Senin, 22 April 2013

asyik juga

<p style="line-height: 100%; margin-top: 0; margin-bottom: 0" align="center">
            <a target="_blank" href="http://meabisnis.com/?id=ImehTinkywinky">
            <img border="0" src="http://meabisnis.com/images/banner_dua.gif" width="600" height="600"></a><p></p>

asyik-asyik aja

<p style="line-height: 100%; margin-top: 0; margin-bottom: 0" align="center">
            <a target="_blank" href="http://meabisnis.com/?id=ImehTinkywinky">
            <img border="0" src="http://meabisnis.com/images/banner_satu.gif" width="524" height="96"></a><p></p>

Kamis, 11 April 2013

Makalah Problem Awal Filsafat








BAB I
PENDAHULUAN   


Perkembangan alam pikiran Barat hingga awal abad ke dua puluh ini telah menempatkan kedudukan ‎filsafat sebagai pengetahuan yang mempunyai pamor tinggi. Tidak dapat disangkal, filsafat ‎merupakan induk segala ilmu, the queen of the sciences, karena daripadanya berkembang ilmu-ilmu ‎pengetahuan yang beragam sampai pada spesifikasinya yang amat khusus. Dewasa ini kita ‎mengenal ilmu-ilmu mikrobiologi, genetika, ilmu perbintangan, tehnik nuklir. yang keberadaannya ‎tak mungkin kita pahami selain dalam kaitannya dengan perkembangan filsafat.‎
Perkembangan filsafat Yunani berlangsung begitu cepatnya, sehingga dalam usaha untuk menggambarkannya dengan mudah akan mengalami kesukaran mengenai kronologisnya. Perkembangan ini berlangsung berangsur-angsur, meskipun secara relatif berjalan cepat. Sampai saat ini filsafat Eropa dan Amerika juga didasarkan atas daya pikir orang-orang Yunani, tidaklah mungkin untuk memahami filsafat dewasa ini tanpa mengetahui sejarah dan asal-usulnya. Yang menjadi asal mulanya dalam arti sempit ialah pemikiran Plato dan Aristoteles.
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang Problem Awal Filsafat” yang akan diuraikan pada bab selanjutnya.

BAB II
PEMBAHASAN
PROBLEM AWAL FILSAFAT


A.      Pengertian Filsafat
Menurut para ahli bahasa kata filsafat diambil dari dua akar kata, yaitu: philos (cinta, persahabatan, tertarik kepada) dan sophos (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, pengalaman, keterampilan, intelegensi) yang merupakan bahasa yunani. Jadi secara etimologi filsafat bisa diartikan cinta terhadap ilmu pengetahuan.
Filsafat menurut Harun Nasution berasal dari bahasa Arab falsafah dengan wazan fa'lala, fa'lalah dan fi'lal. Jadi kata bendanya seharusnya falsafah dan filsaf. Harun Nasution beranggapan seperti itu karena menurut beliau bahwasannya orang Arab lebih dulu datang dan sekaligus mempengaruhi bahasa Indonesia daripada orang dan bahasa Inggris.
Sidi Gazalba mengartikan filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.
Ibnu Rusyd berpendapat bahwa filsafat atau hikmah merupakan pengetahuan ‘otonom’ yang perlu dikaji oleh manusia karena ia dikaruniai akal. Al-Qur’an mewajibkan manusia berfilsafat untuk menambah dan memperkuat keimanan kepada tuhan.
Al-Farabi mengemukakan filsafat merupakan ilmu tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki hakikatnya yang sebenarnya.
Pengertian filsafat secara terminologi sangatlah beragam, baik dalam ungkapan maupun titik tekannya. Seperti halnya Moh. Hatta dan Langeveld mengatakan definisi filsafat tidak perlu diberikan karena setiap orang memiliki titik tekan sendiri dalam definisinya. Oleh karena itu, biarkan saja seseorang meneliti filsafat terlebih dahulu kemudian menyimpuannya sendiri.
Aristoteles tokoh utama filosof klasik, berpendapat bahwa filsafat menyelidiki sebab dan asas segala terdalam dari wujud. Oleh karena itu dia menamakan filsafat dengan ‘teologi’ atau ‘filsafat pertama’. Aristoteles sampai pada kesimpulan bahwa setiap gerak dalam alam ini digerakkan oleh yang lain. Karena itu perlu menetapkan satu penggerak utama yang menyebabkan gerak itu, sedangkan dirinya sendiri tidak bergerak. Penggerak pertama ini sama sekali terlepas materi, sebab kalau dia materi, maka ia juga mempunyai potensi gerak. Allah, demikian Aristoteles, sebagai penggerak pertama adalah aktus murni. Dan ia adalah salah seorang filosof yunani kuno yang mengatakan bahwa filsafat memperhatikan seluruh pengetahuan, dan kadang-kadang disamakan dengan pengetahuan tentang wujud (ontologi). Sementara Plato dan Pythagoras berpandangan sama dalam menekankan objek filsafa, yaitu “penemuan kenyataan atau kebenaran absolute lewat ‘dialektika’. 
Adapun beberapa pengertian tentang filsafat menurut kalangan filosof adalah:
·           Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas.
·           Upaya untuk melukiskan hakikat akhir dan dasar serta nyata.
·           Upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan baik itu sumbernya, hakikatnya, kabsahannya, dan nilainya.
·           Penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang dilakukan oleh berbagai bidang pengetahuan.
·           Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu anda melihat apa yang anda katakan dan untuk mengatakan apa yang anda lihat.
·           Berpikir keras dan mendalam untuk mencari atau mendapatkan suatu kebenaran.

B.       Awal Terbentuknya Filsafat
Sejarah awal lahirnya filsafat berkembang melalui kebudayaan dan peradaban Yunani kuno, lalu abad pertengahan, modern sampai abad kontemporer.
Bertrand Russell (1946), dalam bukunya History of Western Philosophy, menjelaskan bahwa munculnya filsafat di Yunani tersebut akibat kemahiran bangsa Yunani dalam merajut dan menyempurnakan peradaban besar lainnya pada saat itu seperti Mesir dan Mesopotamia.
Sekitar abad ke-7 SM, di Yunani mulai berkembang suatu pendekatan yang sama sekali berlainan dibanding masa-masa sebelumnya, yaitu pendekatan filsafat. Sejak saat itulah orang mulai mencari jawaban rasional tentang berbagai problem yang dihadapai, termasuk beragam masalah mengenai alam semesta. Sejak saat itu juga peran mitos, legenda, kepercayaan, dan agama telah tergantikan oleh fungsi logos (akal budi, rasio) dan berkembang sebagai sebuah khazanah ilmu pengetahuan.
Banyak ahli filsafat memberi kesimpulan bahwa filosof Yunani pertama yang berhak diberi gelar tersebut ialah Thales. Meskipun sebetulnya para filosof yang terbesar lainnya masih banyak seperti Socrates, Plato dan Aristoteles, namun Thales-lah filosof yang pertama kali melahirkan gagasan-gagasan kritis mengenai semua kehidupan ini yang, katanya, berawal dari Air. Lalu, tesis tersebut mengundang perdebatan hingga saat ini dan melahirkan banyak aliran pemikir, ilmuan, dan pemikir besar dunia.
Peristiwa munculnya filsafat di Yunani merupakan peristiwa unik dan ajaib. Hal itu dipengaruhi oleh banyak faktor yang mendahului dan seakan-akan mempersiapkan lahirnya filsafat di Yunani kuno. Dalam hal ini, K. Bertens (1990) menyebutkan ada tiga faktor, yaitu:
1.        Mitos bangsa Yunani. Layaknya bangsa-bangsa besar lainnya, Yunani juga memiliki banyak mitologi. Mitologi tersebut dapat dianggap sebagai perintis yang mendahului filsafat.
2.        kesusastraan Yunani. Dua karya puisi Homeros yang berjudul Iliyas dan Odyssea mempunyai kedudukan istimewa dalam kesusastraan Yunani. Syair-syair dalam karya tersebut sudah lama digunakan sebagai semacam buku pendidikan untuk rakyat di Yunani.
3.        Pengaruh ilmu pengetahuan. Pengaruh ilmu pengetahuan dari bangsa lain dalam menerima beberapa unsur ilmu pengetahuan juga merupakan faktor lainnya. Seperti ilmu ukur dan ilmu hitung sebagaian besar dari Mesir. Pengaruh Babilonia dalam perkembangan ilmu astronomi di negeri Yunani. Pada bangsa Yunanilah didapatkan ilmu pengetahuan yang bercorak dan sungguh-sungguh ilmiah.

Di samping itu filsafat telah menyumbangkan pemikiran-pemikiran besar mampu ‎menggerakkan orang untuk merubah masyarakat. Sokrates (± 470-399 SM), Plato (± 427-347 SM) ‎dan Aristoteles (± 384-322 SM), tiga tokoh filsuf Yunani yang hidup antara 500-300 sebelum Masehi ‎adalah filsuf-filsuf besar yang meletakkan dasar-dasar pemikiran yang nantinya menjadi benih-benih ‎gagasan-gagasan besar dalam perubahan masyarakat seperti idealisme, demokrasi, konstitusi, ‎keadilan sosial, hak asasi manusia, dan sebagainya yang dikembangkan oleh para filsuf berikutnya.
Dalam hal ini ‎filsafat mempunyai arti sebagai pemikiran dasar yang melahirkan doktrin-doktrin besar kenegaraan, ‎moralitas, sosialitas, bahkan juga keagamaan yang hingga kini masih menjadi bahan perbincangan ‎banyak orang. Dilihat secara demikian, filsafat boleh dikata juga memberikan dasar-dasar pemikiran ‎untuk pegangan hidup, yang disebut Weltanschauung, wawasan yang luas dan proyeksi-proyeksi ke ‎masa depan yang jauh.
Pengartian-pengartian filsafat yang mulai dikritik, ‎pertama-pertama oleh para ilmuwan tetapi kemudian juga oleh kalangan filsuf sendiri, yang tidak puas ‎dengan peran filsafat yang terlalu jauh dari jangkauan praktis masyarakat, serta sifat ambisius yang ‎arogan, yang mau meletakkan pengetahuan-pengetahuan lainnya di bawah rentangan sayapnya.‎
Dalam latar belakang seperti itu persoalan-persoalan konkrit dan sederhana, hal-hal praktis dalam ‎kehidupan, termasuk juga bahasa sehari-hari yang digunakan oleh orang-orang biasa kiranya akan ‎kurang mendapatkan perhatian filsafat, sebab filsafat hanya berurusan dengan hal-hal yang umum ‎bagi manusia, yang prinsipil atau mendasar, yang menyangkut kehidupan bangsa manusia dan ‎untuk tujuan global.
Filsafat bisa memanfaatkan kesempatan hanya ‎untuk memusatkan perhatiannya pada persoalan-persoalan batas, kemungkinan-kemungkinan yang ‎ada di balik kehidupan yang biasa itu. Marilah kita mulai dengan melihat beberapa kritik filsafat ‎untuk kemudian menempatkan peran filsafat dalam jaman sekarang, khususnya dalam kaitannya ‎dengan fungsi bahasa.‎
                                                        
C.      Beberapa Kritik Filsafat
Hingga abad Pertengahan sekitar abad 12 M dan 13 M filsafat diterima dan dikembangan di Eropa, melanjutkan kebiasaan yang diterima di Yunani, yakni ‎sebagai “logos” yang menerangi dunia gelap, irasionil, penuh dengan kepercayaan-kepercayaan dan ‎takhayul “mitos”. Filsafat memberi terang pada uraian-uraian ilmiah maupun ‎teologis. Tetapi pada waktu ini pengetahuan ilmiah masih amat dekat dengan pengetahuan teologis, ‎karena belum adanya spesifikasi yang tegas. Ilmu kedokteran, perbintangan, pertanian dsb. masih ‎diwarnai dengan keyakinan akan Allah sebagai penguasa dan penentu alam semesta, sehingga ‎acuan teologis dan paparan Kitab Suci tidak dirasakan aneh atau bertentangan dengan ilmu-ilmu ‎dasar tsb. Bahkan para cendekiawan dengan tegas menyatakan bahwa iman kepercayaan akan ‎Allah dan pengetahuan budi kita saling melengkapi. ‎
Memang pada abad Pertengahan sudah muncul pula perdebatan filosofis mengenai apa yang ‎disebut sebagai “universalia”, yakni konsep-konsep abstrak yang digunakan dalam pembicaraan ‎filsafat. Kata-kata seperti “Hakekat” (essentia) dan “keberadaan” (existentia), “tindakan” (actus) dan ‎‎“kemampuan” (potentia), atau “substansi” (substantia) misalnya, atau juga hal-hal yang berkaitan ‎dengan keagamaan seperti “rahmat” (gratia), “kodrat” (natura), “kemanusiaan” (humanitas), “pribadi” ‎‎(pesona), “nasib” (destinatio) atau “penyelenggaraan ilahi´ (providentia Del) dsb. bagi sebagian filsuf ‎sungguh-sungguh mengandung makna yang padat, sebab mengungkapkan kenyataan yang berlaku ‎umum. Akan tetapi bagi sebagian yang lain, kata-kata itu tak lebih dari konsep-konsep kosong tak ‎berisi, sebab selain individu-individu yang riil tak ada sesuatu yang nyata. Menurut kelompok ini, ‎konsep-konsep abstrak itu hanyalah kata-kata kosong atau bunyi saja yang keluar dari mulut ketika ‎orang mengucapkannya (flatus vocis).‎
Dalam perdebatan ini sebenarnya mulai tersirat persoalan bahasa, tetapi yang baru menjadi ‎pokok keprihatinan dan pembicaraan filsafat pada periode-periode berikutnya.
Pada akhir abad Pertengahan, Gulielmus dari Ockham (1285-‎‎1349) mencoba membuat pembatasan dalam hal pembentukan konsep-konsep. Konsep memang ‎perlu untuk menunjuk kelompok atau golongan hal-hal yang dibicarakan itu, tetapi tak perlulah ‎konsep-konsep dilipat gandakan. Prinsip ini dikenal sebagai “Gunting Ockham” (Ockham’s razor). ‎Dengan demikian Ockham menghindari pembicaraan-pembicaraan dan diskusi steril menyangkut ‎konsep-konsep tanpa makna.‎
Kebencian terhadap filsafat yang abstrak dan kosong, serta keengganan terhadap ‎kecenderungan filsafat yang ambisius itu diperkuat lagi oleh adanya perkembangan ilmu-ilmu terapan ‎‎(applied sciences) yang sangat pesat pada abad ke-16. Sejak penemuan Copericus (1473-‎‎1543) di bidang astronomi, ilmu-ilmu alam telah membuktikan diri sebagai pengetahuan yang praktis, ‎berguna dan yang memperlihatkan dampak langsung bagi kehidupan manusia. Penemuan demi ‎penemuan di bidang ilmu semakin mengangkat pengetahuan ilmiah sebagai pengetahuan yang ‎benar. Hal ini pun berpengaruh besar dalam perkembangan filsafat. Banyak pemikir filsafat mulai ‎mengalihkan perhatian mereka pada metode yang ditempuh oleh ilmu pengetahuan, serta ‎mengidealkan filsafat dengan metode ilmiah yang sifatnya pasti. Dengan latar belakang inilah ‎Descartes (1596-1650) misalnya, merintis filsafat “Rasionalisme” dengan mengetengahkan pemikian ‎sebagai konstruksi idea-idea dasar yang jelas dan terpilah-pilah (claire et distincte). Rasionalisme ‎Descartes diikuti oleh para filsuf sesudahnya yang mengarahkan perkembangan filsafat pada ‎pendewaan “rasio” sebagai kriterium utama pemikian. Lahirlah pada periode berikutnya jaman ‎‎“Pencerahan” (Enlightment atau Aufklarung) yang sangat menghargai akal budi. Kecenderungan ini ‎dengan jelas memperlihatkan bahwa manusia modern sesungguhnya tidak menolak filsafat, ‎melainkan cara atau metode pendekatannya saja yang terus menerus harus diperbaharui agar tetap ‎relevan untuk kebutuhan perkembangan peradaban.‎
Para filsuf tetap berupaya mengaktualisasikan filsafat di tengah perkembangan ilmu-ilmu yang ‎konkrit. Meskipun perkembangan ilmu-ilmu itu semakin banyak bidangnya dan semakin mendalam ‎kajiannya, sehingga semakin luas jangkauan pengetahuan manusia, namun pada filsuf tetap ‎berpendapat bahwa filsafat belum kehilangan perannya. Penegasan semacam ini dinyatakan ‎terutama oleh eksistensialisme yang berkembang pada awal abad ke 20. Karl Jaspers (1883-1969), ‎tokoh filsuf Jerman abad ke 20 ini, mengatakan dalam bukunya Philosophie (1967) bahwa meskipun ‎ilmu-ilmu semakin luas dan mendalam, namun makna kehidupan tidak pernah bisa dijawab oleh ‎mereka. Kita tetap membutuhkan filsafat untuk memecahkan persoalan-persoalan mendasar dari ‎kehidupan. Filsafat berfungsi untuk menerangi eksistensi kita (Existenzerhellung), katanya.‎

D.      Peran Filsafat
Sepanjang sejarahnya filsafat telah diartikan menurut berbagai-bagai kepentingan. pada mulanya ‎filsafat diartikan sebagai kerinduan (phio) akan kebijaksanaan (sophia), sebagaimana bisa dirunut ‎dari arti etimologis kata Yunani “philosophia”. Dalam arti ini, seorang filsuf adalah seseorang yang ‎mencari dan mengupayakan kebijaksanaan. Sementara murid-murid Aristoteles menurut tradisi ‎mengartikan pengetahuan filosofis sebagai pengetahuan mengenai hal-hal yang mengatasi (meta) ‎alam (physica) ini. Maka filsafat sering kali disebut juga sebagai “metafisika”. Dalam arti ini filsafat ‎harus dipelajari sesudah ilmu-ilmu alam, sebab filsafat berkaitan dengan persoalan-persoalan asasi, ‎yang mendasari kenyataan-kenyataan alam. Untuk selanjutnya menjadi lajim bahwa filsafat ‎dipahami sebagai pengetahuan yang komprehensif dan mendasar (foundation) mengenai kenyataan. ‎Obyek filsafat bisa meliputi apa saja, baik manusia (anthropologia) alam (cosmologia) mahupun ‎ketuhanan (theodicea).‎
Dalam iklim metafisik ini para filsuf berkecenderungan menyusun pemikiran-pemikiran mereka ‎dalam ulasan-ulasan yang luas dan komprehensif, sehingga membentuk satu sistem besar ini. Seperti ‎sudah disebut di atas, Discartes merintis “Rasionalisme”. Sistem ini digeser dan digantikan oleh ‎Immanuel Kant (1724-1804) yang memulai tradisi “Krititisme” karena teorinya mengenai akal budi ‎yang kritis atau sering kali juga disebut “Kantianisme”. Pada periode berikutnya George Wilhelm ‎Friederich Hegel (1770-1831) memulai tradisi “Idealisme”, demikian seterusnya. Pokok dari semua ‎isme ini ialah bahwa mereka memutlakkan ajaran atau doktrin mereka dan meredusir ajaran-ajaran ‎lainnya.
Akan tetapi sesuai dengan hukum sejarah, munculnya ajaran-ajaran baru dengan sendirinya ‎akan membunuh ajaran lama sehingga setiap ajaran-ajaran itu sebenarnya tak pernah dapat bertahan ‎lama tanpa derevisi. Kenyataan ini telah menumbuhkan rasa skeptis kepada mereka yang kemudian ‎menganggap bahwa perkembangan fisafat tak lebih dari pergumulan antara ajaran-ajaran dan ‎ideologi-ideologi kosong belaka. Ideologi yang satu hanya unggul dalam kurun waktu tertentu, sebab ‎dengan segera muncul ideologi yang baru pada periode yang lain untuk menggantikannya. Oleh ‎karena itu menurut mereka sejarah filsafat tak lebih dari sekedar kuburan idea-idea (cimetery of ‎ideas).‎
Menjelang abad ke duapuluh berkembanglah keyakinan baru mengenai arti filsafat yang ‎dirintis oleh sekelompok ilmuwan yang menamakan diri mashab Neo-positivisme. Karena mashab ini ‎berpusat di Wina, mereka juga disebut Lingkaran Wina (Wienerkreis). Neopositivisme tentu saja ‎mengingatkan kita pada nama Positivisme yang dirintis oleh Auguste Comte (1798-1857). ‎Positivisme comte seperti kebanyakan aliran modern, ingin menghindari kecenderungan filsafat yang ‎menjauh dari kenyataan konkrit manusia. Positivisme berpendirian bahwa pengetahuan yang benar ‎hanyalah pengetahuan mengenai kenyataan yang diperoleh dari pengamatan indera dan ‎pengalaman, inilah pengetahuan positif yang sesungguhnya. Dalam arti ini positivisme berusaha ‎menolak metafisika atau sistem-sistem besar. Akan tetapi Neo-Positivisme menilai bahwa Positivisme ‎sendiri masih berbau metafisik dengan pengandaian-pengandaiannya yang spekulatip, mengandalkan ‎akal budi tanpa diuji dalam pengalaman konkrit.
Filsafat harus melangkah lebih jauh lagi dengan ‎membatasi diri hanya pada tugas membeberkan kenyataan konkrit. Tidak lebih dari itu. Untuk itu Neo ‎Positivisme mengetengahkan dua prinsip, pertama bahwa hanya ada satu sumber pengetahuan, ‎yakni pengalaman konkrit dan kedua suatu ungkapan (proposition) hanya mempunyai arti jika dapat ‎diperiksa (can be verified) lewat fakta yang dapat diamati secara inderawi. Dengan prinsip ini neo-‎Positivisme mengartikan filsafat bukan lagi sebagai kumpulan ajaran atau doktrin untuk memperoleh ‎kebijaksanaan atau untuk mencari pegangan hidup, yang dirumuskan dalam suatu sistem yang besar, ‎sebagaimana dianut oleh para pemikir lama, melainkan sekedar sarana klarifikasi untuk melihat ‎kenyataan menurut apa adanya.
Filsafat menurut Neo-Positivisme sama sekali tidak memberikan ‎ajaran, melainkan menganalisa ungkapan-ungkapan manusia, untuk meneliti apakah ungkapan ‎mereka masuk akal dan karenanya bermakna dan bisa dipahami atau tidak. Maka untuk menjalankan ‎klarifikasi atau penjelasan itu, Neo-Positivisme sangat ungkapan sangat tergantung oleh logis ‎tidaknya bahasa. Hal ini juga yang menjadi alasan mengapa mashab ini juga disebut Positivisme ‎Logis. Tokoh-tokoh aliran ini ialah Moritz Schalick (1882-1936), Hans Hahn (1880-1934), Otto Neurath ‎‎(1882-1945), Hans Reichenbach (1891-1955), Victor Kraft (1880-1975), semuanya sarjana di bidang ‎ilmu pasti dan logika. yang sangat mengejutkan dari aliran ini terutama adalah kesimpulan-kesimpulan ‎jauh yang ditarik dari prinsip dasar mereka; sebab dengan membatasi tugas filsafat hanya pada ‎klarifikasi, mereka menolak etika (filsafat moral) yang membicarakan nilai-nilai. Demikian juga ‎mereka menolak ungkapan-ungkapan keagamaan yang mereka anggap sebagai ungkapan irasional, ‎penuh dengan getaran jiwa (emosi) yang tak bisa ditera dengan kenyataan konkrit.‎
Pandangan filsafat yang sangat ketat menyangkut peran bahasa di atas sebenarnya telah ‎dirintis oleh Ludwig Wittgenstein (1889-1951). Dalam bukunya Tractatus logico-philosophicus (1918), ‎Wittgenstein mengajukan apa yang disebutnya teori gambar (“picture theory”). Menurut teori ini ‎bahasa berfungsi menggambarkan secara tepat kenyataan yang ada. Dengan mengembalikan ‎bahasa pada unsur-unsurnya yang paling elementer, bahasa dan kenyataan dapat dilihat sebagai ‎mempunyai hubungan timbal-balik. Setiap kenyataan dapat dilukiskan melalui ungkapan bahasa dan ‎setiap ungkapan bahasa melukiskan kenyataan secara tepat, oleh karena itu mengenai hal-hal yang ‎tak dapat dibahasakan, sebaiknya orang diam. Dengan ini Wittgenstein bermaksud menolak ‎ungkapan-ungkapan bahasa etis dan keagamaan yang tidak menunjuk pada kenyataan konkrit.‎
Namun perkembangan Neo-Positivisme dengan segera memperlihatkan bahwa penekanan ‎pada fungsi logis dari bahasa berlawanan dengan kenyataan, sebab bahasa jauh lebih luas fungsinya ‎dari sekedar melukiskan kenyataan secara logis. Hal ini dilihat oleh beberapa filsuf yang mulai ‎menaruh perhatian pada kepentingan bahasa sehari-hari. Minat pada pemikiran seperti ini muncul di ‎kalangan para sarjana di Oxford, di mana Wittgenstein, orang yang kita sebut di atas – berpindah dari ‎Austria, dan merubah pandangan filsafatnya. Periode kedua dari pemikiran Wittgenstein ini ditandai ‎dengan teorinya mengenai bahasa sebagai permainan (“language games”). Dalam bukunya ‎Philosophical Investigations (1953), Wittgenstein mengemukakan bahwa sebagaimana setiap ‎permainan, entah itu olah raga atau rekreasi, mempunyai aturan-aturannya yang berbeda, demikian ‎pun bahasa. Ada berbagai-bagai ragam bahasa yang masing-masing mempunyai aturannya sendiri-‎sendiri. Tidak ada satu bahasa logis untuk semua, sebab setiap kalangan masyarakat pun ‎nampaknya menggunakan lingkup bahasa yang khas dengan aturan mainnya sendiri. Pandangan ‎semacam ini didukung antara lain oleh tokoh-tokoh Gilbert Ryle (1900-1976), Peter Frederick ‎Strawson (1919- ), John Langshaw Austin (1911-1960) dan Ian T. Ramsey (1915-1972). Austin ‎misalnya, terkenal oleh karena pembedaanya antara ungkapan performatif (“performative utterance”) ‎dan ungkapan konstatatif (“constatative utterances”). Ungkapan yang pertama mempunyai dampak ‎sosial dalam kedudukan seseorang, misalnya dalam pengangkatan presiden oleh Majelis ‎Permusyawaratan Rakyat, sedangkan yang kedua hanya memberitahu atau menyatakan sesuatu ‎fakta saja. Sementara Ian T. Ramsey, seorang uskup, membela fungsi bahasa dalam kepentingan-‎kepentingan keagamaan.‎


BAB III
PENUTUP


Dari uraian singkat di atas nampak bahwa filsafat itu terus menerus berkembang, baik menyangkut ‎obyek keprihatinannya maupun meteode atau cara pendekatannya. Lewat perkembangan itu, ‎pengartian filsafat pun berubah-berubah. Walaupun demikian perubahan dan perkembangannya yang ‎beruntun itu, filsafat tetap berusaha mempertahankan diri sebagai pengetahuan yang kritis, sistematis ‎dan metodis sebagaimana halnya ilmu-ilmu lainnya. Dan yang penting lagi ialah kenyataan bahwa ‎sejarah filsafat senantiasa memperlihatkan perjuangan untuk menjadikan dirinya tidak terlalu jauh dari ‎persoalan-persoalan manusia konkrit, sehingga tetap relevan untuk kepentingan kehidupan manusia ‎masa kini dan waktu yang akan datang.‎
Filsafat merupakan buah dari pemikiran manusia, yang didasarkan pada perenungan terhadap fenomena yang terjadi disekitarnya. Filsafat merenungkan fenomena netral (masalah) maupun fenomena tidak netral (persoalan). Dalam perkembangannya, filsafat menghasilkan ilmu pengetahuan, dan pemanfaatan ilmu pengetahuan untuk mencapai tujuan tertentu menghasilkan teknologi.


DAFTAR PUSTAKA


B. Delfgaauw, Filsafat Abad 20, (Alih bahasa Soejono Soemargono), Yogyakarta: Tiara ‎Wacana, 1988 (1972).‎
                                                                                       
Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1975.‎

Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Karnisius, 1976.‎

Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, Jilid 1 dan 2 Yogyakarta: Kanisius, 1980.‎

K. Bertens, Filsafat Barat Dalam Abad XX, jilid I, Jakarta: Gramedia, 1981.‎

Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1983.‎





DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan  
Bab II Pembahasan: Problem Awal Filsafat
A.    Pengertian Filsafat
B.     Awal Terbentuknya Filsafat
C.    Beberapa Kritik Filsafat
D.    Peran Filsafat
Sepanjang sejarahnya filsafat telah diartikan menurut berbagai-bagai kepentingan. pada mulanya ‎filsafat diartikan sebagai kerinduan (phio) akan kebijaksanaan (sophia), sebagaimana bisa dirunut ‎dari arti etimologis kata Yunani “philosophia”. Dalam arti ini, seorang filsuf adalah seseorang yang ‎mencari dan mengupayakan kebijaksanaan. Sementara murid-murid Aristoteles menurut tradisi ‎mengartikan pengetahuan filosofis sebagai pengetahuan mengenai hal-hal yang mengatasi (meta) ‎alam (physica) ini. Maka filsafat sering kali disebut juga sebagai “metafisika”. Dalam arti ini filsafat ‎harus dipelajari sesudah ilmu-ilmu alam, sebab filsafat berkaitan dengan persoalan-persoalan asasi, ‎yang mendasari kenyataan-kenyataan alam. Untuk selanjutnya menjadi lajim bahwa filsafat ‎dipahami sebagai pengetahuan yang komprehensif dan mendasar (foundation) mengenai kenyataan. ‎Obyek filsafat bisa meliputi apa saja, baik manusia (anthropologia) alam (cosmologia) mahupun ‎ketuhanan (theodicea).‎
Dalam iklim metafisik ini para filsuf berkecenderungan menyusun pemikiran-pemikiran mereka ‎dalam ulasan-ulasan yang luas dan komprehensif, sehingga membentuk satu sistem besar ini. Seperti ‎sudah disebut di atas, Discartes merintis “Rasionalisme”. Sistem ini digeser dan digantikan oleh ‎Immanuel Kant (1724-1804) yang memulai tradisi “Krititisme” karena teorinya mengenai akal budi ‎yang kritis atau sering kali juga disebut “Kantianisme”. Pada periode berikutnya George Wilhelm ‎Friederich Hegel (1770-1831) memulai tradisi “Idealisme”, demikian seterusnya. Pokok dari semua ‎isme ini ialah bahwa mereka memutlakkan ajaran atau doktrin mereka dan meredusir ajaran-ajaran ‎lainnya.
Akan tetapi sesuai dengan hukum sejarah, munculnya ajaran-ajaran baru dengan sendirinya ‎akan membunuh ajaran lama sehingga setiap ajaran-ajaran itu sebenarnya tak pernah dapat bertahan ‎lama tanpa derevisi. Kenyataan ini telah menumbuhkan rasa skeptis kepada mereka yang kemudian ‎menganggap bahwa perkembangan fisafat tak lebih dari pergumulan antara ajaran-ajaran dan ‎ideologi-ideologi kosong belaka. Ideologi yang satu hanya unggul dalam kurun waktu tertentu, sebab ‎dengan segera muncul ideologi yang baru pada periode yang lain untuk menggantikannya. Oleh ‎karena itu menurut mereka sejarah filsafat tak lebih dari sekedar kuburan idea-idea (cimetery of ‎ideas).‎
Menjelang abad ke duapuluh berkembanglah keyakinan baru mengenai arti filsafat yang ‎dirintis oleh sekelompok ilmuwan yang menamakan diri mashab Neo-positivisme. Karena mashab ini ‎berpusat di Wina, mereka juga disebut Lingkaran Wina (Wienerkreis). Neopositivisme tentu saja ‎mengingatkan kita pada nama Positivisme yang dirintis oleh Auguste Comte (1798-1857). ‎Positivisme comte seperti kebanyakan aliran modern, ingin menghindari kecenderungan filsafat yang ‎menjauh dari kenyataan konkrit manusia. Positivisme berpendirian bahwa pengetahuan yang benar ‎hanyalah pengetahuan mengenai kenyataan yang diperoleh dari pengamatan indera dan ‎pengalaman, inilah pengetahuan positif yang sesungguhnya. Dalam arti ini positivisme berusaha ‎menolak metafisika atau sistem-sistem besar. Akan tetapi Neo-Positivisme menilai bahwa Positivisme ‎sendiri masih berbau metafisik dengan pengandaian-pengandaiannya yang spekulatip, mengandalkan ‎akal budi tanpa diuji dalam pengalaman konkrit.
Filsafat harus melangkah lebih jauh lagi dengan ‎membatasi diri hanya pada tugas membeberkan kenyataan konkrit. Tidak lebih dari itu. Untuk itu Neo ‎Positivisme mengetengahkan dua prinsip, pertama bahwa hanya ada satu sumber pengetahuan, ‎yakni pengalaman konkrit dan kedua suatu ungkapan (proposition) hanya mempunyai arti jika dapat ‎diperiksa (can be verified) lewat fakta yang dapat diamati secara inderawi. Dengan prinsip ini neo-‎Positivisme mengartikan filsafat bukan lagi sebagai kumpulan ajaran atau doktrin untuk memperoleh ‎kebijaksanaan atau untuk mencari pegangan hidup, yang dirumuskan dalam suatu sistem yang besar, ‎sebagaimana dianut oleh para pemikir lama, melainkan sekedar sarana klarifikasi untuk melihat ‎kenyataan menurut apa adanya.
Filsafat menurut Neo-Positivisme sama sekali tidak memberikan ‎ajaran, melainkan menganalisa ungkapan-ungkapan manusia, untuk meneliti apakah ungkapan ‎mereka masuk akal dan karenanya bermakna dan bisa dipahami atau tidak. Maka untuk menjalankan ‎klarifikasi atau penjelasan itu, Neo-Positivisme sangat ungkapan sangat tergantung oleh logis ‎tidaknya bahasa. Hal ini juga yang menjadi alasan mengapa mashab ini juga disebut Positivisme ‎Logis. Tokoh-tokoh aliran ini ialah Moritz Schalick (1882-1936), Hans Hahn (1880-1934), Otto Neurath ‎‎(1882-1945), Hans Reichenbach (1891-1955), Victor Kraft (1880-1975), semuanya sarjana di bidang ‎ilmu pasti dan logika. yang sangat mengejutkan dari aliran ini terutama adalah kesimpulan-kesimpulan ‎jauh yang ditarik dari prinsip dasar mereka; sebab dengan membatasi tugas filsafat hanya pada ‎klarifikasi, mereka menolak etika (filsafat moral) yang membicarakan nilai-nilai. Demikian juga ‎mereka menolak ungkapan-ungkapan keagamaan yang mereka anggap sebagai ungkapan irasional, ‎penuh dengan getaran jiwa (emosi) yang tak bisa ditera dengan kenyataan konkrit.‎
Pandangan filsafat yang sangat ketat menyangkut peran bahasa di atas sebenarnya telah ‎dirintis oleh Ludwig Wittgenstein (1889-1951). Dalam bukunya Tractatus logico-philosophicus (1918), ‎Wittgenstein mengajukan apa yang disebutnya teori gambar (“picture theory”). Menurut teori ini ‎bahasa berfungsi menggambarkan secara tepat kenyataan yang ada. Dengan mengembalikan ‎bahasa pada unsur-unsurnya yang paling elementer, bahasa dan kenyataan dapat dilihat sebagai ‎mempunyai hubungan timbal-balik. Setiap kenyataan dapat dilukiskan melalui ungkapan bahasa dan ‎setiap ungkapan bahasa melukiskan kenyataan secara tepat, oleh karena itu mengenai hal-hal yang ‎tak dapat dibahasakan, sebaiknya orang diam. Dengan ini Wittgenstein bermaksud menolak ‎ungkapan-ungkapan bahasa etis dan keagamaan yang tidak menunjuk pada kenyataan konkrit.‎
Namun perkembangan Neo-Positivisme dengan segera memperlihatkan bahwa penekanan ‎pada fungsi logis dari bahasa berlawanan dengan kenyataan, sebab bahasa jauh lebih luas fungsinya ‎dari sekedar melukiskan kenyataan secara logis. Hal ini dilihat oleh beberapa filsuf yang mulai ‎menaruh perhatian pada kepentingan bahasa sehari-hari. Minat pada pemikiran seperti ini muncul di ‎kalangan para sarjana di Oxford, di mana Wittgenstein, orang yang kita sebut di atas – berpindah dari ‎Austria, dan merubah pandangan filsafatnya. Periode kedua dari pemikiran Wittgenstein ini ditandai ‎dengan teorinya mengenai bahasa sebagai permainan (“language games”). Dalam bukunya ‎Philosophical Investigations (1953), Wittgenstein mengemukakan bahwa sebagaimana setiap ‎permainan, entah itu olah raga atau rekreasi, mempunyai aturan-aturannya yang berbeda, demikian ‎pun bahasa. Ada berbagai-bagai ragam bahasa yang masing-masing mempunyai aturannya sendiri-‎sendiri. Tidak ada satu bahasa logis untuk semua, sebab setiap kalangan masyarakat pun ‎nampaknya menggunakan lingkup bahasa yang khas dengan aturan mainnya sendiri. Pandangan ‎semacam ini didukung antara lain oleh tokoh-tokoh Gilbert Ryle (1900-1976), Peter Frederick ‎Strawson (1919- ), John Langshaw Austin (1911-1960) dan Ian T. Ramsey (1915-1972). Austin ‎misalnya, terkenal oleh karena pembedaanya antara ungkapan performatif (“performative utterance”) ‎dan ungkapan konstatatif (“constatative utterances”). Ungkapan yang pertama mempunyai dampak ‎sosial dalam kedudukan seseorang, misalnya dalam pengangkatan presiden oleh Majelis ‎Permusyawaratan Rakyat, sedangkan yang kedua hanya memberitahu atau menyatakan sesuatu ‎fakta saja. Sementara Ian T. Ramsey, seorang uskup, membela fungsi bahasa dalam kepentingan-‎kepentingan keagamaan.‎


BAB III
PENUTUP


Dari uraian singkat di atas nampak bahwa filsafat itu terus menerus berkembang, baik menyangkut ‎obyek keprihatinannya maupun meteode atau cara pendekatannya. Lewat perkembangan itu, ‎pengartian filsafat pun berubah-berubah. Walaupun demikian perubahan dan perkembangannya yang ‎beruntun itu, filsafat tetap berusaha mempertahankan diri sebagai pengetahuan yang kritis, sistematis ‎dan metodis sebagaimana halnya ilmu-ilmu lainnya. Dan yang penting lagi ialah kenyataan bahwa ‎sejarah filsafat senantiasa memperlihatkan perjuangan untuk menjadikan dirinya tidak terlalu jauh dari ‎persoalan-persoalan manusia konkrit, sehingga tetap relevan untuk kepentingan kehidupan manusia ‎masa kini dan waktu yang akan datang.‎
Filsafat merupakan buah dari pemikiran manusia, yang didasarkan pada perenungan terhadap fenomena yang terjadi disekitarnya. Filsafat merenungkan fenomena netral (masalah) maupun fenomena tidak netral (persoalan). Dalam perkembangannya, filsafat menghasilkan ilmu pengetahuan, dan pemanfaatan ilmu pengetahuan untuk mencapai tujuan tertentu menghasilkan teknologi.


DAFTAR PUSTAKA


B. Delfgaauw, Filsafat Abad 20, (Alih bahasa Soejono Soemargono), Yogyakarta: Tiara ‎Wacana, 1988 (1972).‎
                                                                                       
Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1975.‎

Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Karnisius, 1976.‎

Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, Jilid 1 dan 2 Yogyakarta: Kanisius, 1980.‎

K. Bertens, Filsafat Barat Dalam Abad XX, jilid I, Jakarta: Gramedia, 1981.‎

Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1983.‎