BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan alam pikiran Barat hingga awal abad ke dua
puluh ini telah menempatkan kedudukan filsafat sebagai pengetahuan yang
mempunyai pamor tinggi. Tidak dapat disangkal, filsafat merupakan induk segala
ilmu, the queen of the sciences, karena daripadanya berkembang
ilmu-ilmu pengetahuan yang beragam sampai pada spesifikasinya yang amat
khusus. Dewasa ini kita mengenal ilmu-ilmu mikrobiologi, genetika, ilmu
perbintangan, tehnik nuklir. yang keberadaannya tak mungkin kita
pahami selain dalam kaitannya dengan perkembangan filsafat.
Perkembangan filsafat Yunani berlangsung begitu
cepatnya, sehingga dalam usaha untuk menggambarkannya dengan mudah akan
mengalami kesukaran mengenai kronologisnya. Perkembangan ini berlangsung
berangsur-angsur, meskipun secara relatif berjalan cepat. Sampai saat ini
filsafat Eropa dan Amerika juga didasarkan atas daya pikir orang-orang Yunani,
tidaklah mungkin untuk memahami filsafat dewasa ini tanpa mengetahui sejarah
dan asal-usulnya. Yang menjadi asal mulanya dalam arti sempit ialah pemikiran
Plato dan Aristoteles.
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang Problem Awal Filsafat” yang
akan diuraikan pada bab selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
PROBLEM AWAL
FILSAFAT
A.
Pengertian Filsafat
Menurut para ahli
bahasa kata filsafat diambil dari dua akar kata, yaitu: philos (cinta, persahabatan, tertarik kepada) dan sophos (hikmah, kebijaksanaan,
pengetahuan, pengalaman, keterampilan, intelegensi) yang merupakan
bahasa yunani. Jadi secara etimologi filsafat bisa diartikan cinta terhadap
ilmu pengetahuan.
Filsafat
menurut Harun Nasution berasal dari bahasa Arab “falsafah” dengan wazan fa'lala, fa'lalah
dan fi'lal. Jadi kata bendanya seharusnya
falsafah dan filsaf. Harun Nasution beranggapan seperti itu
karena menurut beliau bahwasannya orang Arab lebih dulu datang dan sekaligus
mempengaruhi bahasa Indonesia daripada orang dan bahasa Inggris.
Sidi Gazalba
mengartikan filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan
universal dalam rangka mencari kebenaran, inti atau hakikat mengenai segala
sesuatu yang ada.
Ibnu Rusyd berpendapat
bahwa filsafat atau hikmah merupakan pengetahuan ‘otonom’
yang perlu dikaji oleh manusia karena ia dikaruniai akal. Al-Qur’an mewajibkan
manusia berfilsafat untuk menambah dan memperkuat keimanan kepada tuhan.
Al-Farabi mengemukakan
filsafat merupakan ilmu tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki
hakikatnya yang sebenarnya.
Pengertian filsafat
secara terminologi sangatlah beragam, baik dalam ungkapan maupun titik
tekannya. Seperti halnya Moh. Hatta dan Langeveld mengatakan definisi filsafat
tidak perlu diberikan karena setiap orang memiliki titik tekan sendiri dalam
definisinya. Oleh karena itu, biarkan saja seseorang meneliti filsafat terlebih
dahulu kemudian menyimpuannya sendiri.
Aristoteles tokoh
utama filosof klasik, berpendapat bahwa filsafat menyelidiki sebab dan asas
segala terdalam dari wujud. Oleh karena itu dia menamakan filsafat dengan
‘teologi’ atau ‘filsafat pertama’. Aristoteles sampai pada kesimpulan bahwa
setiap gerak dalam alam ini digerakkan oleh yang lain. Karena itu perlu
menetapkan satu penggerak utama yang menyebabkan gerak itu, sedangkan dirinya
sendiri tidak bergerak. Penggerak pertama ini sama sekali terlepas materi,
sebab kalau dia materi, maka ia juga mempunyai potensi gerak. Allah, demikian
Aristoteles, sebagai penggerak pertama adalah aktus murni. Dan ia adalah salah
seorang filosof yunani kuno yang mengatakan bahwa filsafat memperhatikan
seluruh pengetahuan, dan kadang-kadang disamakan dengan pengetahuan tentang
wujud (ontologi). Sementara Plato dan Pythagoras berpandangan sama dalam
menekankan objek filsafa, yaitu “penemuan kenyataan atau kebenaran absolute lewat
‘dialektika’.
Adapun beberapa
pengertian tentang filsafat menurut
kalangan filosof adalah:
·
Upaya spekulatif untuk
menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas.
·
Upaya untuk melukiskan
hakikat akhir dan dasar serta nyata.
·
Upaya untuk menentukan
batas-batas dan jangkauan pengetahuan baik itu sumbernya, hakikatnya,
kabsahannya, dan nilainya.
·
Penyelidikan kritis
atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang dilakukan oleh
berbagai bidang pengetahuan.
·
Disiplin ilmu yang
berupaya untuk membantu anda melihat apa yang anda katakan dan untuk mengatakan
apa yang anda lihat.
·
Berpikir keras dan
mendalam untuk mencari atau mendapatkan suatu kebenaran.
B.
Awal Terbentuknya Filsafat
Sejarah awal lahirnya
filsafat berkembang melalui kebudayaan dan peradaban Yunani kuno, lalu abad
pertengahan, modern sampai abad kontemporer.
Bertrand Russell
(1946), dalam bukunya History of Western Philosophy, menjelaskan bahwa
munculnya filsafat di Yunani tersebut akibat kemahiran bangsa Yunani dalam
merajut dan menyempurnakan peradaban besar lainnya pada saat itu seperti Mesir
dan Mesopotamia.
Sekitar abad ke-7 SM,
di Yunani mulai berkembang suatu pendekatan yang sama sekali berlainan dibanding
masa-masa sebelumnya, yaitu pendekatan filsafat. Sejak saat itulah orang mulai
mencari jawaban rasional tentang berbagai problem yang dihadapai, termasuk
beragam masalah mengenai alam semesta. Sejak saat itu juga peran mitos,
legenda, kepercayaan, dan agama telah tergantikan oleh fungsi logos (akal budi,
rasio) dan berkembang sebagai sebuah khazanah ilmu pengetahuan.
Banyak ahli filsafat
memberi kesimpulan bahwa filosof Yunani pertama yang berhak diberi gelar
tersebut ialah Thales. Meskipun sebetulnya para filosof yang terbesar lainnya
masih banyak seperti Socrates, Plato dan Aristoteles, namun Thales-lah filosof
yang pertama kali melahirkan gagasan-gagasan kritis mengenai semua kehidupan
ini yang, katanya, berawal dari Air. Lalu, tesis tersebut mengundang perdebatan
hingga saat ini dan melahirkan banyak aliran pemikir, ilmuan, dan pemikir besar
dunia.
Peristiwa munculnya
filsafat di Yunani merupakan peristiwa unik dan
ajaib. Hal itu dipengaruhi oleh banyak faktor yang mendahului dan seakan-akan
mempersiapkan lahirnya filsafat di Yunani kuno. Dalam hal ini, K. Bertens
(1990) menyebutkan ada tiga faktor, yaitu:
1.
Mitos bangsa Yunani.
Layaknya bangsa-bangsa besar lainnya, Yunani juga memiliki banyak mitologi.
Mitologi tersebut dapat dianggap sebagai perintis yang mendahului filsafat.
2.
kesusastraan Yunani.
Dua karya puisi Homeros yang berjudul Iliyas dan Odyssea mempunyai kedudukan
istimewa dalam kesusastraan Yunani. Syair-syair dalam karya tersebut sudah lama
digunakan sebagai semacam buku pendidikan untuk rakyat di Yunani.
3.
Pengaruh ilmu
pengetahuan. Pengaruh ilmu pengetahuan dari bangsa lain dalam menerima beberapa
unsur ilmu pengetahuan juga merupakan faktor lainnya.
Seperti ilmu ukur dan ilmu hitung sebagaian besar dari Mesir. Pengaruh
Babilonia dalam perkembangan ilmu astronomi di negeri Yunani. Pada bangsa
Yunanilah didapatkan ilmu pengetahuan yang bercorak dan sungguh-sungguh ilmiah.
Di samping itu filsafat telah menyumbangkan
pemikiran-pemikiran besar mampu menggerakkan orang untuk merubah masyarakat.
Sokrates (± 470-399 SM), Plato (± 427-347 SM) dan Aristoteles (± 384-322 SM), tiga
tokoh filsuf Yunani yang hidup antara 500-300 sebelum Masehi adalah
filsuf-filsuf besar yang meletakkan dasar-dasar pemikiran yang nantinya menjadi
benih-benih gagasan-gagasan besar dalam perubahan masyarakat seperti
idealisme, demokrasi, konstitusi, keadilan sosial, hak asasi manusia, dan sebagainya yang dikembangkan oleh para filsuf berikutnya.
Dalam hal ini filsafat mempunyai arti sebagai pemikiran
dasar yang melahirkan doktrin-doktrin besar kenegaraan, moralitas, sosialitas,
bahkan juga keagamaan yang hingga kini masih menjadi bahan perbincangan banyak
orang. Dilihat secara demikian, filsafat boleh dikata juga memberikan
dasar-dasar pemikiran untuk pegangan hidup, yang disebut Weltanschauung,
wawasan yang luas dan proyeksi-proyeksi ke masa depan yang jauh.
Pengartian-pengartian filsafat yang mulai dikritik,
pertama-pertama oleh para ilmuwan tetapi kemudian juga oleh kalangan filsuf
sendiri, yang tidak puas dengan peran filsafat yang terlalu jauh dari
jangkauan praktis masyarakat, serta sifat ambisius yang arogan, yang mau
meletakkan pengetahuan-pengetahuan lainnya di bawah rentangan sayapnya.
Dalam latar belakang seperti itu persoalan-persoalan
konkrit dan sederhana, hal-hal praktis dalam kehidupan, termasuk juga bahasa
sehari-hari yang digunakan oleh orang-orang biasa kiranya akan kurang
mendapatkan perhatian filsafat, sebab filsafat hanya berurusan dengan hal-hal
yang umum bagi manusia, yang prinsipil atau mendasar, yang menyangkut
kehidupan bangsa manusia dan untuk tujuan global.
Filsafat bisa memanfaatkan kesempatan hanya untuk
memusatkan perhatiannya pada persoalan-persoalan batas, kemungkinan-kemungkinan
yang ada di balik kehidupan yang biasa itu. Marilah kita mulai dengan melihat
beberapa kritik filsafat untuk kemudian menempatkan peran filsafat dalam jaman
sekarang, khususnya dalam kaitannya dengan fungsi bahasa.
C.
Beberapa Kritik
Filsafat
Hingga abad Pertengahan sekitar abad 12 M dan 13 M filsafat diterima dan dikembangan di
Eropa, melanjutkan kebiasaan yang diterima di Yunani, yakni sebagai “logos”
yang menerangi dunia gelap, irasionil, penuh dengan kepercayaan-kepercayaan dan
takhayul “mitos”. Filsafat memberi terang pada uraian-uraian ilmiah
maupun teologis. Tetapi pada waktu ini pengetahuan ilmiah masih amat dekat
dengan pengetahuan teologis, karena belum adanya spesifikasi yang tegas. Ilmu
kedokteran, perbintangan, pertanian dsb. masih diwarnai dengan keyakinan akan
Allah sebagai penguasa dan penentu alam semesta, sehingga acuan teologis dan paparan
Kitab Suci tidak dirasakan aneh atau bertentangan dengan ilmu-ilmu dasar tsb.
Bahkan para cendekiawan dengan tegas menyatakan bahwa iman kepercayaan akan
Allah dan pengetahuan budi kita saling melengkapi.
Memang pada abad Pertengahan sudah muncul pula
perdebatan filosofis mengenai apa yang disebut sebagai “universalia”,
yakni konsep-konsep abstrak yang digunakan dalam pembicaraan filsafat.
Kata-kata seperti “Hakekat” (essentia) dan “keberadaan” (existentia),
“tindakan” (actus) dan “kemampuan” (potentia), atau
“substansi” (substantia) misalnya, atau juga hal-hal yang berkaitan
dengan keagamaan seperti “rahmat” (gratia), “kodrat” (natura),
“kemanusiaan” (humanitas), “pribadi” (pesona), “nasib” (destinatio)
atau “penyelenggaraan ilahi´ (providentia Del) dsb. bagi sebagian
filsuf sungguh-sungguh mengandung makna yang padat, sebab mengungkapkan
kenyataan yang berlaku umum. Akan tetapi bagi sebagian yang lain, kata-kata
itu tak lebih dari konsep-konsep kosong tak berisi, sebab selain individu-individu
yang riil tak ada sesuatu yang nyata. Menurut kelompok ini, konsep-konsep
abstrak itu hanyalah kata-kata kosong atau bunyi saja yang keluar dari mulut
ketika orang mengucapkannya (flatus vocis).
Dalam perdebatan ini sebenarnya mulai tersirat persoalan
bahasa, tetapi yang baru menjadi pokok keprihatinan dan pembicaraan filsafat
pada periode-periode berikutnya.
Pada akhir abad Pertengahan, Gulielmus dari Ockham
(1285-1349) mencoba membuat pembatasan dalam hal pembentukan konsep-konsep.
Konsep memang perlu untuk menunjuk kelompok atau golongan hal-hal yang dibicarakan itu, tetapi tak perlulah konsep-konsep dilipat
gandakan. Prinsip ini dikenal sebagai “Gunting Ockham” (Ockham’s razor).
Dengan demikian Ockham menghindari pembicaraan-pembicaraan dan diskusi steril
menyangkut konsep-konsep tanpa makna.
Kebencian terhadap filsafat yang abstrak dan kosong, serta
keengganan terhadap kecenderungan filsafat yang ambisius itu diperkuat lagi
oleh adanya perkembangan ilmu-ilmu terapan (applied sciences) yang
sangat pesat pada abad ke-16. Sejak penemuan Copericus (1473-1543)
di bidang astronomi, ilmu-ilmu alam telah membuktikan diri sebagai pengetahuan
yang praktis, berguna dan yang memperlihatkan dampak langsung bagi kehidupan
manusia. Penemuan demi penemuan di bidang ilmu semakin mengangkat pengetahuan
ilmiah sebagai pengetahuan yang benar. Hal ini pun berpengaruh besar dalam
perkembangan filsafat. Banyak pemikir filsafat mulai mengalihkan perhatian
mereka pada metode yang ditempuh oleh ilmu pengetahuan, serta mengidealkan
filsafat dengan metode ilmiah yang sifatnya pasti. Dengan latar belakang inilah
Descartes (1596-1650) misalnya, merintis filsafat “Rasionalisme” dengan
mengetengahkan pemikian sebagai konstruksi idea-idea dasar yang jelas dan terpilah-pilah
(claire et distincte). Rasionalisme Descartes diikuti oleh para
filsuf sesudahnya yang mengarahkan perkembangan filsafat pada pendewaan
“rasio” sebagai kriterium utama pemikian. Lahirlah pada periode berikutnya
jaman “Pencerahan” (Enlightment atau Aufklarung) yang sangat
menghargai akal budi. Kecenderungan ini dengan jelas memperlihatkan bahwa
manusia modern sesungguhnya tidak menolak filsafat, melainkan cara atau metode
pendekatannya saja yang terus menerus harus diperbaharui agar tetap relevan
untuk kebutuhan perkembangan peradaban.
Para filsuf tetap berupaya mengaktualisasikan filsafat di
tengah perkembangan ilmu-ilmu yang konkrit. Meskipun perkembangan ilmu-ilmu
itu semakin banyak bidangnya dan semakin mendalam kajiannya, sehingga semakin
luas jangkauan pengetahuan manusia, namun pada filsuf tetap berpendapat bahwa
filsafat belum kehilangan perannya. Penegasan semacam ini dinyatakan terutama
oleh eksistensialisme yang berkembang pada awal abad ke 20. Karl Jaspers
(1883-1969), tokoh filsuf Jerman abad ke 20 ini, mengatakan dalam bukunya Philosophie
(1967) bahwa meskipun ilmu-ilmu semakin luas dan mendalam, namun makna
kehidupan tidak pernah bisa dijawab oleh mereka. Kita
tetap membutuhkan filsafat untuk memecahkan persoalan-persoalan mendasar dari
kehidupan. Filsafat berfungsi untuk menerangi eksistensi kita (Existenzerhellung),
katanya.
D.
Peran Filsafat
Sepanjang sejarahnya filsafat telah diartikan menurut
berbagai-bagai kepentingan. pada mulanya filsafat diartikan sebagai kerinduan (phio)
akan kebijaksanaan (sophia), sebagaimana bisa dirunut dari arti
etimologis kata Yunani “philosophia”. Dalam arti ini, seorang filsuf
adalah seseorang yang mencari dan mengupayakan kebijaksanaan. Sementara
murid-murid Aristoteles menurut tradisi mengartikan pengetahuan filosofis
sebagai pengetahuan mengenai hal-hal yang mengatasi (meta) alam (physica)
ini. Maka filsafat sering kali disebut juga sebagai “metafisika”. Dalam arti
ini filsafat harus dipelajari sesudah ilmu-ilmu alam, sebab filsafat berkaitan
dengan persoalan-persoalan asasi, yang mendasari kenyataan-kenyataan alam.
Untuk selanjutnya menjadi lajim bahwa filsafat dipahami sebagai pengetahuan
yang komprehensif dan mendasar (foundation) mengenai kenyataan. Obyek
filsafat bisa meliputi apa saja, baik manusia (anthropologia) alam (cosmologia)
mahupun ketuhanan (theodicea).
Dalam iklim metafisik ini para filsuf berkecenderungan
menyusun pemikiran-pemikiran mereka dalam ulasan-ulasan yang luas dan
komprehensif, sehingga membentuk satu sistem besar ini. Seperti sudah disebut
di atas, Discartes merintis “Rasionalisme”. Sistem ini digeser dan digantikan
oleh Immanuel Kant (1724-1804) yang memulai tradisi “Krititisme” karena
teorinya mengenai akal budi yang kritis atau sering kali juga disebut
“Kantianisme”. Pada periode berikutnya George Wilhelm Friederich Hegel
(1770-1831) memulai tradisi “Idealisme”, demikian seterusnya. Pokok dari semua
isme ini ialah bahwa mereka memutlakkan ajaran atau doktrin mereka dan meredusir
ajaran-ajaran lainnya.
Akan tetapi sesuai dengan hukum sejarah, munculnya
ajaran-ajaran baru dengan sendirinya akan membunuh ajaran lama sehingga setiap
ajaran-ajaran itu sebenarnya tak pernah dapat bertahan lama tanpa derevisi.
Kenyataan ini telah menumbuhkan rasa skeptis kepada mereka yang kemudian
menganggap bahwa perkembangan fisafat tak lebih dari pergumulan antara
ajaran-ajaran dan ideologi-ideologi kosong belaka. Ideologi yang satu hanya
unggul dalam kurun waktu tertentu, sebab dengan segera muncul ideologi yang
baru pada periode yang lain untuk menggantikannya. Oleh karena itu menurut
mereka sejarah filsafat tak lebih dari sekedar kuburan idea-idea (cimetery
of ideas).
Menjelang abad ke duapuluh berkembanglah keyakinan baru
mengenai arti filsafat yang dirintis oleh sekelompok ilmuwan yang menamakan
diri mashab Neo-positivisme. Karena mashab ini berpusat di Wina, mereka juga
disebut Lingkaran Wina (Wienerkreis). Neopositivisme tentu
saja mengingatkan kita pada nama Positivisme yang dirintis oleh Auguste
Comte (1798-1857). Positivisme comte seperti kebanyakan aliran modern, ingin
menghindari kecenderungan filsafat yang menjauh dari kenyataan konkrit
manusia. Positivisme berpendirian bahwa pengetahuan yang benar hanyalah
pengetahuan mengenai kenyataan yang diperoleh dari pengamatan indera dan
pengalaman, inilah pengetahuan positif yang sesungguhnya. Dalam arti ini
positivisme berusaha menolak metafisika atau sistem-sistem besar. Akan tetapi Neo-Positivisme
menilai bahwa Positivisme sendiri masih berbau metafisik dengan
pengandaian-pengandaiannya yang spekulatip, mengandalkan akal budi tanpa diuji
dalam pengalaman konkrit.
Filsafat harus melangkah lebih jauh lagi dengan membatasi
diri hanya pada tugas membeberkan kenyataan konkrit. Tidak lebih dari itu.
Untuk itu Neo Positivisme mengetengahkan dua prinsip, pertama bahwa hanya ada
satu sumber pengetahuan, yakni pengalaman konkrit dan kedua suatu ungkapan (proposition)
hanya mempunyai arti jika dapat diperiksa (can be verified) lewat
fakta yang dapat diamati secara inderawi. Dengan prinsip ini neo-Positivisme
mengartikan filsafat bukan lagi sebagai kumpulan ajaran atau doktrin untuk
memperoleh kebijaksanaan atau untuk mencari pegangan hidup, yang dirumuskan
dalam suatu sistem yang besar, sebagaimana dianut oleh para pemikir lama,
melainkan sekedar sarana klarifikasi untuk melihat kenyataan menurut apa
adanya.
Filsafat menurut Neo-Positivisme sama sekali
tidak memberikan ajaran, melainkan menganalisa ungkapan-ungkapan manusia,
untuk meneliti apakah ungkapan mereka masuk akal dan karenanya bermakna dan
bisa dipahami atau tidak. Maka untuk menjalankan klarifikasi atau penjelasan
itu, Neo-Positivisme sangat ungkapan sangat tergantung oleh logis
tidaknya bahasa. Hal ini juga yang menjadi alasan mengapa mashab ini juga
disebut Positivisme Logis. Tokoh-tokoh aliran ini ialah Moritz
Schalick (1882-1936), Hans Hahn (1880-1934), Otto Neurath (1882-1945), Hans
Reichenbach (1891-1955), Victor Kraft (1880-1975), semuanya sarjana di bidang
ilmu pasti dan logika. yang sangat mengejutkan dari aliran ini terutama adalah
kesimpulan-kesimpulan jauh yang ditarik dari prinsip dasar mereka; sebab
dengan membatasi tugas filsafat hanya pada klarifikasi, mereka menolak etika
(filsafat moral) yang membicarakan nilai-nilai. Demikian juga mereka menolak
ungkapan-ungkapan keagamaan yang mereka anggap sebagai ungkapan irasional,
penuh dengan getaran jiwa (emosi) yang tak bisa ditera dengan kenyataan
konkrit.
Pandangan filsafat yang sangat ketat menyangkut peran bahasa
di atas sebenarnya telah dirintis oleh Ludwig Wittgenstein (1889-1951). Dalam
bukunya Tractatus logico-philosophicus (1918), Wittgenstein
mengajukan apa yang disebutnya teori gambar (“picture theory”).
Menurut teori ini bahasa berfungsi menggambarkan secara tepat kenyataan yang
ada. Dengan mengembalikan bahasa pada unsur-unsurnya yang paling elementer,
bahasa dan kenyataan dapat dilihat sebagai mempunyai hubungan timbal-balik.
Setiap kenyataan dapat dilukiskan melalui ungkapan bahasa dan setiap ungkapan
bahasa melukiskan kenyataan secara tepat, oleh karena itu mengenai hal-hal yang
tak dapat dibahasakan, sebaiknya orang diam. Dengan ini Wittgenstein bermaksud
menolak ungkapan-ungkapan bahasa etis dan keagamaan yang tidak menunjuk pada
kenyataan konkrit.
Namun perkembangan Neo-Positivisme dengan segera
memperlihatkan bahwa penekanan pada fungsi logis dari bahasa berlawanan dengan
kenyataan, sebab bahasa jauh lebih luas fungsinya dari sekedar melukiskan
kenyataan secara logis. Hal ini dilihat oleh beberapa filsuf yang mulai
menaruh perhatian pada kepentingan bahasa sehari-hari. Minat pada pemikiran
seperti ini muncul di kalangan para sarjana di Oxford, di mana Wittgenstein,
orang yang kita sebut di atas – berpindah dari Austria, dan merubah pandangan
filsafatnya. Periode kedua dari pemikiran Wittgenstein ini ditandai dengan
teorinya mengenai bahasa sebagai permainan (“language games”). Dalam bukunya Philosophical
Investigations (1953), Wittgenstein mengemukakan bahwa sebagaimana setiap
permainan, entah itu olah raga atau rekreasi, mempunyai aturan-aturannya yang
berbeda, demikian pun bahasa. Ada berbagai-bagai ragam bahasa yang
masing-masing mempunyai aturannya sendiri-sendiri. Tidak ada satu bahasa logis
untuk semua, sebab setiap kalangan masyarakat pun nampaknya menggunakan
lingkup bahasa yang khas dengan aturan mainnya sendiri. Pandangan semacam ini
didukung antara lain oleh tokoh-tokoh Gilbert Ryle (1900-1976), Peter Frederick
Strawson (1919- ), John Langshaw Austin (1911-1960) dan Ian T. Ramsey
(1915-1972). Austin misalnya, terkenal oleh karena pembedaanya antara ungkapan
performatif (“performative utterance”) dan ungkapan konstatatif (“constatative
utterances”). Ungkapan yang pertama mempunyai dampak sosial dalam
kedudukan seseorang, misalnya dalam pengangkatan presiden oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, sedangkan yang kedua hanya memberitahu atau menyatakan
sesuatu fakta saja. Sementara Ian T. Ramsey, seorang uskup, membela fungsi
bahasa dalam kepentingan-kepentingan keagamaan.
BAB III
PENUTUP
Dari uraian singkat di atas nampak bahwa filsafat
itu terus menerus berkembang, baik menyangkut obyek keprihatinannya maupun meteode
atau cara pendekatannya. Lewat perkembangan itu, pengartian filsafat pun
berubah-berubah. Walaupun demikian perubahan dan perkembangannya yang
beruntun itu, filsafat tetap berusaha mempertahankan diri sebagai pengetahuan
yang kritis, sistematis dan metodis sebagaimana halnya ilmu-ilmu lainnya. Dan
yang penting lagi ialah kenyataan bahwa sejarah filsafat senantiasa
memperlihatkan perjuangan untuk menjadikan dirinya tidak terlalu jauh dari
persoalan-persoalan manusia konkrit, sehingga tetap relevan untuk kepentingan
kehidupan manusia masa kini dan waktu yang akan datang.
Filsafat
merupakan buah dari pemikiran manusia,
yang didasarkan pada perenungan terhadap fenomena yang terjadi disekitarnya.
Filsafat merenungkan fenomena netral (masalah) maupun fenomena tidak netral
(persoalan). Dalam perkembangannya, filsafat menghasilkan ilmu pengetahuan, dan
pemanfaatan ilmu pengetahuan untuk mencapai tujuan tertentu menghasilkan
teknologi.
DAFTAR PUSTAKA
B. Delfgaauw, Filsafat Abad 20, (Alih
bahasa Soejono Soemargono), Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988 (1972).
Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1975.
Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Karnisius, 1976.
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, Jilid 1 dan 2 Yogyakarta: Kanisius,
1980.
K. Bertens, Filsafat Barat Dalam Abad XX, jilid I, Jakarta: Gramedia, 1981.
Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1983.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
Bab II Pembahasan: Problem Awal Filsafat
A.
Pengertian Filsafat
B.
Awal Terbentuknya Filsafat
C.
Beberapa Kritik
Filsafat
D.
Peran Filsafat
Sepanjang sejarahnya filsafat telah diartikan menurut
berbagai-bagai kepentingan. pada mulanya filsafat diartikan sebagai kerinduan (phio)
akan kebijaksanaan (sophia), sebagaimana bisa dirunut dari arti
etimologis kata Yunani “philosophia”. Dalam arti ini, seorang filsuf
adalah seseorang yang mencari dan mengupayakan kebijaksanaan. Sementara
murid-murid Aristoteles menurut tradisi mengartikan pengetahuan filosofis
sebagai pengetahuan mengenai hal-hal yang mengatasi (meta) alam (physica)
ini. Maka filsafat sering kali disebut juga sebagai “metafisika”. Dalam arti
ini filsafat harus dipelajari sesudah ilmu-ilmu alam, sebab filsafat berkaitan
dengan persoalan-persoalan asasi, yang mendasari kenyataan-kenyataan alam.
Untuk selanjutnya menjadi lajim bahwa filsafat dipahami sebagai pengetahuan
yang komprehensif dan mendasar (foundation) mengenai kenyataan. Obyek
filsafat bisa meliputi apa saja, baik manusia (anthropologia) alam (cosmologia)
mahupun ketuhanan (theodicea).
Dalam iklim metafisik ini para filsuf berkecenderungan
menyusun pemikiran-pemikiran mereka dalam ulasan-ulasan yang luas dan
komprehensif, sehingga membentuk satu sistem besar ini. Seperti sudah disebut
di atas, Discartes merintis “Rasionalisme”. Sistem ini digeser dan digantikan
oleh Immanuel Kant (1724-1804) yang memulai tradisi “Krititisme” karena
teorinya mengenai akal budi yang kritis atau sering kali juga disebut “Kantianisme”.
Pada periode berikutnya George Wilhelm Friederich Hegel (1770-1831) memulai
tradisi “Idealisme”, demikian seterusnya. Pokok dari semua isme ini ialah
bahwa mereka memutlakkan ajaran atau doktrin mereka dan meredusir ajaran-ajaran
lainnya.
Akan tetapi sesuai dengan hukum sejarah, munculnya
ajaran-ajaran baru dengan sendirinya akan membunuh ajaran lama sehingga setiap
ajaran-ajaran itu sebenarnya tak pernah dapat bertahan lama tanpa derevisi.
Kenyataan ini telah menumbuhkan rasa skeptis kepada mereka yang kemudian
menganggap bahwa perkembangan fisafat tak lebih dari pergumulan antara
ajaran-ajaran dan ideologi-ideologi kosong belaka. Ideologi yang satu hanya
unggul dalam kurun waktu tertentu, sebab dengan segera muncul ideologi yang
baru pada periode yang lain untuk menggantikannya. Oleh karena itu menurut
mereka sejarah filsafat tak lebih dari sekedar kuburan idea-idea (cimetery
of ideas).
Menjelang abad ke duapuluh berkembanglah keyakinan baru
mengenai arti filsafat yang dirintis oleh sekelompok ilmuwan yang menamakan
diri mashab Neo-positivisme. Karena mashab ini berpusat di Wina, mereka juga
disebut Lingkaran Wina (Wienerkreis). Neopositivisme tentu
saja mengingatkan kita pada nama Positivisme yang dirintis oleh
Auguste Comte (1798-1857). Positivisme comte seperti kebanyakan aliran modern,
ingin menghindari kecenderungan filsafat yang menjauh dari kenyataan konkrit
manusia. Positivisme berpendirian bahwa pengetahuan yang benar hanyalah
pengetahuan mengenai kenyataan yang diperoleh dari pengamatan indera dan
pengalaman, inilah pengetahuan positif yang sesungguhnya. Dalam arti ini
positivisme berusaha menolak metafisika atau sistem-sistem besar. Akan tetapi Neo-Positivisme
menilai bahwa Positivisme sendiri masih berbau metafisik dengan
pengandaian-pengandaiannya yang spekulatip, mengandalkan akal budi tanpa diuji
dalam pengalaman konkrit.
Filsafat harus melangkah lebih jauh lagi dengan membatasi
diri hanya pada tugas membeberkan kenyataan konkrit. Tidak lebih dari itu.
Untuk itu Neo Positivisme mengetengahkan dua prinsip, pertama bahwa hanya ada
satu sumber pengetahuan, yakni pengalaman konkrit dan kedua suatu ungkapan (proposition)
hanya mempunyai arti jika dapat diperiksa (can be verified) lewat
fakta yang dapat diamati secara inderawi. Dengan prinsip ini neo-Positivisme
mengartikan filsafat bukan lagi sebagai kumpulan ajaran atau doktrin untuk
memperoleh kebijaksanaan atau untuk mencari pegangan hidup, yang dirumuskan
dalam suatu sistem yang besar, sebagaimana dianut oleh para pemikir lama,
melainkan sekedar sarana klarifikasi untuk melihat kenyataan menurut apa
adanya.
Filsafat menurut Neo-Positivisme sama sekali
tidak memberikan ajaran, melainkan menganalisa ungkapan-ungkapan manusia,
untuk meneliti apakah ungkapan mereka masuk akal dan karenanya bermakna dan
bisa dipahami atau tidak. Maka untuk menjalankan klarifikasi atau penjelasan
itu, Neo-Positivisme sangat ungkapan sangat tergantung oleh logis
tidaknya bahasa. Hal ini juga yang menjadi alasan mengapa mashab ini juga
disebut Positivisme Logis. Tokoh-tokoh aliran ini ialah Moritz
Schalick (1882-1936), Hans Hahn (1880-1934), Otto Neurath (1882-1945), Hans
Reichenbach (1891-1955), Victor Kraft (1880-1975), semuanya sarjana di bidang
ilmu pasti dan logika. yang sangat mengejutkan dari aliran ini terutama adalah
kesimpulan-kesimpulan jauh yang ditarik dari prinsip dasar mereka; sebab
dengan membatasi tugas filsafat hanya pada klarifikasi, mereka menolak etika
(filsafat moral) yang membicarakan nilai-nilai. Demikian juga mereka menolak
ungkapan-ungkapan keagamaan yang mereka anggap sebagai ungkapan irasional,
penuh dengan getaran jiwa (emosi) yang tak bisa ditera dengan kenyataan
konkrit.
Pandangan filsafat yang sangat ketat menyangkut peran
bahasa di atas sebenarnya telah dirintis oleh Ludwig Wittgenstein (1889-1951).
Dalam bukunya Tractatus logico-philosophicus (1918), Wittgenstein
mengajukan apa yang disebutnya teori gambar (“picture theory”).
Menurut teori ini bahasa berfungsi menggambarkan secara tepat kenyataan yang
ada. Dengan mengembalikan bahasa pada unsur-unsurnya yang paling elementer,
bahasa dan kenyataan dapat dilihat sebagai mempunyai hubungan timbal-balik.
Setiap kenyataan dapat dilukiskan melalui ungkapan bahasa dan setiap ungkapan
bahasa melukiskan kenyataan secara tepat, oleh karena itu mengenai hal-hal yang
tak dapat dibahasakan, sebaiknya orang diam. Dengan ini Wittgenstein bermaksud
menolak ungkapan-ungkapan bahasa etis dan keagamaan yang tidak menunjuk pada
kenyataan konkrit.
Namun perkembangan Neo-Positivisme dengan segera
memperlihatkan bahwa penekanan pada fungsi logis dari bahasa berlawanan dengan
kenyataan, sebab bahasa jauh lebih luas fungsinya dari sekedar melukiskan
kenyataan secara logis. Hal ini dilihat oleh beberapa filsuf yang mulai
menaruh perhatian pada kepentingan bahasa sehari-hari. Minat pada pemikiran
seperti ini muncul di kalangan para sarjana di Oxford, di mana Wittgenstein,
orang yang kita sebut di atas – berpindah dari Austria, dan merubah pandangan
filsafatnya. Periode kedua dari pemikiran Wittgenstein ini ditandai dengan
teorinya mengenai bahasa sebagai permainan (“language games”). Dalam bukunya Philosophical
Investigations (1953), Wittgenstein mengemukakan bahwa sebagaimana setiap
permainan, entah itu olah raga atau rekreasi, mempunyai aturan-aturannya yang
berbeda, demikian pun bahasa. Ada berbagai-bagai ragam bahasa yang
masing-masing mempunyai aturannya sendiri-sendiri. Tidak ada satu bahasa logis
untuk semua, sebab setiap kalangan masyarakat pun nampaknya menggunakan
lingkup bahasa yang khas dengan aturan mainnya sendiri. Pandangan semacam ini
didukung antara lain oleh tokoh-tokoh Gilbert Ryle (1900-1976), Peter Frederick
Strawson (1919- ), John Langshaw Austin (1911-1960) dan Ian T. Ramsey (1915-1972).
Austin misalnya, terkenal oleh karena pembedaanya antara ungkapan performatif (“performative
utterance”) dan ungkapan konstatatif (“constatative utterances”).
Ungkapan yang pertama mempunyai dampak sosial dalam kedudukan seseorang,
misalnya dalam pengangkatan presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,
sedangkan yang kedua hanya memberitahu atau menyatakan sesuatu fakta saja.
Sementara Ian T. Ramsey, seorang uskup, membela fungsi bahasa dalam
kepentingan-kepentingan keagamaan.
BAB III
PENUTUP
Dari uraian singkat di atas nampak bahwa filsafat itu terus menerus berkembang, baik menyangkut obyek keprihatinannya maupun
meteode atau cara pendekatannya. Lewat perkembangan itu, pengartian filsafat
pun berubah-berubah. Walaupun demikian perubahan dan perkembangannya yang
beruntun itu, filsafat tetap berusaha mempertahankan diri sebagai pengetahuan
yang kritis, sistematis dan metodis sebagaimana halnya ilmu-ilmu lainnya. Dan
yang penting lagi ialah kenyataan bahwa sejarah filsafat senantiasa memperlihatkan
perjuangan untuk menjadikan dirinya tidak terlalu jauh dari
persoalan-persoalan manusia konkrit, sehingga tetap relevan untuk kepentingan
kehidupan manusia masa kini dan waktu yang akan datang.
Filsafat
merupakan buah dari pemikiran manusia,
yang didasarkan pada perenungan terhadap fenomena yang terjadi disekitarnya.
Filsafat merenungkan fenomena netral (masalah) maupun fenomena tidak netral
(persoalan). Dalam perkembangannya, filsafat menghasilkan ilmu pengetahuan, dan
pemanfaatan ilmu pengetahuan untuk mencapai tujuan tertentu menghasilkan
teknologi.
DAFTAR PUSTAKA
B. Delfgaauw, Filsafat Abad 20, (Alih
bahasa Soejono Soemargono), Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988 (1972).
Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1975.
Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Karnisius, 1976.
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, Jilid 1 dan 2 Yogyakarta: Kanisius,
1980.
K. Bertens, Filsafat Barat Dalam Abad XX, jilid I, Jakarta: Gramedia, 1981.
Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1983.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar