Jumat, 03 Mei 2013

makalah tentang Nabi Muhammad






BAB I
PENDAHULUAN

Nabi Muhammad adalah pembawa cahaya kebenaran untuk seluruh umat manusia, penyempurna ajaran-ajaran para nabi terdahulu, penutup para nabi dan tidak ada nabi atau wahyu apapun yang diturunkan Allah setelah wafatnya Baginda Muhammad saw. Rasulullah SAW adalah utusan termulia yang diturunkan oleh Allah sebagai pembawa rahmat bagi seluruh semesta alam. Dalam diri beliau tercakup semua kebaikan ciptaan Allah.
Dalam mengemban risalah dakwah, beliau dibantu oleh para sahabatnya. Para sahabat nabi merupakan generasi terbaik yang terlahir dari hasil didikan madrasah langsung dari Rasulullah. Mereka selalu menjadikan tindak tanduk, tutur kata dan segala perbuatan Nabi Muhammad sebagai contoh dan tauladan hidup. Mereka telah menjadi generasi terbaik karena mengikuti cahaya Islam yang dibawa Rasulullah. Dan sebagai generasi islamiyah maka sudah sewajarnya kita selalu mengingat semua hal tentang nabi Muhammad saw dan menjadikan nabi Muhammad sebagai contoh tauladan bagi kita.      
Berdasarkan uraian di atas, saya akan membahas tentang Nabi Muhammad SAW, secara rinci lagi yang akan dijelaskan pada bab selanjutnya.





BAB II
PEMBAHASAN
NABI MUHAMMAD SAW

A.      Kelahiran Nabi Muhammad SAW
Nabi Muhammad dilahirkan dalam keluarga bani Hasyim di Mekah pada hari senin, tanggal 9 Rabi’ul Awwal, pada Tahun Gajah. Dinamakan demikian karena pada tahun itu pasukan Abrahah, gubernur kerajaan Habsyi (Ethiopia), dengan menunggang gajah menyerang Kota Mekah untuk menghancurkan Ka’bah pada tanggal 20 atau 22 bulan April tahun 571 M. Ini berdasarkan penelitian ulama terkenal, Muhammad Sulaiman Al-manshurfury dan peneliti astronomi, Mahmud Pasha.[1]
Nabi Muhammad lahir dari keluarga terhormat yang relatif miskin. Ayahnya bernama Abdullah anak Abdul Muthalib, seorang kepala suku Quraisy yang besar pengaruhnya. Ibunya adalah Aminah binti Wahab dari bani Zuhrah. Muhammad SAW lahir dalam keadaan yatim karena ayahnya meninggal dunia pada saat Aminah mengandungnya pada usia tiga bulan.[2]
Ramalan tentang kelahiran Nabi Muhammad dapat ditemukan dalam kitab-kitab suci terdahulu. Al-Qur’an juga menyatakan bahwa kelahiran Nabi Muhammad SAW telah diramalkan oleh semua nabi sebelum Muhammad SAW. Hal ini telah dijelaskan dalam Alqur’an Surat Ali ‘Imran ayat 81:
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa Kitab dan hikmah Kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya”. Allah berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” mereka menjawab: “Kami mengakui”. Allah berfirman: “Kalau begitu saksikanlah (hai para Nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu”.
Tidak lama setelah kelahirannya, Muhammad SAW diserahkan kepada Tsuwaibah, budak perempuan pamannya, Abu Lahab, yang pernah menyusui Hamzah. Meskipun diasuh olehnya hanya beberapa hari, nabi tetap menyimpan rasa kekeluargaan yang mendalam dan selalu menghormatinya. Selanjutnya disusui oleh Halimah, seorang wanita badui dari Suku Bani Sa’ad. Nabi Muhammad SAW diasuhnya dengan hati-hati dan penuh kasih sayang, dan tumbuh menjadi anak yang sehat dan kekar. Pada usia lima tahun, nabi dikembalikan Halimah kepada ibunya.
Pada usia enam tahun, ibunya meninggal, maka beliau diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib. Dua tahun kemudian, kakeknya yang berumur 82 tahun, juga meninggal dunia. Maka pada usia delapan tahun itu, nabi diasuh oleh pamannya, Abi Thalib.
Ketika berusia dua belas tahun, Muhammad SAW mengikuti pamannya, Abu Thalib untuk berdagang menuju Suriah. Ia dibesarkan dan hidup bersama suku Quraisy Mekah, dan hari-hari yang dilaluinya penuh dengan pengalaman yang sangat berharga. Pada masa mudanya, beliau telah menjadi pengusaha sukses dan hidup berkecukupan. Kemudian pada usia 25 tahun, beliau menikah janda kaya Mekah, Khadijah binti Khuwailid yang telah berusia 40 tahun.[3]
Pada usia 30 tahun, Muhammad SAW bisa mendamaikan perselisihan kecil yang muncul di tengah-tengah suku Quraisy yang sedang melakukan renovasi Ka’bah. Mereka mempersoalkan siapa yang paling berhak menempatkan posisi Hajar Aswad di Ka’bah. Beliau membagi tugas kepada mereka dengan teknik dan strategi yang sangat adil dan melegakan hati mereka.[4]

B.       Muhammad Diangkat Menjadi Rasul
Pada usia 40 tahun, Muhammad SAW terbiasa memisahkan diri dari pergaulan masyarakat umum, dan ia menyendiri di Gua Hira, beberapa kilometer di Utara Mekah. Di  gua tersebut, nabi mula-mula hanya berjam-jam saja, kemudian berhari-hari untuk bertafakur. Pada tanggal 17 Ramadhan tahun 611 M, Muhammad SAW mendapatkan wahyu pertama dari Allah melalui Malaikat Jibril, yaitu ayat 1 sampai 5 dalam surat Al-‘Alaq. Dia merasa ketakutan karena belum pernah mendengar dan mengalaminya. Dengan turunnya wahyu yang pertama itu, berarti Muhammad SAW telah dipilih Allah sebagai nabi. Dalam wahyu pertama ini, dia belum diperintahkan untuk menyeru manusia kepada suatu agama.[5]
Peristiwa turunnya wahyu itu menandakan telah diangkatnya Muhammad SAW sebagai seorang nabi penerima wahyu di tanah Arab. Malam terjadinya peristiwa itu kemudian dikenal sebagai “Malam Penuh Keagungan” (Laylah al-qadar), dan menurut sebagian riwayat terjadi menjelang akhir bulan Ramadhan. Setelah wahyu pertama turun, yang menandai masa awal kenabian. Ketika hati Muhammad SAW diliputi kegelisahan yang sangat dan merasakan beban emosi yang menghimpit, dia pulang ke rumah dengan perasaan waswas, dan meminta istrinya untuk menyelimutinya. Saat itulah turun wahyu yang kedua yang berbunyi: “Wahai kau yang berselimut! Bangkit dan berilah peringatan!.” Dan seterusnya, yaitu surat al-Muddatstsir: 1-7. Wahyu yang telah, dan kemudian turun sepanjang hidup Muhammad SAW, muncul dalam bentuk suara-suara yang berbeda-beda. Tapi pada periode akhir kenabiannya, wahyu –surah-surah Madaniyah- turun dalam satu suara.[6]
Dengan turunnya awal surat al-Muddatstsir itu, mulailah Nabi Muhammad SAW berdakwah, pertama-tama, beliau melakukannya secara diam-diam di lingkungan sendiri dan di kalangan rekan-rekannya. Karena itulah, orang yang pertama kali menerima dakwahnya adalah keluarga dan sahabat dekatnya. Mula-mula istrinya sendiri, Khadijah, kemudian saudara sepupunya Ali bin Abi Thalib yang baru berumur 10 tahun. Kemudian, Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat karibnya sejak masa kanak-kanak. Lalu Zaid bin ‘Amr, bekas budak yang telah menjadi anak angkatnya. Ummu Aiman, pengasuh nabi sejak Aminah masih hidup, juga termasuk orang yang pertama masuk Islam.
Setelah beberapa lama dakwah Nabi Muhammad SAW tersebut dilaksanakan secara individual, turunlah perintah agar nabi menjalankan dakwah secara terbuka. Mula-mula beliau mengundang dan menyeru kerabat karibnya dan Bani Abdul Muthalib. Beliau mengatakan di tengah-tengah mereka, “Saya tidak melihat seorang pun di kalangan Arab yang dapat membawa sesuatu ke tengah-tengah mereka lebih baik dari apa yang saya bawa kepada kalian. Kubawakan kepada kalian dunia dan akhirat yang terbaik. Tuhan memerintahkan saya mengajak kalian semua. Siapakah diantara kalian yang mau mendukung saya dalam hal ini?”. Mereka semua menolak kecuali Ali bin Abi Thalib.[7]
Karena mendapat perintah dan dipicu oleh tugas baru yang harus beliau laksanakan sebagai seorang utusan Allah, Muhammad SAW menemui dan berbaur di tengah masyarakatnya untuk mengajar, berdakwah, dan menyampaikan risalah barunya. Kebanyakan mereka menertawakan dan memakinya. Pada tahap itulah beliau berperan sebagai pemberi peringatan dan berusaha melaksanakan misinya dengan memberikan gambaran yang jelas tentang nikmat surga dan siksa neraka. Beliau juga memperingatkan kaumnya tentang kedatangan hari kiamat yang tidak akan lama lagi. Singkat, tegas, ekspresif, dan mengesankan merupakan karakteristik wahyunya yang paling awal, yaitu surah-surah Makiyah.
Langkah dakwah seterusnya yang diambil nabi adalah menyeru masyarakat umum. Nabi mulai menyeru segenap lapisan masyarakat kepada Islam dengan terang-terangan, baik golongan bangsawan maupun hamba sahaya. Mula-mula beliau menyeru penduduk Mekah, kemudian penduduk negeri-negeri lain. Di samping itu, beliau menyeru orang-orang yang datang ke Mekah, dari berbagai negeri untuk mengerjakan haji. Kegiatan dakwah dijalankannya tanpa mengenal lelah. Dengan usahanya yang gigih, hasil yang diharapkan mulai terlihat. Jumlah pengikut Nabi yang tadinya hanya belasan orang, makin hari makin bertambah. Mereka terutama terdiri dari kaum wanita, budak, pekerja dan orang-orang yang tidak punya. Meskipun kebanyakan mereka adalah orang-orang yang lemah, namun semangat mereka sungguh membaja.
Banyak cara yang ditempuh para pemimpin Quraisy untuk mencegah dakwah Nabi Muahammad SAW. Pertama-tama mereka mengira bahwa kekuatan nabi terletak dari perlindungan dan pembelaan Abu Thalib yang sangat disegani itu. Karena itu mereka menyusun siasat bagaimana melepaskan hubungan nabi dengan pamannya itu. Mereka pun mengancam Abu Thalib. Nampaknya Abu Thalib cukup terpengaruh oleh ancaman mereka, sehingga ia mengharapkan Muhammad SAW menghentikan dakwahnya. Namun, Nabi Muhammad SAW menolak untuk menghentikan dakwahnya, meskipun diancam akan dikucilkan oleh seluruh anggota keluarga dan sanak saudara.
Usaha orang-orang Quraisy  untuk menghalangi hijrah ke Habsyah ini, termasuk membujuk  Negus (Raja) agar menolak kehadiran umat Islam di sana, gagal. Bahkan, di tengah meningkatnya kekejaman itu, dua orang Quraisy masuk Islam, Hamzah dan Umar ibn Khathab. Dengan masuk Islamnya dua tokoh besar ini posisi Islam semakin kuat.
Kemudian kaum Quraisy menempuh cara baru dengan melumpuhkan kekuatan Muahmmad SAW yang bersandar pada perlindungan Bani Hasyim. Cara yang ditempuh adalah pemboikotan. Mereka memutuskan segala bentuk hubungan dengan suku ini. Tidak seorang penduduk Mekah pun diperkenankan melakukan hubungan jaul beli dengan Bani Hasyim. Tindakan pemboikotan yang dimulai pada tahun ketujuh kenabian ini berlangsung selama tiga tahun. Ini merupakan tindakan paling menyiksa dan melemahkan umat Islam.
Sekitar tiga tahun sebelum Hijrah, Khadijah meninggal dunia, dan tidak berapa lama kemudian disusul oleh pamannya, Abu Thalib yang – meskipun tidak sempat memeluk agama Islam – tetap setia membela anak saudaranya itu hingga akhir hayatnya. Namun, menurut Badri Yatim bahwa Khadijah meninggal dunia tiga hari setelah pamannya, Abu Thalib,  meninggal dunia pada usia 87 tahun. Peristiwa ini terjadi pada tahun kesepuluh kenabian. Tahun itu merupakan tahun kesedihan bagi Nabi Muhammad SAW. Sepeninggal dua pendukung itu, kafir Quraisy tidak segan-segan lagi melampiaskan nafsu amarahnya terhadap nabi. Melihat reaksi penduduk Mekah demikian, nabi kemudian berusaha menyebarkan Islam ke luar kota. Namun, di Thaif beliau diejek, disoraki, dan dilempari batu, bahkan sampai terluka di bagian kepala dan badannya.[8]
Dalam masa prahijrah ini, juga terjadi sebuah peristiwa dramatis, yaitu Isra’, perjalanan di malam hari, ketika nabi diperjalankan secepat kilat dari Ka’bah ke Yarusalem, lalu naik ke langit ketujuh (mi’raj). Karena menjadi transit dalam perjalanan menuju langit, Yarusalem, yang saat itu telah menjadi tempat suci umat Yahudi dan Kristen, kemudian menjadi kota suci ketiga umat Islam setelah Mekah dan Madinah. Berita tentang Isra  dan Mi’raj ini menggemparkan masyarakat Mekah. Bagi orang kafir, ini dijadikan bahan propaganda untuk mendustakan nabi. Sedangkan bagi orang yang beriman, ini merupakan ujian keimanan.
Setelah peristiwa Isra’ dan Mi’raj, suatu perkembangan besar bagi kemajuan dakwah Islam muncul. Perkembangan itu diantaranya datang dari sejumlah penduduk Yatsrib yang berhaji ke Mekah. Mereka, yang terdiri dari suku ‘Aus dan Khazraj, masuk Islam dalam tiga gelombang.
Kejadian itu disebut dengan  “hijrah” bukan sepenuhnya sebuah “pelarian”, tetapi merupakan rencana perpindahan yang telah dipertimbangkan secara seksama selama sekitar dua tahun sebelumnya. Tujuh belas tahun kemudian, Khalifah Umar bin Khattab menetapkan saat terjadinya peristiwa hijrah sebagai awal tahun Islam, atau tahun qamariyah.
Setelah tiba dan diterima penduduk Yatsrib (Madinah), Nabi Muhammad SAW resmi sebagai pemimpin penduduk kota itu. Babak baru dalam sejarah Islam pun dimulai. Berbeda dengan periode Mekah, pada periode Madinah, Islam merupakan kekuatan politik. Ajaran Islam yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat banyak turun di Madinah. Nabi Muhammad SAW mempunyai kedudukan, bukan saja sebagai kepala agama, tetapi juga sebagai kepala negara. Dengan kata lain, dalam diri nabi terkumpul dua kekuasaan, kekuasaam spiritual dan kekuasaan duniawi. Kedudukannya sebagai rasul secara otomatis merupakan kepala negara.
Dalam rangka memperkokoh masyarakat dengan negara baru ini, nabi segera meletakan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat. Dasar pertama, pembangunan mesjid, selain untuk tempat shalat, juga sebagai sarana penting untuk mempersatukan kaum muslimin dan mempertalikan jiwa mereka, disamping sebagai tempat bermusyawarah merundingkan masalah-masalah yang dihadapi. Mesjid pada masa nabi bahkan juga berfungsi sebagai pusat pemerintahan.
Dengan terbentuknya Negara Madinah, Islam makin bertambah kuat. Perkembangan Islam yang pesat itu membuat orang-orang Mekah dan musuh-musuh Islam lainnya menjadi risau. Kerisauan ini akan mendorong orang-orang Quraisy berbuat apa saja. Untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan gangguan dari musuh, nabi, sebagi kepala pemerintahan, mengatur siasat dan membentuk pasukan tentara. Umat Islam diijinkan berperang dangan dua alasan: (1) untuk mempertahankan diri dan melindungi hak miliknya, dan (2) menjaga keselamatan dalam penyebaran kepercayaan dan mempertahankannya dari orang-orang yang menghalang-halanginya.

C.      Wafatnya Nabi Muhammad SAW
Detik-detik kisah wafatnya Nabi Muhammad SAW telah tiba. Nabi Muhammad SAW menyandarkan tubuhnya yang suci ke pangkuan Sayyidah `Aisyah. Pada waktu itu, masuklah Abdurrahman dan Abubakar dan ditangannya ada sebuah siwak. Dengan matanya yang indah, Rasulullah SAW memandangi siwak tersebut dan menunjukkan bahwa beliau menginginkannya. Kemudian Sayyidah ‘Aisyah berkata kepada Rasulullah : “Wahai Rasulullah maukah aku ambilkan siwak ini untukmu ?” Beliau pun menganggukkan kepalanya bertanda mengiyakan. Kemudian Sayyidah ‘Aisyah pun mengambil siwak tersebut dan mengunyah ujungnya sampai lunak kemudian memberikannya kepada Rasulullah. Dan Rasulullah pun bersiwak dengan cara yang paling baik sebagaimana lazimnya dilakukan oleh beliau kala sehatnya. Di depan beliau ada sebuah bejana berisi air, lalu beliau memasukkan kedua tangannya ke dalam air tersebut kemudian mengusapkan kewajahnya sambil berkata : “La ilaaha illallah, sesungguhnya kematian itu mengalami saat-saat yang pedih”.
Tak lama selesai bersiwak, saat itu kepala Rasulullah berada di pangkuan Sayyidah ‘Aisyah dan Sayyidah ‘Aisyah merasakan beratnya kepala Rasulullah di pangkuannya. Terlihat Baginda Rasul mengangkat kedua tangannya dan menatapkan pandangan ke atas, kedua bibirnya bergerak dan Sayyidah ‘Aisyah mendengarkannya beliau berkata: “bersama-sama dengan orang-orang yang telah engkau anugerahi nikmat, yaitu para Nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang sholeh. Ya Allah, ampunilah dan kasihanilah aku, pertemukan aku dengan kekasih Yang Maha Tinggi, Ya Allah Kekasih Yang Maha Tinggi”
Beliau mengulangi kalimat yang terakhir ini tiga kali, kemudian ke dua mata Rasulullah terpejam dan suara beliau pun tak terdengar lagi. Ruh suci beliau naik menuju kekasih Yang Maha Tinggi, Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Sesungguhnya kita milik Allah dan kita pun akan kembali kepada-Nya.
Rasulullah wafat pada waktu dhuha musim panas, hari senin 12 Rabiul Awwal tahun 11 Hijriah. Usia beliau saat itu telah mencapai enam puluh tiga tahun lebih empat hari.

BAB III
KESIMPULAN

Dari perjalanan sejarah nabi ini, dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad SAW, di samping sebagai pemimpin agama, juga seorang negarawan, pemimpin politik dan administrasi yang cakap. Hanya dalam waktu sebelas tahun menjadi pemimpin politik, beliau berhasil menundukan seluruh Jazirah Arab ke dalam kekuasaannya.
Kita dapat membagi masa dakwah Muhammad SAW menjadi dua periode, yang satu berbeda secara total dengan yang lainnya, yaitu:
1.        Periode Mekah, berjalan kira-kira tiga belas tahun.
2.        Periode Madinah, berjalan selama sepuluh tahun penuh.
Setiap periode memiliki tahapan-tahapan tersendiri, dengan kekhususannya masing-masing. Periode mekah dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu:
1.        Tahapan dakwah secara sembunyi-sembunyi, yang berjalan selama tiga tahun.
2.        Tahapan dakwah secara terang-terangan di tengah penduduk Mekah, yang dimulai sejak tahun keempat dari kenabian hingga akhir tahun kesepuluh.
3.        Tahapan dakwah di luar Mekah, yang dimulai dari tahun kesepuluh dari kenabian hingga hijrah ke Madinah.

DAFTAR PUSTAKA


Abdul Hasan ‘Ali Al-Hasani An-Nadwi. As-Sirah An-Nabawiyah. Damaskus: Darul Qalam. 2001.

Ajid Thohir. Kehidupan Umat Islam Pada Masa Rasulullah SAW. Bandung: Pustaka Setia. 2004.

Hasan Ibrahim Husain. Tarikh Islam. Mesir: Maktabah An-Nahdoh. 1974.

Muhammad Husain Haekal. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Litera Antarnusa. 1990.

Nayla Putri dkk. Sirah Nabawiyah. Bandung: CV. Pustaka Islamika. 2008.







[1] Nayla Putri dkk, Sirah Nabawiyah. (Bandung: CV. Pustaka Islamika, 2008), 71.
[2] Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Litera Antarnusa, 1990, cet. 12), 49.
[3] Hasan Ibrahim Husain, Tarikh Islam, (Mesir: Maktabah An-Nahdoh, 1974), 102.
[4] Ajid Thohir, Kehidupan Umat Islam Pada Masa Rasulullah SAW, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 62.
[5] Abdul Hasan ‘Ali Al-Hasani An-Nadwi, As-Sirah An-Nabawiyah, (Damaskus: Darul Qalam, 2001) 99.
[6] Philip K. Hitti, History Of The Arabs,……, 141.
[7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,…..20.
[8] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,…..23.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar