuyuthi sebagai ulama yang mempelopori penyusunan Ulumul
Qur’an yang lengkap. Sebab, dalam kitabnya tercakup 50 macam ilmu
Al-Qur’an. Jalaluddin al-Syuyuthi (991 H) menulis kitab Al-Tahhir fi
Ulum al-Tafsir. Penulisan kitab ini selesai pada tahun 873 H. kitab ini
memuat 102 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an. Karena itu, menurut sebagian
ulama, kitab ini dipandang sebagai kitab Ulumul Qur’an paling
lengkap.namun, Al-Syuyuthi belum merasa puas dengan karya monumental ini
sehingga ia menyusun lagi kitab Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an. Didalamnya
dibahas 80 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an secara padat dan sistematis.
Menurut Al-Zarqani, kitab ini merupakan pegangan bagi para peneliti dan
penulis dalam ilmu ini. Sampai saat ini bersamaan dengan masa
kebangkitan modern dalam perkembangan ilmu-ilmu agama, para ulama masih
memperhatikan akan ilmu Qur’an ini. Sehingga tokoh-tokoh ahli Qur’an
masih banyak hingga saat ini di seluruh dunia.
BAB II
AL-QUR’AN DAN KANDUNGANNYA
A. Pengertian Al-Qur’an
Secara Bahasa (Etimologi) Al-Qur’an merupakan mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-’a yang bermakna Talaa [keduanya berarti: membaca], atau bermakna Jama’a (mengumpulkan, mengoleksi). Anda dapat menuturkan, Qoro-’a Qor’an Wa Qur’aanan sama seperti anda menuturkan, Ghofaro Ghafran Wa Qhufroonan. Berdasarkan makna pertama (Yakni: Talaa) maka ia adalah mashdar (kata benda) yang semakna dengan Ism Maf’uul, artinya Matluw (yang dibaca). Sedangkan berdasarkan makna kedua (Yakni: Jama’a) maka ia adalah mashdar dari Ism Faa’il, artinya Jaami’ (Pengumpul, Pengoleksi) karena ia mengumpulkan/mengoleksi berita-berita dan hukum-hukum.
Secara
Syari’at (Terminologi) Al-Qur’an adalah kalam Allah ta’ala yang
diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu
‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan
surat an-Naas.
B. Nama-Nama Al-Qur’an
1. Al-Kitab = Tulisan yang Lengkap ( 2:2 ).
2. Al-furqan = Memisahkan yang Haq dari yang Bathil ( 25:1 ).
3. Al-Mau'idhah =Nasihat ( 10:57 ).
4. Asy-Syifa' = Obat ( 10:57 ).
5. Al-Huda = Yang Memimpin ( 72:13 ).
6. Al-Hikmah = Kebijaksanaan ( 17:39 ).
7. Al-Hukmu = Keputusan ( 13:37 ).
8. Al-Khoir = Kebaikan ( 3:103 ).
9. Adz-Dzikru = Peringatan ( 15:9 ).
10. Ar-Ruh = Roh ( 42:52 ).
11. Al-Muthohharoh = Yang Disucikan ( 80:14 ).
C. Garis-Garis Besar Kandungan Al-Qur’an
Di
dalam surat-surat dan ayat-ayat alquran terkandung kandungan yang
secara garis besar dapat kita bagi menjadi beberapa hal berikut ini :
1. Aqidah / Akidah
Aqidah
adalah ilmu yang mengajarkan manusia mengenai kepercayaan yang pasti
wajib dimiliki oleh setiap orang di dunia. Alquran mengajarkan akidah
tauhid kepada kita yaitu menanamkan keyakinan terhadap Allah SWT yang
satu yang tidak pernah tidur dan tidak beranak-pinak. Percaya kepada
Allah SWT adalah salah satu butir rukun iman yang pertama. Orang yang
tidak percaya terhadap rukun iman disebut sebagai orang-orang kafir.
2. Ibadah
Ibadah
adalah taat, tunduk, ikut atau nurut dari segi bahasa. Dari pengertian
"fuqaha" ibadah adalah segala bentuk ketaatan yang dijalankan atau
dkerjakan untuk mendapatkan ridho dari Allah SWT. Bentuk ibadah dasar
dalam ajaran agama islam yakni seperti yang tercantum dalam lima butir
rukum islam. Mengucapkan dua kalimah syahadat, sholat lima waktu,
membayar zakat, puasa di bulan suci ramadhan dan beribadah pergi haji
bagi yang telah mampu menjalankannya.
3. Akhlaq / Akhlak
Akhlak
adalah perilaku yang dimiliki oleh manusia, baik akhlak yang terpuji
atau akhlakul karimah maupun yang tercela atau akhlakul madzmumah. Allah
SWT mengutus Nabi Muhammd SAW tidak lain dan tidak bukan adalah untuk
memperbaiki akhlaq. Setiap manusia harus mengikuti apa yang
diperintahkanNya dan menjauhi laranganNya.
4. Hukum-Hukum
Hukum
yang ada di Al-quran adalah memberi suruhan atau perintah kepada orang
yang beriman untuk mengadili dan memberikan penjatuhan hukuman hukum
pada sesama manusia yang terbukti bersalah. Hukum dalam islam
berdasarkan Alqur'an ada beberapa jenis atau macam seperti jinayat,
mu'amalat, munakahat, faraidh dan jihad.
5. Peringatan / Tadzkir
Tadzkir
atau peringatan adalah sesuatu yang memberi peringatan kepada manusia
akan ancaman Allah SWT berupa siksa neraka atau waa'id. Tadzkir juga
bisa berupa kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepadaNya dengan
balasan berupa nikmat surga jannah atau waa'ad. Di samping itu ada pula
gambaran yang menyenangkan di dalam alquran atau disebut juga targhib
dan kebalikannya gambarang yang menakutkan dengan istilah lainnya
tarhib.
6. Sejarah-Sejarah atau Kisah-Kisah
Sejarah
atau kisah adalah cerita mengenai orang-orang yang terdahulu baik yang
mendapatkan kejayaan akibat taat kepada Allah SWT serta ada juga yang
mengalami kebinasaan akibat tidak taat atau ingkar terhadap Allah SWT.
Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari sebaiknya kita mengambil
pelajaran yang baik-baik dari sejarah masa lalu atau dengan istilah lain
ikibar.
7. Dorongan Untuk Berpikir
Di
dalam al-qur'an banyak ayat-ayat yang mengulas suatu bahasan yang
memerlukan pemikiran menusia untuk mendapatkan manfaat dan juga
membuktikan kebenarannya, terutama mengenai alam semesta.
BAB III
WAHYU DAN PERMASALAHANNYA
A. Pengertian Wahyu
Secara
bahasa kata “wahyu” berarti “isyarat yang cepat, surat, tulisan, dan
segala sesuatu yang disampaikan kepada orang lain untuk diketahui.
Sedangkan kata wahyu
menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Abduh, ialah
“pengetahuan yang didapat seseorang di dalam dirinya serta diyakini
bahwa pengetahuan tersebut datangnya dari Allah, baik dengan
perantaraan, dengan suara atau tanpa suara, maupun tanpa perantaraan”.
Jika definisi ini dipadukan dengan pengertian wahyu menurut bahasa atau
yang digunakan oleh Alquran sendiri, maka secara definitif, wahyu dapat
diartikan sebagai “Pemberitahuan Tuhan kepada nabi/rasul-Nya tentang
hukum-hukum Tuhan, berita-berita dan cerita-cerita dengan cara yang
samar tetapi meyakinkan, bahwa apa yang diterimanya benar-benar dari
Tuhan. Pemberitahuan tersebut bersifat ghaib, rahasia dan berlangsung
sangat cepat.
B. Macam-Macam Wahyu
Berkaitan
dengan wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad, maka segala sesuatu yang
disampaikan beliau kepada umatnya dalam kapasitas beliau sebagai rasul,
adalah wahyu. Karena apa yang disampaikannya tidaklah lahir dari
keinginan pribadinya, melainkan berupa wahyu yang diterimanya dari
Allah. Seperti dalam firman-Nya: Artinya: Dan dia (Muhammad) tidak
memngucapkan sesuatu yang keluar dari hawa nafsunya, melainkan (apa yang
diucapkannya) adalah wahyu yang diwahyukan Tuhan [Al-Najm/53: 3 – 4].
Ajaran
yang disampaikan oleh Nabi Muhammad kepada umatnya dideskripsikan dalam
tiga macam bentuk wahyu, yaitu: Alquran, Hadits Qudsi dan Hadits
Nabawi.
C. Perbedaan Wahyu, Ilham dan Ta’lim
Ketiga
istilah ini memiliki kesamaan, bahwa semuanya sama-sama menunjukkan
pengetahuan yang bersumber dari Allah Swt. Perbedaannya adalah, wahyu
hanya diperuntukkan bagi orang-orang tertentu yang dipilih oleh Allah,
yaitu para Nabi dan Rasul; sedangkan ilham dan ta’lim (ilmu) diberikan
oleh Allah kepada semua manusia.
Pengertian
ilham, menurut pendapat sebagian ulama, sebagaimana dikemukakan oleh
Hasbi Ash-Shiddieqie, ialah “menuangkan suatu pengetahuan kedalam jiwa
yang menuntut penerimanya supaya mengerjakannya, tanpa didahului dengan
ijtihad dan penyelidikan hujjah-hujjah agama”. Sejalan dengan pendapat
ini, Al-Jurjani dalam Kitāb At-Ta’rīfāt mendefinisikan, bahwa
ilham ialah “sesuatu yang dilimpahkan ke dalam jiwa dengan cara
pemancaran, ia merupakan ilmu yang ada di dalam hati/jiwa, dan dengannya
seseorang tergerak untuk melakukan sesuatu tanpa didahului dengan
pemikiran”.
Ilham
dalam pengertian ini hampir sama dengan pengertian instink yang dikenal
dalam dunia Psikologi, yaitu “pola tingkahlaku yang merupakan
karakteristik-karakteristik spesi tertentu; tingkahlaku yang diwariskan
dan dilakukan secara berulang-ulang yang merupakan khas spesi tertentu.
Bahkan menurut Sigmund Freud, ia merupakan sumber energi atau dorongan
primal yang tidak dapat dipecahkan. Lebih lanjut Freud menambahkan,
instink itu terbagi dua: instink kehidupan (Eros) dan instink Kematian (Tahanatos)”.
Dari pengertian ini dapat disimpulkan, bahwa perbedaan antara kedua istilah yang disebutkan terakhir (ilham dan ta’lim)
terletak pada proses/cara memperolehnya. Ilham hanya dapat diperoleh
atas kehendak Allah, tanpa usaha manusia; sedangkan ta’lim (ilmu) harus
melalui usaha manusia; kecuali ilmu ladunniy yang dalam pandangan ahli tasawwuf proses perolehannya sama dengan ilham.
BAB IV
ILMU NUZUL AL-QUR’AN
A. Pengertian Nuzulul Qur’an
Nuzulul Qur’an merupakan permbahasan yang menunjukkan tempat dan waktu turunya ayat Al-Qur’an.
B. Sejarah Turunnya Al-Qur’an
Al-Qur’an
diturunkan secara berangsur-angsur selama lebih kurang 23 tahun, yakni
13 tahun ketika Nabi Saw tinggal di Mekah dan 10 tahun ketika Nabi Saw
di Madinah.
Turunnya
al-Qur’an adakalanya hanya berupa ayat dari sebuah surat atau berupa
sebuah surat yang pendek secara lengkap hingga selesai semuanya
diturunkan.
Ada
dua cara pewahyuan Al-Qur’an, yaitu dengan cara sekaligus dan dengan
beransur-ansur. Dua tata cara ini pada hakikatnya tidak bertentangan.
Dikatakan sekaligus, yaitu proses pewahyuan pada tahap pertama dari Lauh al-Mahfuz ke bayt al-‘izzah di langit dunia. Sedangkan yang berangsur-angsur, ketika proses pewahyuan Al-Qur’an dari bayt al-‘izzah kepada Nabi Muhammad Saw selama lebih kurang 23 tahun.
C. Hikmah Al-Qur’an Diturunkan Secara Berangsur-Angsur
- Agar supaya mudah diingat
- Agar supaya berkesan karena turunya sesuai dengan permasalahan yang dihadapi.
BAB V
PEMBUKUAN AL-QUR’AN
A. Sejarah Pembukaan Mushaf Al Qur'an
1. Sejarah Pembukuan Mushaf AI Qur'an pada Masa Rasulullah
Kita
telah mengetahui Al-Qur'an itu diturunkan secara berangsur-angsur.
Rasulullah menerima A1-Qur'an melalui malaikat Jibril kemudian beliau,
membacakan serta. mendiktekannya kepada para sahabat yang
mendengarkannya.
Pada
priode pertama sejarah pembukuan Al-Qur'an dapat dikatakan bahwa setiap
ayat yang diturunkan kepada Rasulullah selain beliau hafal sendiri juga
dihafal dan dicatat oleh para sahabat. Dengan cara tersebut Al-Qur'an
terpelihara di dalam dada dan ingatan Rasulullah SAW beserta para
sahabatnya. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur'an surat Al-Qiyamah 17 :
Artinya: Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.
Ayat
di atas memebrikan petunjuk kepada kita bahwa al-qur’an itu dijamin
kemurniannya dan terpelihara serta terkumpul dengan baik sejak saat
turunnya sampai sekarang ini. Pengumpulan ayat Al-Qur’an ini dibantu
oleh para sahabat, setiap ayat turun langsung dicatat pada plepah kurma,
kulit binatang, bahkan pada tulang-belulang hewan. Kelompok pencatat
Al-Qur’an ini cukup banyak, sebagaimana diriwayatkan sebuah hadis yang
berbunyi:
Artinya: Ambillah
(pelajarilah) Al-Qur’an itu dari tempat orang (sahabatku): Abdullah
ibnu Mas’ud, Salim, Muadz ibnu Jabal dan Ubay bin Kaab. (H.R Bukhari).
Tugas
mencatat wahyu itu telah selesai semuanya menjelang wafatnya Rasulullah
SAW. Semua naskah yang berserakan itu telah terkumpul dan terpelihara
dengan baik, akan tetapi belum disusun dalam satu mushaf.
2. Pembukuan Al-Qur’an masa Khulafaur Rasyidin
Pada
waktu Abu Bakar diangkat menjadi khalifah beliau segera memerintahkan
agar naskah yang tersimpan di rumah Rasulullah disalin dan disusun
kembali. Pekerjaan ini dilakukan setelah terjadi perang Yamamah yang
mengakibatkan meninggalnya 70 orang penghafal Al-Qur’an, dan setelah
musailamah Al-Kazzab sebagai Nabi palsu dihancurkan. Gagasan
mengumpulkan Al-Qur’an pada masa itu adalah dari sahabat Umar ibnu
Khattab. Umar merasa khawatir akan hilangnya sebagian Al-Qur’an dari
penghafalnya yang telah gugur dalam pertempuran.
Demikianlah
khalifah Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit, penulis suhuf-suhuf
di zaman Rasulullah untuk mengumpulkan suhuf-suhuf Al-Qur'an baik yang
terdapat pada pelepah kurma, tulang hewan maupun dari para penghafal
Al-Qur'an yang masih hidup. Dengan demikian kaum muslimin pada saat itu
sepakat meyakini, bahwa mushaf Abu Bakar adalah mushaf Al-Qur'an yang
sahih yang diakui oleh semua sahabat tanpa ada yang membantah.
Pada
masa Urnar bin Khattab tidak ada lagi kegiatan dalam rangka
mengumpulkan A1-Qur'an oleh karena itu pada masa ini Khalifah Umar
menitik beratkan kegiatannya pada penyiaran agama Islam.
Pada
masa Khalifah Usman bin Affan wilayah kekuasaan Islam sudah semakin
luas, oleh sebab itu semakin beraneka ragam pula bangsa-bangsa bukan
Arab yang memeluk Agama Islam. Maka timbul lagi persoalan yang
berhubungan dengan kitab suci Al-Qur'an Salah seorang sahabat yang
bernama Hudzaifah ibnu Yaman yang baru pulang dari pertempuran.
melaporkan kepada Khalifah Usman bahwa timbul perbedaan pendapat tentang
qiraat (bacaan) Al-Qur'an di kalangan kaum muslimin, bahwa setiap
kabilah mengaku bacaannya adalah Yang paling baik dibanding bacaan
kabilah yang lain.
Hudzaifah
mengusulkan kepada khalifah agar segera diambil kebijaksanaan untuk
mengatasi perbedaan-perbedaan tersebut, sebelum terjadi pertengkaran
tentang kitab suci Al Qur'an di antara mereka seperti yang terjadi pada
orana Yahudi dan Nasrani tentang Taurat dan Injil. Usul itu segera
diterima Khalifah Usman segera mengirim utusan untuk meminta mushaf
kepada Hafsah yang disimpan di rumahnya untuk disalin (diperbanyak).
Untuk memperbanyak mushaf ini kembli khalifah Usman menunjuk Zaid
sebagai ketuanya dengan anggota-anggotanya Abdullah bin Zubair. Said
ibnu Ash dan Abdurahman bin Harits.
Setelah
selesai memperbanyak mushaf, maka Usman menyerahkan kembali mushaf yang
asli kepada Hafsah. Kemudian lima mushaf lainnya dikirim kepada
penguasa di Mekah, Kuffah, Basrah dan Suriah, dan salah satunya dipegang
oleh Khalifah Usman bin Affan sendiri.
Demikianlah
sejak saat itu mushaf Al Qur'an ter"ebut dinamai mushaf al Imam atau
lebih dikenal dengan mushhaf Usmany, karena disalin pada masa khalifah
Usman bin Affan.
BAB VI
ILMU ASBABUN NUZUL
A. Pengertian Ilmu Asbabunnuzul
Menurut bahasa (etimologi), asbabun nuzul berarti turunnya ayat-ayat al-Qur’an dari kata “asbab” jamak dari “sababa” yang artinya sebab-sebab, nuzul yang artinya turun. Yang dimaksud disini adalah ayat al-Qur’an. Asbabun nuzul adalah suatu peristiwa atau saja yang menyebabkan turunnya ayat-ayat al-Qur’an baik secara langsung atau tidak langsung.
Menurut istilah atau secara terminologi asbabun nuzul terdapat banyak pengertian, diantaranya :
1. Menurut Az-Zarqani
“Asbab
an-Nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta hubungan
dengan turunnya ayat al-Qur’an yang berfungsi sebagai penjelas hukum
pada saat peristiwa itu terjadi”.
2. Ash-Shabuni
“Asbab
an-Nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu
atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian
tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau kejadian
yang berkaitan dengan urusan agama”.
3. Subhi Shalih
“Asbabun
Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa
ayat al-Qur’an yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa sebagai respon
atasnya atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum ketika peristiwa itu
terjadi”.
4. Mana’ al-Qathan
“Asbab
an-Nuzul adalah peristiwa yang menyebabkan turunnya al-Qur’an berkenaan
dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau
berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi”.
A. Cara Mengetahui Riwayat Asbab an-Nuzul
Asbab
an-nuzul adalah peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah saw. Oleh
karena itu, tidak boleh tidak ada jalan lain untuk mengetahuinya selain
berdasarkan periwayatan (pentransmisian) yang benar (naql as-shalih)
dari orang-orang yang melihat dan mendengar langsung turunnya ayat
al-Qur’an.
Al-wahidi berkata:
“Tidak
boleh memperkatakan tentang sebab-sebab turun al-Qur’an melainkan
dengan dasar riwayat dan mendengar dari orang-orang yang menyaksikan
ayat itu diturunkan dengan mengetahui sebab-sebab serta membahas
pengertiannya”.
Sejalan
dengan itu, al-Hakim menjelaskan dalam ilmu hadits bahwa apabila
seorang sahabat yang menyaksikan masa wahyu dan al-Qur’an diturunkan,
meriwayatkan tentang suatu ayat al-Qur’an bahwa ayat tersebut turun
tentang suatu (kejadian). Ibnu al-Salah dan lainnya juga sejalan dengan
pandangan ini.
Berdasarkan
keterangan di atas, maka sebab an-nuzul yang diriwayatkan dari seorang
sahabat diterima sekalipun tidak dikuatkan dan didukung riwayat lain.
Adapun asbab an-nuzul dengan hadits mursal (hadits yang gugur dari
sanadnya seorang sahabat dan mata rantai periwayatnya hanya sampai
kepada seorang tabi’in). riwayat seperti ini tidak diterima kecuali
sanadnya sahih dan dikuatkan hadits mursal lainnya.
Biasanya
ulama menggunakan lafadz-lafadz yang tegas dalam penyampaiannya,
seperti: “sebab turun ayat ini begini”, atau dikatakan dibelakang suatu
riwayat “maka turunlah ayat ini”.
Contoh : “Beberapa orang dari golongan Bani Tamim mengolok-olok Bilal, maka turunlah ayat Yaa aiyuhal ladzina amanu la yaskhar qouman”.
BAB VII
ILMU NASIKH DAN MANSUKH
A. Pengertian Nasikh dan Mansyukh
Pengertian
nasikh dan mansukh menurut para ulama salaf pada umumnya adalah
pembatalan hukum secara global, dan itu merupakan istilah para ulama muta 'akhirin (belakangan); atau pembatalan dalalah
(aspek dalil) yang umum, mutlak dan nyata. Pembatalan ini dapat berupa
pengkhususan atau pemberian syarat tertentu, atau mengartikan yang
mutlak menjadi yang terikat dengan suatu syarat, menafsirkannya dan
menjelaskannya.
Berdasarkan pengertian ini, mereka mengartikan pengecualian (istitsna),
syarat dan sifat sebagai nasakh, karena hal itu mengandung pembatalan
yang zhahir dan penjelasan terhadap apa yang dimaksudkannya. Dengan
demikian, nasakh dalam pandangan mereka adalah penjelasan tentang maksud
suatu dalil dengan tidak mempergunakan lafazh tersebut, akan tetapi
dengan suatu perkara yang di luar itu. Orang yang mengamati pendapat
mereka akan melihat hal itu sebagai sesuatu yang tidak terbatas, dan
hilanglah macam-macam bentuk (rekaan) yang dituntut oleh karena
diartikannya pendapat mereka pada istilah baru yang muncul kemudian.
Menurut
Hisyam bin Hasan dari Muhammad bin Sirin bahwa Hudzaifah berkata,
"Orang yang memberikan fatwa adalah salah satu dari 3 orang, yaitu:
Ø Orang yang mengetahui nasikh dan mansukh Al Qur'an,
Ø Penguasa yang tidak menemukan jalan lain, dan
Ø Orang bodoh yang mengada-ada. " [kami berpendapat bahwa golongan inilah yang membuat hancur umat islam, Admin Rumah Islam]
Selanjutnya
Ibnu Sirin berkata, "Aku bukan salah seorang dari kedua yang pertama,
dan aku tidak mengharapkan menjadi orang bodoh yang mengada-ada."
Abu Umar bin Abdul Barr mengatakan di dalam bukunya Jami ' Fadhl Al Ilm :
Khalaf bin Qasim menceritakan kepada kami, Yahya bin Rabi' menceritakan
kepada kami, Muhammad bin Hamad Al Mushishi mengatakan kepada kami,
Ibrahim bin Waqid mengatakan kepada kami, Al Muthalib bin Ziyad
mengatakan kepada kami, ia berkata, "Ja' far bin Husain (imam kami)
menceritakan kepadaku, ia berkata, `Aku melihat Abu Hanifah dalam mimpi,
dan aku berkata, 'Aim yang Allah lakukan terhadapmu, wahai Abu
Hanifah?' Ia menjawab, 'Dia mengampuniku.' Aku bertanya lagi, Dengan
ilmu?' Ia menjawab, `Alangkah berbahayanya fatwa-fatwa itu bagi
pemiliknya'. Aku bertanya, `Lalu dengan apa?' Ia menjawab, Dengan
perkataan manusia tentang aku yang tidak diketahui Allah bahwa itu
adalah dariku."
Abu
Umar mengatakan: Abu Utsman Al Haddad berkata, "Seorang hakim lebih
mudah berbuat dosa dan lebih dekat pada keselamatan daripada seorang
ahli fikih (maksudnya mufti), karena ahli fikih mengeluarkan apa-apa
yang dimaksudkannya pada suatu saat dengan keterbatasan perkataannya,
sedangkan hakim harus menentukan suatu keputusan dengan ketetapan yang
pasti."
Ulama
lain berpendapat bahwa seorang mufti lebih dekat pada keselamatan
daripada seorang hakim, karena seorang mufti tidak menetapkan fatwanya,
tetapi ia menyampaikannya kepada orang yang memerlukannya. Jika ia mau,
ia dapat mempergunakannya dan dapat pula meninggalkannya. Sedangkan
hakim, ia menetapkan suatu keputusan sehingga keberadaan hakim sama
dengan mufti dalam hal menyampaikan suatu hukum. Tetapi, hakim berbeda
dengan mufti dalam hal ketetapan atas keputusannya. Dari pandangan ini,
keputusan hakim lebih besar bahayanya.
BAB VIII
ILMU MAKI DAN MADANI
A. Pengertian Makiyah dan Madaniyah
Secara
umum ilmu Makki dan Madani adalah ilmu yang membahas tentang ayat-ayat
atau surat yang diturunkan di Mekkah atau di Madinah. Di kalangan para
ulama terdapat beberapa pendapat mengenai definisi ilmu ini. Perbedaan
tersebut mucul disebabkan berbedanya kriteria yang mereka pakai untuk
menentukan definisi Makki dan Madani:
1. Sebagian
ulama mendefinisikan: makki adalah yang diturunkan di Mekkah walaupun
turunya setelah Nabi hijrah dan Madani ialah yang diturunkan di Madinah
2. Sebagian
ulama mendefinisikan: makki adalah ayat atau surat yang khitabnya
(sasarannya) diturunkan kepada penduduk Mekah, dan madani ialah kitabnya
(sasarannya) yang ditunjukkan kepada penduduk Madinah.
3. Sebagian
ulama yang lain mendefinisikan : makki adalah yang diturunkan sebelum
Nabi hijrah ke Madinah meskipun turunnya diluar daerah Mekkah, dan
Madani ialah yang turun setelah nabi hijrah ke Madinah meskipun turunnya
diluar daerah Madinah.
Dari
ketiga definisi diatas definisi yang terakhir (ketiga) yang lebih
populer dikalangan ulama dianggap sebagai definisi yang lebih tepat.
karena defini tersebut dapat merangkum seluruh ayat dan surat Al –
Qur’an.
B. Perbedaan Makki Dan Madani
Untuk
membedakan Makki dan Madani para ulama mempunyai 3 macam padangan yang
masing – masing mempunyai dasar – dasar sendiri, yaitu :
1. Dari segi turunnya
Makki
adalah surah yang diturunkan sebelum Hijrah sekalipun bukan di Mekkah.
madani adalah surah yang diturunkan sesudah Hijrah sekalipun bukan di
Madinah. Surat yang diturunkan sesudah Hijrah sekalipun di Mekkahatau
‘Arafah adalah seperti yang diturunkan pada tahun penakhlukan kota Mekkah. dalam surat An – Nisa’:58.
2. Dari segi tempat turunnya
· Makki adalah yang turun di Mekkah dan sekitarnya, seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyah
· Madani adalah surah yang diturunkan di Madinah dn sekitanya, seperti uhud, Quba, dan Sil.
3. Dari segi sasarannya
· Makki adalah surah yang didalamnya terdapat seruan yang ditunjukkan kepada penduduk Mekkah, sedangkan
· Madani yaitu surah yang didalamnya terdapat seruan yang ditunjukkan kepada penduduk Madinah.
Berdasarkan pendapat ini, para pendukungnya menyatakan bahwa:
· Ayat al – qur’an yang mengandung ya ayyuhan nas (wahai manusia) adalah makki, sedangkan
· Ayat yang mengandung seruan ya ayyuhal lazina amanu ( wahai orang – orang yang beriman) adalah madani.
Namun
melalui pengamatan cermat, tampak bgi kita bahwa kebanyakan surah
Qur’an tidak selalu dibuka dengan salah satus seruan itu. dan ketentuan
demikian pun tidak konsisten. Misanya, surah Al – Baqarah itu Madina,
tetapi didalamnya terdapat ayat: “ya ayyuhannas” (an – Nisa). Surah Al –
Hajj i ini makki, didalamnya terdapat juga : “ya ayyuha lazina amanu”.
Al
– Qur’an Nul Karim adalah seruan ilahi terhadap semua makhluk, ia dapat
saja menyeru orang yang beriman dengan sifat, nama atau jenisnya,
begitu pula orang yang tidak beriman dapat diperintah untuk beribadah,
sebagaimana orang yang beriman diperintahkan konsisten menambah
ibadahnya.
C. Contoh Surat Makki dan Madani:
Pendapat yang paling mendekati kebenarannya tentang bilangan surat-surat Makkiah dan Madaniah ialah :
Madaniyah ada 20 surat , yaitu:
1. Al – Baqarah
2. Ali – Imran
3. An – Nisa’
4. Al – Maidah
5. Al – Anfal
6. At – Taubah
7. An – Nur
8. Al – Ahzab
9. Muhammad
10. Al – Fath
|
11. Al – Hujurah
12. Al – Hadid
13. Al – Mujadalah
14. Al – hasyr
15. Al – Mumtahanah
16. Al – jumu’ah
17. Al – Munafiqun
18. Al – talaq
19. At - Tahrim
20. An - Nasr
|
Makkiyah ada 83 surat yaitu:
1. Al – an’am
2. Al – a’raf
3. Yunus
4. Hud
5. Yusuf
6. Ibrahim
7. Al – hijr
8. An – nahl
9. Al – isra’
10. Al – kaff
11. Mariam
12. Taha
13. Al – ambiyah
14. Al – hajj
15. Al – mu’minun
16. Al – furqan
17. Asy – asyra
18. An – nahml
19. Al – qasas
20. Al – ankabut
21. Ar – rum
22. Lugman
23. As – sajdah
24. Saba’
25. Fatir
26. Yasin
27. As – saffaat
28. Sad
29. Az – zumar
30. Al – mukmin
31. Fussilat
32. Asy – syura
33. Az – zukhruf
34. Ad – dukhan
35. Al – jasiyah
36. Al – ahqaf
37. Qaf
38. Az – zariyat
39. At – tur
40. An – najm
41. Al – waqi’ah
42. Al – qamar
43. Al - mulk
|
44. Al – qalam
45. Al – haqqah
46. Al – ma’arij
47. Nuh
48. Al – jin
49. Al – muzzamil
50. Al – muddassir
51. Al – qiyamah
52. Al – insan
53. Al – mursalat
54. An – naba’
55. An – nazi’at
56. ‘abasa
57. At – taqwir
58. Al – infitar
59. Al – masad
60. Al – insyidar
61. Al – buruj
62. At – tariq
63. Al – a’la
64. Al – gasyiyah
65. Al – fajr
66. Al – balad
67. Asy – syams
68. Al – lail
69. Ad – duha
70. Alam – nasyrah
71. At – tin
72. Al’ala
73. Al – adiyat
74. Al – qari’ah
75. At – taqasur
76. Al – asr
77. Al – ma’un
78. Al – kausar
79. Al – humazah
80. Al – fil
81. Quraisy
82. Al - mutafifin
|
BAB IX
ILMU FAWATIUHUSSUAR
A. Pengertian Ilmu Fawatiuhussuar
Secara bahasa, fawatih al-suwar adalah ungkapan bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu fawatih dan al-suwar. Fawatih merupakan bentuk jamak dari kata fatih, yang artinya pembuka. Sedangkan al-suwar merupakan bentuk jamak dari surah, yang artinya surah dalam Al-Qur’an. Dan jika digabungkan artinya menjadi pembukaan-pembukaan surah (Al-Qur’an).
Berdasarkan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa fawatihu al-suwar merupakan kalimat atau kumpulan kata-kata maupun huruf-huruf yang menempati pembukaan surah-surah dalam Al-Qur’an.
B. Macam-Macam Fawatihusssuar
Pembukaan-pembukaan surat ini dikategorikan kepada beberapa bentuk:
1. Bentuk yang terdiri dari satu huruf. Bentuk ini terdapat pada tiga surat, yaitu surat Sad, Qaf, wa Al-Qalam. Surat pertama dibuka dengan Sad, kedua dengan Qaf dan ketiga dibuka dengan Nun.
2. Bentuk yang terdiri dari dua huruf. Bentuk ini terdapat pada sepuluh surat . tujuh diantaranya disebut hawamim yaitu surat-surat yang dimulai dengan huruf Ha dan Mim. Surat-suratnya adalah surat Gafir, Fushilat, As-Syura, Al-Zukhruf, Al-Dukhan, Al-Jatsiyah, dan Al-Ahqaf. Khusus pada surat As-Syura.
3. Pembukaan surat yang terdiri dari tiga huruf. Di antaranya dalam surat Al-Baqarah, Ali Imran, Al-Ankabut, Ar-Rum, Luqman dan Al-Sajadah. Dan yang Lima huruf yaitu pada surat Yunus, Hud, Yusuf, Ibrahim dan Al-Hijr. Dua susunan hurufnya terdapat pada pembukaan surat As-Syura dan Al-Qashash.
4. Pembukaan surat yang terdiri dari empat huruf, yaitu pada surat Al-A’raf dan pada surat Ar-Rad.
5. Pembukaan surat yang terdiri dari lima huruf hanya satu, yaitu pada surat Maryam.
C. Kedudukan Pembuka Surat Al-Qur’an
Menurut As-Suyuti, pembukaan-pembukaan surat (awail Al-Suwar) atau huruf-huruf potongan (Al-Huruf Al-Muqatta’ah) ini
termasuk ayat-ayat mutasyabihat. Sebagai ayat-ayat mutasyabihat, para
ulama berbeda pendapat lagi dalam memahami dan menafsirkannya. Dalam hal
ini pendapat para ulama pokoknya terbagi dua. Pertama, kelompok ulama
yang memahaminya sebagai rahasia yang hanya diketahui Allah. As-Suyuti
memandang pendapat ini sebagai pendapat yang mukhtar (terpilih). Ibnu
Al-Munzir meriwayatkan bahwa ketika Al-Syabi ditanya tentang
pembukaan-pembukaan surat ini berkata, artinya : “Sesungguhnya bagi setiap kitab ada saripatinya, dan sari pati Kitab (Al-Qur’an) ini adalah huruf-huruf ejaanya”.
Abu Bakar juga diriwayatkan pernah berkata, artinya : “Pada setiap kitab ada rahasia, dan rahasianya dalam Al-Qur’an adalah permulaan surat-suratnya”.
Kedua,
pendapat yang memandang huruf-huruf di awal surat-surat ini sebagai
huruf-huruf yang mengandung pengertian yang dapat dipahami oleh manusia.
Karena itu penganut pendapat ini memberikan pengertian dan penafsiran
kepada huruf-huruf tersebut.
Dengan
keterangan di atas, jelas bahwa pembukaan-pembukaan surat ada 29 macam
yang terdiri dari tiga belas bentuk. Huruf yang paling banyak terdapat
dalam pembukaan-pembukaan ini adalah huruf Alif dan Lam, kemudian Mim, dan seterusnya secara berurutan huruf Ha, Ra’, Sin, Ta, Sad, Ha, dan Ya, ‘Ain, dan Qaf, dan akhirnya Kaf, dan Nun.
Seluruh huruf yang terdapat dalam pembukaan-pembukaan surat ini dengan
tanpa berulang jumlah 14 huruf atau separuh dari jumlah keseluruhan
ejaan.
BAB X
ILMU Al-MUKAM DAN MUTASYABIH
A. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
Secara
bahasa muhkam artinya suatu ungkapan yang maksud makna lahirnya tidak
mungkin diganti atau diubah. Muhkam diambil dari kata ihkâm, artinya kekokohan, kesempurnaan. Bisa bermakna, menolak dari kerusakan. Muhkam adalah ayat-ayat yang (dalâlah) maksud petunjuknya jelas dan tegas, sehingga tidak menimbulkan kerancuan dan kekeliruan pemahaman.
Mutasyabih adalah ungkapan yang maksud makna lahirnya samar. mutasyabih diambil dari kata tasyâbaha-yatasyâbahu,
artinya keserupaan dan kesamaan, terkadang menimbulkan kesamaran antara
dua hal. Mutasyabih adalah ayat-ayat yang makna lahirnya bukanlah yang
dimaksudkannya. Oleh karena itu makna hakikinya dicoba dijelaskan dengan
penakwilan. Bagi seorang muslim yang keimanannya kokoh, wajib mengimani
dan tidak wajib mengamalkannya. Dan tidak ada yang mengetahui takwil
ayat-ayat mutasyabihât melainkan Allah Swt.
Pengertian Muhkam dan Mutasyabih Secara Khusus
Muhkam dan mutasyabih terjadi banyak perbedaan pendapat. Yang terpenting di antaranya sebagai berikut:
1. Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedangkan mutasyabih hanya Allah-lah yang mengetahui akan maksudnya.
2. Muhkam
adalah ayat yang dapat diketahui secara langsung, sedangkan mutashabih
baru dapat diketahui dengan memerlukan penjelasan ayat-ayat lain.
B. Sikap Para Ulama Terhadap Ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih:
1. Madzhab
Salaf, yaitu para ulama yang mempercayai dan mengimani ayat-ayat
mutasyabih dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah sendiri. Mereka
menyucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil bagi
Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an. Di antara
ulama yang masuk ke dalam kelompok ini adalah Imam Malik yang berasal
dari ulama mutaqaddimin.
2. Madzhab
Khalaf, yaitu para ulama yang berpendapat perlunya menakwilkan
ayat-ayat mutasyabih yang menyangkut sifat Allah sehingga melahirkan
arti yang sesuai dengan keluhuran Allah. Mereka umumnya berasal dari
kalangan ulama muta’akhirin.
BAB XI
I’JAZU QUR’AN
A. Pengertian I’jazul Qur’an
I’jaz
(kemukjizatan) adalah penetapan kelemahan. Kelemahan menurut pengertian
umum adalah ketidakmampuan mengerjakan sesuatu, lawan dari kemampuan.
Apabila kemukjizatan telah terbukti, maka nampaklah kemampuan mu’jiz
(sesuatu yang melemahkan), yang dimaksud dengan i’jaz ialah menampakkan
kebenaran Nabi dalam pengakuannya sebagai seorang Rasul dengan
menampakkan kelemahan orang Arab untuk menghadapi mukjizatnya yang
abadi, yaitu al-Qur’an, dan kelemahan generasi-generasi sesudah mereka.
B. Macam-macam I’jazul Qur’an
Dalam
menjelaskan macam-macam I’jazil Qur’an para ulama berbeda pendapat. Hal
ini disebabkan karena perbedaan tinjauan masing-masing, di antaranya
yaitu:
1. Dr. Abd. Rozzaq Naufal, dalam kitab Al-I’jazu al-Adadi Lil Qur’anil Karim menerangkan bahwa i’jazil Qur’an itu ada 4 macam, adalah sebagai berikut:
a. Al-I’jazul Balaghi yaitu kemukjizatan segi sastra balaghahnya, yang muncul ada pada masa peningkatan mutu sastra Arab.
b. Al-I’jazut Tasyri’i yaitu kemukjizatan segi pensyariatan hukum-hukum ajarannya yang muncul pada masa penetapan hukum-hukum syari’at Islam.
c. Al-I’jazul Ilmu yaitu kemukjizatan segi ilmu pengetahuan, yang muncul pada masa kebangkitan ilmu dan sains di kalangan umat Islam.
d. Al-I’jazul Adadi, yaitu kemukjizatan segi quantity / matematis, statistik yang muncul pada abad ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang.
2. Imam
al-Khotthoby (wafat 388 H) dalam buku al-Bayan fi I’jazil Qur’an
mengatakan bahwa kemukjizatan al-Qur’an itu terfokus pada bidang
kebalaghahan saja.
3. Imam al-Jahidh (w. 255 H) di dalam kitab Nudzumul Qur’an dan Hujajun Nabawiyah serta al-Bayan wa at-Tabyin menegaskan bahwa kemukjizatan al-Qur’an itu terfokus pada bidang susunan lafal-lafalnya saja.
4. Moh.
Ismail Ibrahim dalam buku yang berjudul Al-Qur’an wa I’jazihi al-Ilmi
mengatakan, orang yang mengamati al-Qur’an dengan cermat, mereka akan
mengetahui bahwa kitab itu merupakan gudang berbagai disiplin ilmu dan
pengetahuan, baik ilmu-ilmu lama maupun ilmu-ilmu baru.
C. Segi-Segi Kemukjizatan
1. Golongan
Mu’tazilah berpendapat bahwa kemukjizatan itu berkaitan dengan
keseluruhan Qur’an, bukan dengan sebagiannya atau dengan setiap surahnya
secara lengkap.
2. Sebagian
ulama berpendapat sebagian kecil atau sebagian besar dari Qur’an, tanpa
harus satu surah penuh, juga merupakan mukjizat berdasarkan firman
Allah, yang artinya: Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar.(QS. At-Thur: 34)
3. Ulama
yang lain berpendapat, kemukjizatan itu cukup hanya dengan satu surah
lengkap sekalipun pendek, atau dengan ukuran satu surah, baik satu ayat
atau beberapa ayat.
BAB XII
MUNASABAH AL-QUR’AN
A. Pengertian Ilmu Munasabah
Di sudut bahasa, al-munasabah berarti al-musyakalah (saling menyerupai) dan al-muqarabah (saling mendekati).
Di sudut istilah, al-munasabah
berarti adanya keserupaan dan kedekatan di antara kalimah-kalimah,
ayat-ayat dan surah-surah al-Quran yang membawa kepada wujudnya hubungan
perkara-perkara tersebut. Hubungan tersebut samada berbentuk kaitan
pada makna ayat-ayat seperti hubungan sebab dan musabbab, hubungan
kesetaraan dan hubungan perlawanan. Al-Munasabah juga terdapat dalam bentuk penguatan, penafsiran dan penggantian.
Al-Munasabah
antara kalimah-kalimah, ayat-ayat dan surah-surah al-Quran ialah:
bentuk-bentuk pertautan dan keterikatan antara satu sama lain
bersesuaian dengan susun atur bacaan dalam mushaf al-Quran.
Oleh itu, Ilmu al-Munasabah adalah suatu ilmu bagi mengetahui bentuk-bentuk susunan al-Quran dan ‘illah-‘illahnya.
B. Dasar Pemikiran Munasabah:
Para ulama bersepakat bahawa susunan ayat-ayat Al Qur’an adalah tauqifi
(berdasarkan petunjuk Allah dan Nabi-Nya). Namun para ulama berbeda
pendapat mengenai susunan surah-surah dalam Al-Qur’an. Mayoritas ulama
berpendapat bahawa susunan surah-surah Al-Qur’an sebagaimana yang
terdapat di dalam mushaf yang wujud sekarang adalah juga tauqifi.
Asas pendapat ini ialah peristiwa kedatangan Jibril a.s. setiap tahun
untuk memperlihatkan ayat-ayat al-Quran kepada baginda Nabi SAW.
Termasuk yang diperdengarkan kepada Rasulullah SAW itu ialah susunan
ayat-ayat dan surah-surahnya.
1. Sebagian ulama juga berpandangan bahwa susunan ayat-ayat Al-Qur’an adalah masalah ijtihadi. Pendapat ini berdasarkan beberapa alasan:
Mushaf pada catatan para sahabat tidak sama antara satu dengan lainnya.
2. Sahabat pernah mendengar Nabi membaca Al-Qur’an berbeda dengan susunan surah yang terdapat dalam Al-Qur’an.
3. Adanya
perbedaan pendapat dalam masalah susunan surah Al-Qur’an ini
membuktikan bahwa tidak adanya petunjuk yang jelas berkaitan susun atur
yang dimaksudkan.
Selain itu, ada juga di kalangan ulama yang berpendapat bahawa sebagian susunan surah al-Quran ini adalah tauqifi dan
manakala yang lainnya merupakan ijtihad dari Uthman Bin ‘Affan r.a.
Pendapat ini mengemukakan beberapa alasan. Menurut pendapat ini, tidak
semua nama surah Al-Qur’an diberikan oleh Allah, tetapi sebagiannya
diberikan oleh Nabi SAW, sedangkan yang lainya diberikan oleh para
sahabat. Uthman pernah ditanya mengapa surah Al-Bara’ah (at-Taubah)
tidak dimulai dengan basmalah. Beliau menjawab bahwa ia melihat isinya
yang sama dengan surah sebelumnya, yakni surah al-Anfal.
Meskipun ketiga pendapat ini memiliki alasan dan hujah, tetapi hujah
yang dikemukakan itu tidak semuanya memiliki tingkat keabsahan yang
sama.
Demikian juga alasan pendapat yang mengatakan sebagian surah adalah tauqifi dan selainnya ijtihadi tidak kuat.
Keterangan
bahwa Nabi SAW tidak sempat menjelaskan letak surat al-Bara’ah sehingga
Uthman menempatkannya sebelum surat al-Anfal adalah riwayat yang lemah.
Dari segi matan
juga ia lemah kerana Nabi SAW wafat tiga tahun setengah setelah
turunnya surah al-Bara’ah. Tentunya dalam tempo sepanjang itu tidak
logis baginda SAW tidak sempat menjelaskan letak sebuah surah, sedang
Nabi setiap tahun membacakan Al-Qur’an kepada Jibril sabagaimana riwayat
yang sahih. Justeru itu, pendapat mayoritas ulama adalah lebih kuat
daripada dua pendapat yang lain.
Bertitik
tolak dari pendapat jumhur tersebut, dapat difahami bahwa petunjuk
Rasulullah SAW tentang susunan ayat dan surah al-Quran itu tidak akan
sia-sia. Ia tentunya mempunyai hikmah dan rahasia. Namun ilmu ini
termasuk antara ilmu yang kurang mendapat perhatian dari para mufassir.
Tidak kurang juga terdapat sebagian ulama yang menentang adanya ilmu
ini. Justeru buku-buku Ulum al-Qur’an, jarang membahas topik ini. Ilmu al-Munasabah ini sebagaimana yang ditegaskan oleh al-Suyuthi termasuk ilmu yang rumit dan ia bersifat ijtihadi.
C. Urgensi Mempelajari Munasabah
Pengetahuan tentang munasabah Al-Qur’an terutama bagi seorang mufassir sangat penting. Antara lain:
1. Membongkar
makna yang tesirat dalam susunan dan urutan kalimah-kalimah, ayat-ayat,
dan surah-surah Al-Qur’an sehingga bagian-bagian dari Al-Qur’an itu
saling berhubungan dan tampak menjadi satu rangkaian yang utuh dan
berkaitan satu sama lain.
2. Memudahkan
pemahaman Al-Qur’an. Misalnya ayat enam dari surat al-Fatihah yang
artinya, ‘tunjukanlah kami kepada jalan yang lurus’ disambung dengan
ayat ketujuh yang artinya ‘yaitu jalan orang-orang yang Engkau anugerahi
nikmat atas mereka. Antara kedua ayat tersebut terdapat hubungan
penjelasan yaitu jalan yang lurus yang dimaksudkan adalah jalan
orang-orang yang telah mendapatkan nikmat dari Allah SWT.
3. Mengukuhkan
keyakinan akan kebenaran al-Quran sebagai wahyu Allah. Meskipun
Al-Qur’an yang terdiri dari atas 6236 ayat diturunkan dan ditulis di
tempat, keadaan dan peristiwa yang berbeda, selama dua puluh tahun
lebih, namun dalam susunannya mengandung makna yang mendalam berupa
hubungan yang kuat antara satu bagian dengan bagian yang lain.
4. Menolak
tuduhan bahwa susunan al-Qur’an adalah tidak teratur. Contohnya surah
al-Fatihah yang ditempatkan pada awal mushaf sehingga surah inilah yang
pertama dibaca, sedangkan wahyu yang pertama diturunkan ialah lima ayat
pertama surah al-Alaq. Nabi SAW menetapkan al Fatihah di awal mushaf
disusul dengan surah al-Baqarah dan seterusnya. Setelah diteliti,
ternyata dalam urutan ini terdapat munasabah. Surah al-Fatihah
mengandung asas-asas syariat Islam dan pada surah ini ada doa manusia
untuk memohon petunjuk ke jalan yang lurus. Dengan membuktikan munasabah
tersebut, ternyata susunan ayat-ayat dan surat-surat al-Qur’an tidak
asal-asalan atau tidak teratur, sebaliknya penyusunan itu mempunyai
makna yang mendalam.
BAB XIII
TAFSIR, TA’WIL DAN TARJAMAH
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan ”taf`íl”, berasal dari asal kata al-Fashr yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan “daraba-yadribu” dan ”nasara-yansuru”. Dikatakan ”fasara (asy-syai`a) yafsiru” dan ”yafsuru, fasran”, dan ”fassarahu”, artinya “abanahu” (menjelaskannya). Kata at-tafsir dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup.
Dalam lisanul `Arab dinyatakan: kata kata “al-fasr” berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata “at-tafsir” berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafadz yang musykil, pelik. Dalam al-Qur`an dinyatakan: (Tidaklah
mereka datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami
datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan paling baik tafsir-nya) (al-Furqan [25]:33).
Maksudnya:
setiap kali mereka datang kepada nabi Muhammad s.a.w membawa suatu hal
yang aneh berupa usul dan kecaman, Allah menolaknya dengan suatu yang
benar dan nyata. Dalam al-Qur`an dinyatakan: “Suatu ilmu yang di
dalamnya dibahas tentang cara-cara menyebut lafal Al Qur-an,
petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya, baik secara ifrat, maupun secara
tarkib dan makna-maknanya yang ditampung oleh tarkib dan yang selain
itu, seperti mengetahui nasakh, sebab nuzul, dan sesuatu yang
menjelaskan pengertian seperti kisah dan matsal (perumpamaan).”
Dalam pengertian istilah ahli tafsir, ada beberapa macam maknanya:
Ø Golongan mutaqoddimin memaknakan ta`wil dengan tafsir,
Ø Mujahid
berkata : “Bahwasanya para ulama mengetahui ta`wil Al Qur-an, yakni
tafsirnya. Ibnu Jarir pun mempergunakan kata ta`wil dalam arti tafsir.
Ø Sebagian
lagi berpendapat lain bahwa tafsir berbeda dari ta`wil dalam segi umum
dan khusus saja. Tafsir lebih umum daripada ta`wil. Dimaksud dengan
ta`wil ialah menerangkan kehendak lafal atau petunjuk lafal kepada yang
tidak segera ditanggapi.
Ø Tafsir
ialah menetapkan dengan penuh keyakinan, bahwasanya demikianlah
kehendak Allah, sedangkan ta`wil mentarjihkan salah satu makna yang
mungkin diterima oleh lafal, tanpa meyakini bahwa itulah yang
dimaksudkan. Demikian pendapat Al Maturidy.
Ø Tafsir
ialah menetapkan dengan penuh keyakinan, bahwasanya demikianlah
kehendak Allah, sedangkan ta`wil mentarjihkan salah satu makna yang
mungkin diterima oleh lafal, tanpa meyakini bahwa itulah yang
dimaksudkan. Demikian pendapat Al Maturidy.
Ø Ada
yang mengatakan tafsir ialah menerangkan arti lafadz dengan jalan
riwayat, sedangkan ta`wil menerangkan arti lafadz dengan jalan dirayat.
Ø Atau tafsir ialah menerangkan makna-makan yang diperolehdengan jalan isyarat.
Ø Atau tafsir ialah menerangkan makna-makan yang diperoleh dengan jalan isyarat.
Ø Makna inilah yang terkenal dalam kalangan mutaakhkhirin, seperti yang diterangkan oleh al-Alusyi dalam Tafsir Ruhul Ma`ani.
Ø Atau tafsir ialah menerangkan makna-makan yang diperolehdengan jalan isyarat.
Ø Perlu
ditandaskan bahwa pengertian ta`wil, menurut istilah mufassirin, adalah
supaya tidak mencakup pengertian ta`wil menurut istilah mutakallimin.
Menurut mereka, ta`wil bermakna: ”Memalingkan nash-nash al-Qur`an dan
as-Sunnah yang mutasyabbihah, dari maknanya yang dhahir, kepda
makna-makna yang sesuai dengan kesucian Allah dari menyerupai makhluq,
yang berlainan dengan makna yang diberikan oleh ulama-ulama salaf, yaitu
menyerahkan pengertian-pengertian nash itu, kepada Allah sendiri tanpa
menentukan sesuatu makna”.
Tafsir Tahlili
Tafsir Tahlili
adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelasakan kandungan
ayat-ayat al-Qur`an dari berbagai aspeknya dengan memperhatikan runtunan
ayat-ayat al-Qur`an yang tercantum di dalam mushaf, (Shadr, 1980:10)
atau suatu metode penafsiran al-Qur`an dengan memaparkan segala aspek
yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta
menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian
dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat tersebut (al-Farmawi,
1977:24).
Dalam metode ini, segala sesuatu yang di anggap perlu oleh seorang mufassir tahlili
diuraikan, baik bermula dari penjelasan makna lafadz-lafadz tertentu,
ayat per-ayat, surat per-surat, susunan kalimat, persesuaian kalimat
yang satu dengan yang lain, Asbab al-Nuzul, hadits yang berkenaan dengan ayat-ayat yang ditafsirkan dan lain-lain.
Ciri-ciri
Penafsiran yang mengikuti metode ini bisa mengambil bentuk ma`tsur
(riwayat) atau ra`yi (pemikiran). Dalam penafsiran tersebut, al-Qur`an
ditafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat secara berurutan, serta
tak ketinggalan menerangkan Asbab An-Nuzul dari ayat-ayat yang
ditafsirkan. Kemudian diungkapkan pula penafsiran-penafsiran yang pernah
diberikan oleh Nabi SAW, Sahabat, Tabiin, Tabi Tabiin, dan para ahli
tafsir lainnya dari berbagai disiplin ilmu, seperti teologi, fiqih,
bahasa, sastra, dsb. Selain itu juga dijelaskan Munasabah antara ayat
yang satu dengan yang lainnya.
Ciri
lain dari metode ini, penafsirannya diwarnai oleh kecenderungan dan
keahlian mufassirnya sepert fiqih, sufi, falsafi, ilmi, adabi ijtimai,
dan lain-lain.
Tafsir Ijmali
Tafsir
Ijmali adalah menafsirkan Al-Qur an dengan cara menjelaskan maksud Al
Qur an secar global, tidak terperinci sepert tafsir tahlili, (Hidayat,
1996: 191) atau menjelaskan ayat-ayat Al Qur-an secara ringkas tapi
mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca.
Sistematika tulisannya menurut susunan ayat-ayat yang terdapat dalam
mushaf. Selain itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al
Qur-an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih mendengarkan
Al Qur-an padahal yang didengarnya adalah tafsirannya.
Tafsir
dengan metode ini ditetapkan secara khusus bagi orang awam agar mudah
memahami maksud yyang terkandung dalam Al Qur-an. Karena dengan metode
tafsir ijmali, seorang mufassir berbicara kepada pembacanya dengan cara
yang termudah, singkat, tidak berbelit-belit yang dapat menjelaskan arti
ayat sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal lain dari arti yang
dikehendaki, dgm target pihaj pembaca memahami kandungan pokok Al
Qur-an.
Ciri-ciri:
Penafsiran
yang dilakukan terhadap ayat-ayat Al Qur-an, ayat demi ayat, surat demi
surat, sesuai dengan urutannya dalam mushaf. Dan kadangkala mufassir
menafsirkan Al Qur-an dengan lafazh Al Qur-an, sehingga pembaca merasa
bahwa uraian tafsirnya tidak jauh dari konteks Al Qur-an dengan
penyajiannya yang mudah dan indah. Metode tafsir Ijmali ini hampir sama
dengan metode tafsir Tahlili, tetapi penafsirannya tidak secara
terperinci seperti tafsir Tahlili, hanya secara ringkas dan umum.
Tafsir Muqoron
Pengertian
metode tafsir Muqoron adalah: 1) membangdingkan teks (nash) ayat-ayat
Al Qur-an yang memiliki kesamaan redaksi dalam 2 kasus lebih, dan atau
memiliki berbeda bagi satu kasus yang sama; 2) membandingkan ayat Al
Qur-an dengan hadits yang pada lahirnya bertentangan; dan 3)
membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir di dalam menafsirkan Al
Qur-an (Baidan 1998: 65)
Definisi
di atas menunjukkan bahwa, penafsiran Al Qur-an dgm metode ini memiliki
cakupan yang amat luas, tidak hanya membandingkan ayat dengan ayat,
ayat dengan hadits, tapi juga membandingkan pendapat para mufassir dalam
menafsirkan ayat.
Ciri-ciri:
Metode
ini mempunyai ciri khas yang dapat membedakannya dari metode lain yaitu
membandingkan pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan ayat dengan
ayat, atau ayat dengan hadits, baik merka termasuk ulama salaf ataupun
ulama hadits yang metode dan kecenderungan merka berbeda-beda, baik
penafsiran merka yang berdasarkan riwayat yang bersumber dari Rosulullah
SAW, Sahabat atau Tabiin ( tafsir bil matsur) atau berdasarkan rasio, ijtihad (tafsir bil ray)
dan mengungkapkan pendapat mereka serta membandingkan segi-segi dan
kecenderungan masing-masing yang berbeda dalam penafsiran Al Qur-an.
Mufassir
dengan metode ini dituntut mampu nenganalisis pendapat-pendapat para
ulama tafsir yang mereka kemukakan untuk kemudian mengambil sikap untuk
menerima penafsiran yang dinilai benar dan menolak penafsiran yang tidak
dapat diterima oleh rasionya serta menjelaskan kepada pembaca alasan
dari sikap yang diambilnya, sehingga pembaca merasa puas.
Tafsir Maudhu`i
Metode
tafsir Maudhui / tematik adalah suatu metode penafsiran Al Qur-an
dimana seorang mufassir mengkaji Al Qur-an sesuai dengan tema atau judul
yang telah ditetapkan dalam Al Qur-an, baik yang berkaitan dengan hal
kehidupan, sosiologi, ataupan kosmologi (Muhaimin, 1994: 120) . Dalam
metode ini, semua ayat yang berkaitan, dihimpun, kemudian dikaji secara
mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti
asbaabun nuzul, kosa kata, dsb. Semuanya dikaji secara rinci dan tuntas,
serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Ciri-ciri:
Sesuai
dengan namanya, maka yang menjadi ciri utama dari metode ini ialah
penonjolan tema, judul atau topik pembahasan, sehingga tidak salah jika
dikatakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal (Baidan, 1998:
152)
Tafsir
Maudhui mempunyai dua bentuk kajian yang menjadi ciri utamanya:
Pertama, pembahasan mengenai satusurat secara menyeluruh dan utuh dengan
menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan
korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surat itu
tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh dan cermat. Kedua,
menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat yang sama-sama membicarakan
satu masalah tertentu; ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupadan
diletakkan di bawah satu tema bahasan, selanjutnya ditafsirkan secara
Maudhui.
Kemudian
untuk cara kerjanya (yang menjadi ciri khas metode ini) Abd al- Farmawi
(1977: 52) merumuskannya sebagai berikut: (a) menetapkan masalah/tema
yang akan dibahas; (b) menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan
masalah tersebut; (c) menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa
turunnya; (d) memahami korelasi ayat-ayat tsb dalam suratnya
masing-masing; (e) menyusun pembahasan dalam rangka yang sempurna; (f)
melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok
pembahasan; (g) mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan
jalan menghimpun ayat-ayat yang memiliki pengertian sama, atau
mengkompromasikan antara yang ”amm” dengan yang ’khosh”, yang ”mutlak”,
yang ”muqoyyad”, atau yang lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya
bertemu ke dalam satu muara tanpa perbedaan atau pamaksaan.
Sedangkan perbedaan terjemahan dengan tafsir dan takwil adalah:
1. Pada
terjemah terjadi perpindahan bahasa dengan kata tidak ada lagi bahasa
pertama yang melekat pada bahasa terjemah, tidak demikian halnya dengan
tafsir. Tafsir selalu ada keterkaitan pada bahasa asalnya.
2. Pada
terjemah tidak boleh melakukan istidhrad yaitu penguraian yang meluas
yang melebihi dari sekedar pemindahan bahasa, sedangkan tafsir boleh.
3. Pada
terjemah dituntut terpenuhinya semua makna dan maksud yang ada pada
bahasa yang diterjemahkan, tidak halnya demikian dengan tafsir.
4. Pada
terjemah harus diakui bahwa sipenterjemah sudah melakukan
terjemahan,sejau ia telah berhasil memindahkan makna bahasa pertama
kebahasa terjemah,sedangkan tafsir tidak.
B. Contoh Tafsir Al-Matsur dan Al-Ra’y
Contoh Kitab-kitab tafsir bil-Ma’sur yang terkenal :
1). Tafsir yang dinisbahkan kepada Ibn Abbas.
2). Tafsir Ibn ’Uyainah.
3). Tafsir Ibn Abi Hatim.
4). Tafsir Abusy Syaikh bin Hibban.
5). Tafsir Ibn ’Atiyah.
6). Tafsir Abuk Lais Samarqandi, Bahrul Ulum.
7). Tafsir Abu Ishaq, al-Kasyfu wal Bayan an Tafsiril Qur-an.
8). Tafsir Ibn Jarir at-Tabari, Jami’ul Bayan fii Tafsiril Qur-an.
9). Tafsir Ibn Abi Syaibah.
10.) Tafsir al-Baghowi, Ma’alimut Tanzil.
11). Tafsir Abil Fida’ al-Hafizh Ibn Katsir, Tafsirul Qur-anul Azhim.
12). Tafsir as-Salabi, al-Jawahirul Hisan fii Tafsiril Qur-an.
13). Tafsir Jalaluddin as-Suyuti, ad-Durrul Mantsur fit Tafsiri bil Ma’sur.
14). Tafsir asy-Syaukani, Fathul Qadir.
Contoh Kitab-kitab Tafsir bir-Ra’yi yang terkenal :
1). Tafsir Abdurrahman bin Kaisan al-Asam.
2). Tafsir Abu ’Ali al-Juba’i.
3). Tafsir ’Abdul Jabbar.
4). Tafsir az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ’an Haqa’iqi Gawamidit.
5). Tafsir Fakhruddin ar-Razi, Mafatihul Gaib.
6). Tafsir Ibn Furak.
7). Tafsir an-Nasafi, Madarikul Tanzil wa Haqa’iqut Ta’wil.
8). Tafsir al-Khozin, Lubabut Ta’wil fi Ma’anit Tanzil.
9). Tafsir Abu Hayyan, al-Bahrul Muhit.
10). Tafsir al-Baidawi, Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil.
11). Tafsir al-Jalalain; Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti.
PENUTUP
Ulumul
Qur’an merupakan ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan
Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun aspek
pemahaman kandunganya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia.
Ulumul
Qur’an merupakan suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan
yang luas yang meliputi semua ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an,
baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa
Arab. Di samping itu, masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di
dalamnya.
Secara garis besar Ilmu alQur’an terbagi dua pokok bahasan yaitu :
1. Ilmu
yang berhubungan dengan riwayat semata-mata, seperti ilmu yang membahas
tentang macam-macam qira’at, tempat turun ayat-ayat Al-Qur’an,
waktu-waktu turunnya dan sebab-sebabnya.
2. Ilmu
yang berhubungan dengan dirayah, yakni ilmu yang diperoleh dengan jalan
penelaahan secara mendalam seperti memahami lafadz yang ghorib (asing)
serta mengetahui makna ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum.
Pertumbuhan
dan perkembangan Ulumul Qur’an menjelma menjadi suatu disiplin ilmu
melalui proses secara bertahap dan sesuai dengan kebutuhan dan
kesempatan untuk membenahi Al-Qur’an dari segi keberadaanya dan segi
pemahamanya.
Mengenai
cukup banyaknya ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an maka ruang
lingkup Al-Qur’an menjadi bervariasi, baik secara eksternal maupun
internal. Secara internal, berhubungan dengan teks ayat seperti huruf,
kalimat, ayat, surat, serta seluruh kegiatan dalam rangka pemahaman
terhadap makna dan isi kandungannya. Sedangkan secara eksternal,
berhubungan dengan Al-Qur’an, seperti: sejarah turunnya Al-Quran,
pembukuan Al-Qur’an, penyeragaman bacaan Al-Quran, dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Djalal. 1997. Ulumul Quran. Surabaya: Dunia Ilmu.
Abdul Wahid Ramli. 2002. Ulumul Qur’an. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Muhammad Hasbi. 2002. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Manna’ Khalil al-Qaththan. 1992. Study Ilmu-ilmu Quran. Cet. I (Penterjemah Drs. Mudzkir AS.). Bogor: Litera Antar Nusa.
Muhammad Zaini. 2005. Ulumul Qur’an Suatu Pengantar. Cet. 1. Banda Aceh: Yayasan Pena.
Quraish Shihab, dkk. 2001. Sejarah dan Ulumul Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Rosihon Anwar. 2000. Ulumul Quran. Bandung: Pustaka Setia.
Shaleh. Asbabun Nuzul. Bandung: C.V Diponegoro. 1992
Subhi As-Shalih. 1985. Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus.
21 April 2012, Pukul 16:17 WIB
By Jaimah
Jurusan Tarbiyah
Prodi PAI
STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa