KUMPULAN CERITA ABU NAWAS
Siapakah Abu Nawas ?
Ia adalah tokoh
yang dianggap badut namun juga dianggap ulama besar ini— sufi, tokoh
super lucu yang tiada bandingnya ini aslinya orang Persia yang
dilahirkan pada tahun 750 M di Ahwaz meninggal pada tahun 819 M di
Baghdad.
Setelah
dewasa ia mengembara ke Bashra dan Kufa. Di sana ia belajar bahasa Arab
dan bergaul rapat sekali dengan orang-orang badui padang pasir. Karena
pergaulannya itu ia mahir bahasa Arab dan adat istiadat dan kegemaran
orang Arab, la juga pandai bersyair, berpantun dan menyanyi. la sempat
pulang ke negerinya, namun pergi lagi ke Baghdad bersama ayahnya,
keduanya menghambakan diri kepada Sultan Harun Al Rasyid Raja Baghdad,
Mari kita mulai kisah penggeli hati ini!!!!!!!!!!!!!!!!
Menolak Jadi Kadi Abu Nawas Jadi Gila
Bapaknya
Abu Nawas adalah Penghulu Kerajaan Baghdad bernama Maulana. Pada suatu
hari bapaknya Abu Nawas yang sudah tua itu sakit parah dan akhirnya
meninggal dunia.
Abu
Nawas dipanggil ke istana. la diperintah Sultan (Raja) untuk mengubur
jenazah bapaknya itu sebagaimana adat Syeikh Maulana. Apa yang dilakukan
Abu Nawas hampir tiada bedanya dengan Kadi Maulana baik mengenai
tatacara memandikan jenazah hingga mengkafani, menyalati dan
mendo’akannya, Maka Sultan bermaksud mengangkat Abu Nawas menjadi Kadi
atau penghulu menggantikan kedudukan bapaknya.
Namun…demi mendengar rencana sang Sultan.
Tiba-tiba saja Abu Nawas yang cerdas itu tiba-tiba nampak berubah menjadi gila.
Usai
upacara pemakaman bapaknya. Abu Nawas mengambil batang sepotong batang
pisang dan diperlakukannya seperti kuda, ia menunggang kuda dari batang
pisang itu sambil berlari-lari dari kuburan bapaknya menuju rumahnya.
Orang yang melihat menjadi terheran-heran dibuatnya.
Pada
hari yang lain ia mengajak anak-anak kecil dalam jumlah yang cukup
banyak untuk pergi ke makam bapaknya. Dan di atas makam bapaknya itu ia
mengajak anak-anak bermain rebana dan bersuka cita.
Kini
semua orang semakin heran atas kelakuan Abu Nawas itu, mereka
menganggap Abu Nawas sudah menjadi gila karena ditinggal mati oleh
bapaknya.
Pada suatu hari ada beberapa orang utusan dari Sultan Harun Al Rasyid datang menemui Abu Nawas.
“Hai Abu Nawas kau dipanggil Sultan untuk menghadap ke istana.” kata wazir utusan Sultan.
“Buat apa sultan memanggilku, aku tidak ada keperluan dengannya.” jawab Abu Nawas dengan entengnya seperti tanpa beban.
“Hai Abu Nawas kau tidak boleh berkata seperti itu kepada rajamu.”
“Hai
wazir, kau jangan banyak cakap. Cepat ambil ini kudaku ini dan mandikan
di sungai supaya bersih dan segar”‘ kata Abu Nawas sambil menyodorkan
sebatang pohon pisang yang dijadikan kuda-kudaan.
Si wazir hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Abu Nawas.
“Abu Nawas kau mau apa tidak menghadap Sultan?” kata wazir
“Katakan kepada rajamu, aku sudah tahu maka aku tidak mau.” kata Abu Nawas.
“Apa maksudnya Abu Nawas?” tanya wazir dengan rasa penasaran.
“Sudah
pergi sana, bilang saja begitu kepada rajamu.” sergah Abu Nawas
sembari menyaruk debu dan dilempar ke arah si wazir dan teman-temannya.
Si
wazir segera menyingkir dari halaman rurnah Abu Nawas. Mereka laporkan
keadaan Abu Nawas yang seperti tak waras itu kepada Sultan Harun Al
Rasyid.
Dengan
geram Sultan berkata,”Kalian bodoh semua, hanya menghadapkan Abu Nawas
kemari saja tak becus! Ayo pergi sana ke rumah Abu Nawas bawa dia
kemari dengan suka rela atau pun terpaksa.”
Si wazir segera mengajak bebeerapa prajurit istana. Dan dengan paksa Abu Nawas di hadirkan di hadapan raja.
Namun
lagi-lagi di depan raja Abu Nawas berlagak pilon bahkan tingkahnya
ugal-ugalan tak selayaknya berada di hadapan seorang raja.
“Abu Nawas bersikaplah sopan!” tegur Baginda.
“Ya Baginda, tahukah Anda…..?”
“Apa Abu Nawas…?”
“Baginda…terasi itu asalnya dari udang !”
“Kurang ajar kau menghinaku Nawas !”
“Tidak Baginda! Siapa bilang udang berasal dari terasi?”
“Kurang ajar kau menghinaku Nawas !”
“Tidak Baginda! Siapa bilang udang berasal dari terasi?”
Baginda merasa dilecehkan, ia naik pitam dan segera member! perintah kepada para pengawalnya.
“Hajar dia! Pukuli dia sebanyak dua puluh lima kali”
Wah-wah! Abu Nawas yang kurus kering itu akhirnya lemas tak berdaya.dipukuli tentara yang bertubuh kekar”
“Hajar dia! Pukuli dia sebanyak dua puluh lima kali”
Wah-wah! Abu Nawas yang kurus kering itu akhirnya lemas tak berdaya.dipukuli tentara yang bertubuh kekar”
Usai dipukuli Abu Nawas disuruh keluar istana.
Ketika sampai di pintu gerbang kota, ia dicegat oleh penjaga.
Ketika sampai di pintu gerbang kota, ia dicegat oleh penjaga.
“Hai
Abu Nawas! Tempo hari ketika kau hendak masuk ke kota ini kita telah
mengadakan perjanjian. Masak kau lupa pada janjimu itu?Jika engkau
diberi hadiah oleh Baginda maka engkau berkata: Aku bagi dua; engkau
satu bagian, aku satu bagian. Nah, sekarang mana bagianku itu?”
“Hai penjaga pintu gerbang, apakah kau benar-benar menginginkan hadiah Baginda yang diberikan kepada tadi?”
“lya, tentu itu kan sudah merupakan perjanjian kita?”
“Baik, aku berikan semuanya, bukan hanya satu bagian!”
“Wan ternyata kau baik hati Abu Nawas. Memang
harusnya begitu, kau kan sudah sering menerima hadiah dari Baginda”
harusnya begitu, kau kan sudah sering menerima hadiah dari Baginda”
Tanpa
banyak cakap lagi Abu Nawas mengambil sebatang kayu yang agak besar
lalu orang itu dipukulinya sebanyak dua puluh lima kali.Tentu saja orang
itu menjerit-jerit kesakitan dan menganggap, Abu Nawas
telah menjadi gila.
telah menjadi gila.
Setelah penunggu gerbang kota itu klenger Abu Nawas meninggalkannya begitu saja, ia terus melangkah pulang ke rumahnya.
Sementara itu si penjaga pintu gerbang mengadukan nasibnya kepada Sultan Harun Al Rasyid.
“Ya,
Tuanku Syah Alam, ampun beribu ampun. Hamba datang kemari mengadukan
Abu Nawas yang telah memukul hamba sebanyak dua puluh lima kali tanpa
suatu kesalahan. Hamba mohom keadilan dari Tuanku Baginda.”
Baginda
segera memerintahkan pengawal untuk memanggil Abu Nawas. Setelah Abu
Nawas berada di hadapan Baginda ia ditanya,”Hai Abu Nawas! Benarkah kau
telah memukuli penunggu pintu gerbang kota ini sebanyak dua puluh lima
kali pukulan?”
Berkata Abu Nawas,”Ampun Tuanku, hamba melakukannya karena sudah sepatutnya dia menerima pukulan itu.”
“Apa maksudmu? Coba kau jelaskan sebab musababnya kau memukuli orang itu?” tanya Baginda.
“Tuanku,”kata
Abu Nawas.”Hamba dan penunggu pintu gerbang ini telah mengadakan
perjanjian bahwa , jika hamba diberi hadiah oleh Baginda maka hadiah
tersebut akan dibagi dua. Satu bagian untuknya satu bagian untuk saya.
Nah pagi tadi hamba menerima hadiah dua puluh lima kali pukulan, maka
saya berikan pula hadiah dua puluh lima kali pukulan kepadanya.”
“Hai penunggu pintu gerbang, benarkah kau telah mengadakan perjanjian seperti itu dengan Abu Nawas?” tanya Baginda.
“Benar Tuanku,”jawab penunggu pintu gerbang. “Tapi ……hamba tiada mengira jika Baginda memberikan
hadiah pukulan.”
“Hahahahaha…….!Dasar
tukang peras, sekarang kena batunya kau!” sahut Baginda.”Abu Nawas
tiada bersalah, bahkan sekarang aku tahu bahwa penjaga pintu gerbang
kota Baghdad adalah orang yang suka narget, suka memeras orang! Kalau
kau tidak merubah kelakuan burukmu itu sungguh aku akan memecat dan
menghukum kamu!”
“Ampun Tuanku,”sahut penjaga pintu gerbang dengan gemetar.
Abu
Nawas berkata/Tuanku, hamba sudah lelah, sudah mau istirahat, tiba-tiba
diwajibkan hadir di tempat ini, padahal hamba tiada bersalah. Hamba
mohon ganti rugi. Sebab jatah waktu istirahat hamba sudah hilang karena
panggilan Tuanku. Padahal besok namba harus mencari nafkah untuk
keluarga hamba.”
Sejenak
Baginda melengak, terkejut atas protes Abu Nawas, namun tiba-tiba ia
tertawa terbahak-bahak, “Hahahaha…jangan kuatir Abu Nawas.”
Baginda
kemudian memerintahkan bendahara kerajaan memberikan sekantong uang
perak kepada Abu Nawas. Abu Nawas pun pulang dengan hati gembira.
Tetapi sesampai di rumahnya Abu Nawas masih bersikap aneh dan bahkan semakin nyentrik seperti orang gila sungguhan.
Pada suatu hari Raja Harun Al Rasyid mengadakan rapat dengan para menterinya.
“Apa pendapat kalian mengenai Abu Nawas yang hendak kuangkat sebagai kadi?”
Wazir
atau perdana menteri berkata, “Melihat keadaan Abu Nawas yang semakin
parah otaknya maka sebaiknya Tuanku mengangkat orang lain saja menjadi
kadi.”
Menteri-menteri yang lain juga mengutarakan pen dapat yang sama.
“Tuanku, Abu Nawas telah menjadi gila karena itu dia tak layak menjadi kadi.”
“Baiklah,
kita tunggu dulu sampai dua puluh satu hari, karena bapaknya baru saja
mati. Jika tidak sembuh-sembuh juga bolehlah kita mencari kadi yang lain
saja.”
Setelah
lewat satu bulan Abu Nawas masih dianggap gila, maka Sultan Harun Al
Rasyid mengangkat orang lain menjadi kadi atau penghulu kerajaan
Baghdad. Konon dalam suatu pertemuan besar ada seseorang bernama Polan
yang sejak lama berambisi menjadi k’adi. la mempengaruhi orang-orang di
sekitar Baginda untuk menyetujui jika ia diangkat menjadi Kadi, maka
tatkala la mengajukan dirinya menjadi Kadi kepada Baginda maka dengan
mudah Baginda menyetujuinya.
Begitu
mendengar Polan:diangkat menjadi kadi maka Abu Nawas mengucap syukur
kepada Tuhan. “Alhamdulillah….,…aku telah terlepas dari balak yang
mengerikan. Tapi….sayang sekali kenapa harus Polan yang menjadi Kadi,
kenapa tidak yang lain saja.”
Mengapa Abu Nawas bersikap seperti orang gila? Ceritanya begini:
Pada
suatu hari ketika ayahnya sakit parah dan hendak meninggal dunia ia
panggil Abu Nawas untuk menghadap. AbuNawas pun datang mendapati
bapaknya yang sudah lemah lunglai.
Berkata bapaknya,”Hai anakku, aku sudah hampir mati. Sekarang ciumlah telinga kanan dan telinga kiriku
Abu
Nawas segera rnenuruti permintaan bapaknya. la cium telinga kanan
bapaknya, berbau harum, sedangkan yang sebelah kiri berbau sangat busuk.
“Bagamaina anakku? Sudah kau cium?”
“Benar Bapak!”
“Ceritakankan dengan sejujurnya, baunya kedua telingaku ini.”
“Aduh
Pak, sungguh mengherankan, telinga Bapak yang sebelah kanan berbau
harum sekali. Tapi, yang sebelah kiri kok baunya amat busuk?”
“Hai anakku Abu Nawas tahukah apa bisa terjadi begini?”
“Wahai bapakku, cobalah ceritakan kepada anakmu ini,”
Berkata Syeikh Maulana. Pada sutu hari dating dua orang mengadukan masalahnya kepadaku. Yang
seorang aku dengarkan keluhannya. Tapi yang seorang: lagi karena aku tak suka maka tak kudengar pengaduannya. Inilah resiko menjadi Kadi (Penghulu). Jika kelak kau suka menjadi Kadi maka kau akan mengalami hal yang sama, namun jika kau tidak suka menjadi Kadi maka buatlah alasan yang masuk akal agar kau tidakpilih sebagai Kadi oleh Sultan Harun Al Rasyid. Tapi tak bisa tidak Sultan Harun Al Rasyid pastilah tetap memilihmu sebagai Kadi.”
seorang aku dengarkan keluhannya. Tapi yang seorang: lagi karena aku tak suka maka tak kudengar pengaduannya. Inilah resiko menjadi Kadi (Penghulu). Jika kelak kau suka menjadi Kadi maka kau akan mengalami hal yang sama, namun jika kau tidak suka menjadi Kadi maka buatlah alasan yang masuk akal agar kau tidakpilih sebagai Kadi oleh Sultan Harun Al Rasyid. Tapi tak bisa tidak Sultan Harun Al Rasyid pastilah tetap memilihmu sebagai Kadi.”
Nah,
itulah sebabnya Abu Nawas pura-pura menjadi gila. Hanya untuk
menghindarkan diri agar tidak diangkat menjadi kadi, seorang kadi atau
penghulu pada masa itu kedudukannya seperti hakim yang memutus suatu
perkara. Walaupun Abu Nawas tidak menjadi Kadi namun dia sering diajak
konsultasi oleh sang Raja untuk memutus suatu perkara. Bahkan ia kerap
kali dipaksa datang ke istana hanya sekedar untuk menjawab pertanyaan
Baginda Raja yang aneh-aneh dan tidak masuk akal.
Abu Nawas Adu Ketangkasan
Pada
suatu hari yang cerah, Raja Harun Alrasyid dan pengikutnya meninggalkan
istana untuk berburu. Namun di tengah perjalanan, Abu jahil menyusul
dengan terengah-engah di atas kudanya. “Baginda, Baginda! Hamba mau
mengusulkan sesuatu,” katanya setelah mendekat sang raja.
“Apa usulmu itu, Abu jahil?” tanya Baginda Raja keheranan.
“Agar
acara berburu ini menarik dan disaksikan banyak penduduk, bagaimana
kalau kita sayembarakan saja?” ujar Abu jahil dengan mimik serius.
Baginda terdiam sejenak dan mengangguk-angguk.
“Hamba
ingin beradu ketangkasan dengan Abu nawas, bagaimana Baginda?
Pemenangnya mendapat sepundi uang emas. Tapi kalau kalah, hukumannya
memandikan kuda-kuda istana, selama satu bulan,” tutur Abu jahil
meyakinkan sang raja.
“Hei, hadiah saja yang kau pikirkan. Lantas bagaimana caranya adu ketangkasan ini?” sela Baginda agak marah.
Setelah memberi tahu idenya, Baginda setuju, maka dipanggillah Abun awas oleh salah satu punggawa.
Abu
nawas menghadap. Ia pun diberi petunjuk panjang lebar oleh Baginda.
Pada awalnya Abu nawas menolak karena ia tahu semua ini akal bulus Abu
jahil yang ingin menyingkirkan dirinya dari istana. Tapi Baginda memaksa
dan Abunawas tidak bisa mengelak.
Abu
nawas pun berpikir sejenak. Ia tahu kalau Abu jahil sekarang diangkat
menjadi pejabat istana. Ia pasti mengerahkan semua anak buahnya untuk
menyumbang seekor binatang buruannya di hutan nanti. Namun karena
kecerdikannya, Abu nawas malah tersenyum riang. Abu jahil yang melihat
perubahan raut muka Abunawas menjadi penasaran. Batinnya berkata, tak
mungkin Abu nawas mengalahkan dirinya kali ini.
Akhirnya
Baginda menggiring mereka ke tengah alun-alun istana. Raja dan segenap
rakyat menunggu, siapa yang bakal memenangkan lomba berburu ini.
Terompet tanda mulai adu ketangkasan pun ditiup oleh Perdana Menteri.
Abu jahil segera memacu kudanya secepat kilat menuju hutan belantara, di
pinggir istana. Anehnya, Abu nawas memacu kudanya sedang-sedang saja,
sehingga diteriaki para penonton.
Menjelang
sore, tampak kuda Abu jahil memasuki pintu gerbang istana. Ia pun
diteriaki para penonton dan mendapat tepuk tangan meriah sekali. Di sisi
kiri-kanan kudanya tampak puluhan hewan yang mati terpanah. Tak hanya
itu, kuda tambahan juga memanggul binatang buruan lainnya. Abu jahil
dengan senyum bangga memperlihatkan semua binatang buruannya di tengah
lapangan.
“Aku,
Abu jahil, berhak memenangkan lomba ini. Lihat binatang buruanku
banyak, mana mungkin Abu nawas mengalahkanku!?” teriaknya lantang.
Penonton di sekitar arena semakin ramai bertepuk tangan.
Tidak
berapa lama, terdengar suara kaki kuda Abu nawas. Semua orang
menertawakan dan kembali meneriakinya. Tapi, Abu nawas tidak tampak
gusar. Ia malah tersenyum dan melambaikan tangan.
“Tenang,
tenang, rakyatku! Kita akan mengetahui apa yang akan dilakukan Abu
nawas. Dan kita juga akan tahu, siapa pemenangnya kali ini,” kata raja
yang ikut gusar melihat polah Abu nawas.
Baginda menyuruh dua orang punggawanya maju ke tengah lapangan dan menghitung binatang buruan Abu jahil.
“Satu,
dua, tiga, empat, lima…dua puluh, tiga puluh lima ekor kelinci,
ditambah lima ekor rusa, dan dua babi hutan!” teriak salah satu
punggawa.
“Kalau begitu akulah pemenangnya, sebab Abu nawas tidak membawa seekor binatang pun. Hahahaha,” teriak Abu jahil lantang.
“Tenang,
tenang. Aku membawa ribuan binatang. Jelaslah aku pemenangnya dan kau
Abu jahil, silakan memandikan kuda-kuda istana. Menurut aturan lomba,
semua binatang boleh ditangkap, yang penting jumlahnya,” kata Abu nawas
sambil membuka bambu kuning yang telah diisi ribuan semut merah.
“Sekarang coba hitung ini, satu, dua, tiga, empat, seratus, duaratus,
selebihnya tidak usah dihitung,” ungkap Abu nawas.
Tanpa
banyak berkata, Abu jahil tak sadarkan diri alias semaput gara-gara
melihat semut merah Abu nawas. Baginda tertawa terpingkal-pingkal dan
langsung memberi hadiah pada Abu nawas. Kecerdikan dan ketulusan hati
pasti bisa mengalahkan kelicikan!
Ehmm,,,
Hebat..
Berpikir jernih disaat suasana terdesak ..
Tak ada rotan akarpun jadi
ABU NAWAS DAN RAJA HARUN AR-RASYID
Pada
suatu hari Abu Nawas pergi ke pasar untuk berjumpa kawan-kawannya.
Keadaan pasar pada pagi itu sibuk dengan orang ramai yang sedang membeli
belah. di pasar Abu Nawas berkata “Hai kawan-kawanku, aku sangat benci
kepada yang hak dan sangat cinta kepada fitnah” dan beliau berkata lagi
“Aku sesungguhnya pada hari ini sangat kaya malah lebih kaya daripada
Allah”. Orang ramai yang mendengar ucapan Abu Nawas mulai rasa curiga
dan menuduh Abu Nawas sudah tidak siuman lagi karana semua orang sangat
mencintai kepada perkara yang hak dan membenci kepada fitnah dan
sesungguhnya Allah maha kaya dari sekalian makhlukNya.
Orang
ramai yang berada disitu telah menangkap Abu Nawas dan membawanya
mengadap Khalifah Harun Al-Rashid. Orang ramai memberi tahu Khalifah
Harun Al-Rashid tentang ucapan Abu Nawas di pasar tadi, Khalifah sangat
marah dengan kata-kata Abu Nawas. Oleh kerana Khalifah adalah seorang
pemerintah yang adil, baginda tidak terus menghukum Abu Nawas sehingga
beliau benar-benar pasti akan kebenaran kata-kata Abu Nawas. Khalifah
bertanya kepada Abu Nawas “Adakah benar kamu mengatakan bahawa kamu
sangat membenci kepada yang hak dan mencintai kepada fitnah?”.
“Benar wahai Amirul Mukminin” jawab Abu Nawas.
Khalifah bertanya lagi “Adakah benar kamu mengatakan bahawa kamu lebih kaya daripada Allah?”.
Jawab Abu Nawas “Benar wahai Amirul Mukminin”.
Khalifah
Harun Al-Rashid sangat marah kepada Abu Nawas kerana setahunya Abu
Nawas adalah seorang yang alim dan sentiasa bertakwa kepada Allah.
Khalifah berkata “Apakah yang telah terjadi kepada kamu?. Telah kafirkah
kamu kerana sanggup mengucapkan kata-kata tersebut?”. Abu Nawas
tersenyum dan berkata “Sabarlah wahai Amirul Mukminin, dengarlah dahulu
penjelasan hamba” “Apa yang kamu hendak jelaskan lagi, bukankah
kata-kata kamu sudah jelas dan nyata” jawab Khalifah. “Begini wahai
Amirul Mukminin” jawab Abu Nawas dan menyambungnya lagi “Aku sering
mendengar orang membaca talkin bahawa mati itu adalah hak dan neraka
adalah hak, bukankah mati dan neraka sangat dibenci oleh orang ramai”
“Saya rasa Amirul Mukminin juga membenci akan mati dan neraka sama
seperti saya membencinya” kata Abu Nawas. Khalifah Harun Al-Rashid
mengangguk-nganggukkan kepalanya menandakan kebenaran kata-kata Abu
Nawas.
“Bagaimana
pula dengan kata-kata mu bahwa kamu sangat mencintai kepada fitnah”
kata Khalifah. Jawab Abu Nawas “Anak dan Harta boleh membawa kepada
fitnah, tidak ada seorang pun yang membenci akan anak dan harta.
Khalifah sendiri sangat mencintai anak dan suka mengumpulkan harta”.
Khalifah sekali menganggukkan kepalanya sebagai menandakan kebenaran
kata-kata Abu Nawas.
Khalifah
Harun Al-Rahid bertanya lagi “Terangkan kepada ku bagimana kamu
mengatakan bahawa kamu lebih kaya daripada Allah”. Abu Nawas menjawab
dengan selamba “Saya mempunyai ramai anak sedangkan Allah tidak beranak
dan tidak diperanakkan”. Orang ramai yang berada disitu berasa lega dan
berpuas hati diatas penjelasan Abu Nawas. Mereka pun beredar dari situ
untuk meneruskan aktiviti masing-masing.
Khalifah
Harun Al-Rashid memberikah hadiah kepada Abu Nawas diatas
kebijaksanaannya dan berkata berkata kepada Abu Nawas “Apakah sebenarnya
yang menyebabkan kamu mengucapkan kata-kata tersebut di khalayak
ramai”. Abu Nawas menjawab bahwa dia ingin berjumpa dengan Amirul
Mukminin, hanya dengan cara itu sahajalah dia dapat berjumpa dengan
Amirul Mukmini.
Setelah berbual-bual dengan Khalifah Harun Al-Rashid, Abu Nawas memohon diri .
Ehm…
apakah kitabener2 seperti itu ???
Hai
kawan-kawanku, aku sangat benci kepada yang hak dan sangat cinta kepada
fitnah” dan beliau berkata lagi “Aku sesungguhnya pada hari ini sangat
kaya malah lebih kaya daripada Allah”. (versi pendapat abu nawas)
Ya begitulah sosok abu nawas tak bisa di tebak hehe…
HADIAH BAGI TEBAKAN JITU
Baginda Raja Harun Al Rasyid kelihatan murung. Semua menterinya tidak ada yang sanggup menemukan jawaban
dari dua pertanyaan Baginda. Bahkan para
penasihat kerajaan pun merasa tidak mampu memberi penjelasan yang memuaskan Baginda. Padahal Baginda
sendiri ingin mengetahui jawaban yang sebenarnya.
Mungkin karena amat penasaran, para penasihat Baginda menyarankan agar Abu Nawas saja yang memecahkan
dua teka-teki yang membingungkan itu. Tidak begitu lama Abu Nawas dihadapkan. Baginda mengatakan bahwa
akhirakhir ini ia sulit tidur karena diganggu oleh keingintahuan menyingkap dua rahasia alam.
"Tuanku yang mulia, sebenarnya rahasia alam yang manakah yang Paduka maksudkan?" tanya Abu Nawas ingin
tahu.
"Aku memanggilmu untuk menemukan jawaban dari dua teka-teki yang selama ini menggoda pikiranku." kata
Baginda.
"Bolehkah hamba mengetahui kedua teka-teki itu wahai Paduka junjungan hamba."
"Yang pertama, di manakah sebenarnya batas jagat raya ciptaan Tuhan kita?"
tanya Baginda.
"Di dalam pikiran, wahai Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas tanpa sedikit pun perasaan ragu, "Tuanku yang
mulia," lanjut Abu Nawas ’ketidakterbatasan itu ada karena adanya keterbatasan. Dan keterbatasan itu
ditanamkan oleh Tuhan di dalam otak manusia. Dari itu manusia tidak akan pernah tahu di mana batas jagat raya
ini. Sesuatu yang terbatas tentu tak akan mampu mengukur sesuatu yang tidak terbatas."
Baginda mulai tersenyum karena merasa puas mendengar penjelasan Abu Nawas yang masuk akal. Kemudian
Baginda melanjutkan teka-teki yang kedua.
"Wahai Abu Nawas, manakah yang lebih banyak jumlahnya : bintang-bintang di langit ataukah ikan-ikan di laut?"
"Ikan-ikan di laut." jawab Abu Nawas dengan tangkas.
"Bagaimana kau bisa langsung memutuskan begitu. Apakah engkau pernah menghitung jumlah mereka?" tanya
Baginda heran.
"Paduka yang mulia, bukankah kita semua tahu bahwa ikan-ikan itu setiap hari
ditangkapi dalam jumlah besar, namun begitu jumlah mereka tetap banyak
seolah-olah tidak pernah berkurang karena saking banyaknya. Sementara
bintang-bintang itu tidak pernah rontok, jumlah mereka juga banyak." jawab
Abu Nawas meyakinkan.
Seketika itu rasa penasaran yang selama ini menghantui Baginda sirna tak berbekas. Baginda Raja Harun Al Rasyid
memberi hadiah Abu Nawas dan istrinya uang yang cukup banyak.
Tidak seperti biasa, hari itu Baginda tiba-tiba ingin menyamar menjadi rakyat biasa. Beliau ingin menyaksikan
kehidupan di luar istana tanpa sepengetahuan siapa pun agar lebih leluasa bergerak.
Baginda mulai keluar istana dengan pakaian yang amat sederhana layaknya seperti rakyat jelata. Di sebuah
perkampungan beliau melihat beberapa orang berkumpul. Setelah Baginda mendekat, ternyata seorang ulama
sedang menyampaikan kuliah tentang alam barzah. Tiba-tiba ada seorang yang datang dan bergabung di situ, la
bertanya kepada ulama itu.
"Kami menyaksikan orang kafir pada suatu waktu dan mengintip kuburnya, tetapi kami tiada mendengar mereka
berteriak dan tidak pula melihat penyiksaan-penyiksaan yang katanya sedang dialaminya. Maka bagaimana cara
membenarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang dilihat mata?" Ulama itu berpikir sejenak kemudian ia
berkata,
"Untuk mengetahui yang demikian itu harus dengan panca indra yang lain.
Ingatkah kamu dengan orang yang sedang tidur? Dia kadangkala bermimpi
dalam tidurnya digigit ular, diganggu dan sebagainya. la juga merasa sakit dan
takut ketika itu bahkan memekik dan keringat bercucuran pada keningnya. la
merasakan hal semacam itu seperti ketika tidak tidur. Sedangkan engkau yang
duduk di dekatnya menyaksikan keadaannya seolah-olah tidak ada apa-apa.
Padahal apa yang dilihat serta dialaminya adalah dikelilirigi ular-ular. Maka
Jika masalah mimpi yang remeh saja sudah tidak mampu mata lahir
melihatnya, mungkinkah engkau bisa melihat apa yang terjadi di alam
barzah?"
Baginda Raja terkesan dengan penjelasan ulama itu. Baginda masih ikut mendengarkan kuliah itu. Kini ulama itu
melanjutkan kuliahnya tentang alam akhirat. Dikatakan bahwa di surga tersedia hal-hal yang amat disukai nafsu,
termasuk benda-benda. Salah satu benda-benda itu adalah mahkota yang amat luar biasa indahnya. Tak ada yang
lebih indah dari barang-barang di surga karena barang-barang itu tercipta dari cahaya. Saking ihdahnya maka satu
mahkota jauh lebih bagus dari dunia dan isinya. Baginda makin terkesan. Beliau pulang kembali ke istana.
Baginda sudah tidak sabar ingin menguji kemampuan Abu Nawas. Abu Nawas dipanggil: Setelah menghadap Bagiri
"Aku menginginkan engkau sekarang juga berangkat ke surga kemudian bawakan aku sebuah mahkota surga yang
katanya tercipta dari cahaya itu. Apakah engkau sanggup Abu Nawas?"
"Sanggup Paduka yang mulia." kata Abu Nawas langsung menyanggupi tugas yang mustahil dilaksanakan itu.
"Tetapi Baginda harus menyanggupi pula satu sarat yang akan hamba ajukan."
"Sebutkan sarat itu." kata Baginda Raja.
"Hamba mohon Baginda menyediakan pintunya agar hamba bisa memasukinya."
"Pintu apa?" tanya Baginda belum mengerti. Pintu alam akhirat." jawab Abu Nawas.
"Apa itu?" tanya Baginda ingin tahu.
"Kiamat, wahai Paduka yang mulia. Masing-masing alam mempunyai pintu. Pintu alam dunia adalah liang peranakan ibu. Pintu alam barzah adalah kematian. Dan pintu alam akhirat adalah kiamat. Surga berada di alam
akhirat. Bila Baginda masih tetap menghendaki hamba mengambilkan sebuah mahkota di surga, maka dunia harus kiamat teriebih dahulu."
Mendengar penjetasan Abu Nawas Baginda Raja terdiam.
sumber : http://kisahabunawas.wordpress.com/2009/01/08/hadiah-bagi-tebakan-
PEKERJAAN YANG MUSTAHIL
Baginda baru saja membaca kitab tentang kehebatan Raja Sulaiman yang mampu memerintahkan, para jin
memindahkan singgasana Ratu Bilqis di dekat istananya. Baginda tiba-tiba merasa tertarik. Hatinya mulai tergelitik
untuk melakukan hal yang sama. Mendadak beliau ingin istananya dipindahkan ke atas gunung agar bisa lebih
leluasa menikmati pemandangan di sekitar. Dan bukankah hal itu tidak mustahil bisa dilakukan karena ada Abu
Nawas yang amat cerdik di negerinya.
Abu Nawas segera dipanggil untuk menghadap Baginda Raja Harun Al Rasyid. Setelah Abu Nawas dihadapkan,
Baginda bersabda,
"Sanggupkah engkau memindahkan istanaku ke atas gunung agar aku lebih
leluasa melihat negeriku?" tanya Baginda.
Abu Nawas tidak langsung menjawab. la berpikir sejenak hingga keningnya berkerut. Tidak mungkin menolak perintah Baginda kecuali kalau memang ingin dihukum.
Akhirnya Abu Nawas terpaksa menyanggupi proyek raksasa itu. Ada satu lagi permintaan dari Baginda, pekerjaan itu harus selesai hanya dalam waktu sebulan.
Abu Nawas pulang dengan hati masgul. Setiap malam ia hanya berteman dengan rembulan dan bintang-bintang.
Hari-hari dilewati dengan kegundahan. Tak ada hari yang lebih berat dalam hidup Abu Nawas kecuali hari-hari ini.Tetapi pada hari kesembilan ia tidak lagi merasa gundah gulana.
Keesokan harinya Abu Nawas menuju istana. la menghadap Baginda untuk membahas pemindahan istana. Dengan senang hati Baginda akan mendengarkan, apa yang diinginkan Abu Nawas.
"Ampun Tuariku, hamba datang ke sini hanya untuk mengajukan usul untuk memperlancar pekerjaan hamba nanti." kata Abu Nawas.
"Apa usul itu?"
"Hamba akan memindahkan istana Paduka yang mulia tepat pada Hari Raya Idul Qurban yang kebetulan hanya kurang dua puluh hari lagi."
"Kalau hanya usulmu, baiklah." kata Baginda.
"Satu lagi Baginda….. " Abu Nawas menambahkan.
"Apa lagi?" tanya Baginda.
"Hamba mohon Baginda menyembelih sepuluh ekor sapi yang gemuk untuk dibagikan langsung kepada para fakir miskin." kata Abu Nawas.
"Usulmu kuterima." kata Baginda menyetujui.Abu Nawas pulang dengan perasaan riang gembira. Kini tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Toh nanti bila waktunya sudah tiba, ia pasti akan dengan mudah memindahkan istana Baginda Raja. Jangankan hanya memindahkan ke puncak gunung, ke dasar samudera pun Abu Nawas sanggup.
Desas-desus mulai tersebar ke seluruh pelosok negeri. Hampir semua orang
harap-harap cemas. Tetapi sebagian besar rakyat merasa yakin atas
kemampuan Abu Nawas. Karena selama ini Abu Nawas belum pernah gagal
melaksanakan tugas-tugas aneh yang dibebankan di atas pundaknya. Namun ada beberapa orang yang meragukan keberhasilan Abu Nawas kali ini.
Saat-saat yang dinanti-nantikan tiba. Rakyat berbondong-bondong menuju lapangan untuk melakukan salat Hari Raya Idul Qurban. Dan seusai salat, sepuluh sapi sumbangan Baginda Raja disembelih lalu dimasak kemudian segera dibagikan kepada fakir miskin.
Kini giliran Abu Nawas yang harus melaksanakan tugas berat itu. Abu Nawas berjalan menuju istana diikuti oleh rakyat. Sesampai di depan istana Abu Nawas bertanya kepada Baginda Raja,
"Ampun Tuanku yang mulia, apakah istana sudah tidak ada orangnya lagi?"
"Tidak ada." jawab Baginda Raja singkat.
Kemudian Abu Nawas berjalan beberapa langkah mendekati istana. la berdiri sambil memandangi istana. Abu
Nawas berdiri mematung seolah-olah ada yang ditunggu. Benar. Baginda Raja akhirnya tidak sabar.
"Abu Nawas, mengapa engkau belum juga mengangkat istanaku?" tanya Baginda Raja.
"Hamba sudah siap sejak tadi Baginda." kata Abu Nawas.
"Apa maksudmu engkau sudah siap sejak tadi? Kalau engkau sudah siap. Lalu apa yang engkau tunggu?" tanya Baginda masih diliputi perasaan heran.
"Hamba menunggu istana Paduka yang mulia diangkat oleh seluruh rakyat yang hadir untuk diletakkan di atas pundak hamba. Setelah itu hamba tentu akan memindahkan istana Paduka yang mulia ke atas gunung sesuai dengan titah Paduka."
Baginda Raja Harun Al Rasyid terpana. Beliau tidak menyangka Abu Nawas masih bisa keluar dari lubang jarum.
Sumber : http://kisahabunawas.wordpress.com/2008/12/29/pekerjaan-yang-mustahil
Abu Nawas dan Kisah Enam Ekor Lembu yang Pandai Bicara
Pada suatu hari, Sultan Harun al-Rasyid memanggil Abu Nawas menghadap ke Istana. Kali ini Sultan ingin menguji kecerdikan Abu Nawas. Sesampainya di hadapan Sultan, Abu Nawaspun menyembah.
Dan Sultan bertitah, “Hai, Abu Nawas, aku menginginkan enam ekor lembu berjenggot yang pandai bicara, bisakah engkau mendatangkan mereka dalam waktu seminggu? Kalau gagal, akan aku penggal
lehermu.
“Baiklah, tuanku Syah Alam, hamba junjung tinggi titah tuanku.”
Semua punggawa istana yang hadir pada saat itu, berkata dalam hati, “Mampuslah kau Abu Nawas!”
Abu Nawas bermohon diri dan pulang ke rumah. Begitu sampai di rumah, ia duduk berdiam diri merenungkan keinginan Sultan. Seharian ia tidak keluar rumah, sehingga membuat tetangga heran. Ia baru keluar rumah persis setelah seminggu kemudian, yaitu batas waktu yang diberikan Sultan kepadanya.
Ia segera menuju kerumunan orang banyak, lalu ujarnya, “Hai orang-orang muda, hari ini hari apa?”
Orang-orang yang menjawab benar akan dia lepaskan, tetapi orang-orang yang menjawab salah, akan ia tahan. Dan ternyata, tidak ada seorangpun yang menjawab dengan benar. Tak ayal, Abu Nawas pun marah-marah kepada mereka, “Begitu saja kok anggak bisa menjawab. Kalau begitu, mari kita
menghadap Sultan Harun Al-Rasyid, untuk mencari tahu kebenaran yang sesungguhnya.”
Keesokan harinya, balairung istana Baghdad dipenuhi warga masyarakat yang ingin tahu kesanggupan Abu Nawas mambawa enam ekor Lembu berjenggot.
Sampai di depan Sultan Harun Al-Rasyid, ia pun menghaturkan sembah dan duduk dengan khidmat.
Lalu, Sultan berkata, “Hai Abu Nawas, mana lembu berjenggot yang pandai bicara itu?” Tanpa banyak bicara, Abu Nawas pun menunjuk keenam orang yang dibawanya itu, “Inilah mereka, tuanku Syah Alam.”
“Hai, Abu Nawas, apa yang kau tunjukkan kepadaku itu?”
“Ya, tuanku Syah Alam, tanyalah pada mereka hari apa sekarang,” jawab Abu Nawas. Ketika Sultan bertanya, ternyata orang-orang itu memberikan jawaban berbeda-beda. Maka berujarlah Abu Nawas, “Jika mereka manusia, tentunya tahu hari ini hari apa. Apalagi jika tuanku menanyakan
hari yang lain, akan tambah pusinglah mereka. Manusia atau hewan kah mereka ini? “Inilah lembu berjenggot yang pandai bicara itu, Tuanku.”
Sultan heran melihat Abu Nawas pandai melepaskan diri dari ancaman hukuman. Maka Sultan pun memberikan hadiah 5.000 dinar kepada Abu Nawas.
Sumber : http://www.sufiz.com/kisah-abu-nawas/abu-nawas-dan-kisah-enam-ekor-lembu-yangpandai-bicara.html
ABU NAWAS DAN PENGEMIS YANG KEDINGINAN DALAM KOLAM
Ada seorang saudagar di Bagdad yang mempunyai sebuah kolam yang airnya terkenal sangat dingin.
Konon tidak seorangpun yang tahan berendam didalamnya berlama-lama, apalagi hingga separuh malam.
“Siapa yang berani berendam semalam di kolamku, aku beri hadiah sepuluh ringgit,” kata saudagar itu.
Ajakan
tersebut mengundang banyak orang untuk mencobanya. Namun tidak ada yang
tahan semalam, paling lama hanya mampu sampai sepertiga malam.
Pada
suatu hari datang seorang pengemis kepadanya. “Maukah kamu berendam di
dalam kolamku ini semalam? Jika kamu tahan aku beri hadiah sepuluh
ringgit,” kata si saudagar.
“Baiklah
akan kucoba,” jawab si pengemis. Kemudian dicelupkannya kedua tangan
dan kakinya ke dalam kolam, memang air kolam itu dingin sekali. “Boleh
juga,” katanya kemudian.
“Kalau begitu nanti malam kamu bisa berendam disitu,” kata si saudagar.
Menanti datangnya malam si pengemis pulang dulu ingin memberi tahu anak istrinya mengenai rencana berendam di kolam itu.
“Istriku,”
kata si pengemis sesampainya di rumah. “Bagaimana pendapatmu bila aku
berendam semalam di kolam saudagar itu untuk mendapat uang sepuluh
ringgit? Kalau kamu setuju aku akan mencobanya.”
“Setuju,” jawab si istri, “Moga-moga Tuhan menguatkan badanmu.”
Kemudian
pengemis itu kembali ke rumah saudagar. “Nanti malam jam delapan kamu
boleh masuk ke kolamku dan boleh keluar jam enam pagi,” kata si
saudagar, “Jika tahan akan ku bayar upahmu.”
Setelah
sampai waktunya masuklah si pengemis ke dalam kolam, hampir tengah
malam ia kedinginan sampai tidak tahan lagi dan ingin keluar, tetapi
karena mengharap uang upah sepuluh ringgit, ditahannya maksud itu sekuat
tenaga. Ia kemudian berdoa kepada Tuhan agar airnya tidak terlalu
dingin
lagi. Ternyata doanya dikabulkan, ia tidak merasa kedinginan lagi.
Kira-kira jam dua pagi anaknya datang menyusul. Ia khawatir
jangan-jangan bapaknya mati kedinginan. Hatinya sangat gembira ketika
dilihat bapaknya masih hidup. Kemudian ia menyalakan api di tepi kolam
dan menunggu sampai pagi.
Siang
harinya pengemis itu bangkit dari kolam dan buru-buru menemui si
saudagar untuk minta upahnya. Namun saudagar itu menolak membayar, “Aku
tidak mau membayar, karena anakmu membuat api di tepi kolam, kamu pasti
tidak kedinginan.” Namun si pengemis tidak mau kalah, “Panas api itu
tidak sampai ke badan saya, selain apinya jauh, saya kan berendam di
air, masakan api bisa masuk ke dalam air?”
“Aku
tetap tidak mau membayar upahmu,” kata saudagar itu ngotot. “Sekarang
terserah kamu, mau melapor atau berkelahi denganku, aku tunggu.”
Dengan
perasaan gondok pengemis itu pulang ke rumah, “Sudah kedinginan
setengah mati, tidak dapat uang lagi,” pikirnya. Ia kemudian mengadukan
penipuan itu kepada seorang hakim. Boro-boro pengaduannya di dengar,
Hakim itu malahan membenarkan sikap sang saudagar. Lantas ia berusaha
menemui orang-orang besar lainnya untuk diajak bicara, namun ia tetap
disalahkan juga. “Kemana
lagi aku akan mengadukan nasibku ini,” kata si pengemis dengan nada
putus asa. “Ya Allah, engkau jugalah yang tahu nasib hamba-Mu ini,
mudah-mudahan tiap-tipa orang yang benar engkau menangkan.” Doanya dalam
hati.
Ia
pun berjalan mengikuti langkah kakinya dengan perasaan yang semakin
dongkol. Dengan takdir Allah ia bertemu dengan Abu Nawas di sudut jalan.
“Hai,
hamba Allah,” Tanya Abu Nawas, ketika melihat pengemis itu tampak
sangat sedih. “mengapa anda kelihatan murung sekali? Padahal udara
sedemikian cerah.”
“Memang
benar hamba sedang dirundung malang,” kata si pengemis, lantas
diceritakan musibah yang menimpa si pengemis sambil mengadukan nasibnya.
“Jangan
sedih lagi,” kata Abu Nawas ringan. “Insyaallah aku dapat membantu
menyelesaikan masalahmu. Besok datanglah ke rumahku dan lihatlah caraku,
niscaya kamu menang dengan izin Allah.”
“Terima
kasih banyak, anda bersedia menolongku,” kata si pengemis. Lantas
keduanya berpisah. Abu Nawas tidak pulang ke rumah, melainkan menghadap
Baginda Sultan di Istana. “Apa kabar, hai Abu Nawas?” sapa Baginda
Sultan begitu melihat batang hidung Abu Nawas. “Ada masalah apa gerangan
hari ini?”
“Kabar
baik, ya Tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas. “jika tidak keberatan
patik silahkan baginda datang kerumah patik, sebab patik punya hajat.”
“Kapan aku mesti datang ke rumahmu?” tanya baginda Sultan.
“Hari Senin jam tujuh pagi, tuanku,” jawa Abu Nawas.
“Baiklah,” kata Sultan, aku pasti datang ke rumahmu.”
Begitu
keluar dari Istana, Abu Nawas langsung ke rumah saudagar yang punya
kolam, kemudian ke rumah tuan hakim dan pembesar-pembesar lainnya yang
pernah dihubungi oleh si pengemis. Kepada mereka Abu Nawas menyampaikan
undangan untuk datang kerumahnya senin depan.
Hari
senin yang ditunggu, sejak jam tujuh pagi rumah Abu Nawas telah penuh
dengan tamu yang diundang, termasuk baginda Sultan. Mereka duduk di
permadani yang sebelumnya telah di gelar oleh tuan rumah sesuai dengan
pangkat dan kedudukan masing-masing. Setelah semuanya terkumpul, Abu
Nawas mohon kepada sultan untuk pergi kebelakang rumah, ia kemudian
menggantung sebuah periuk besar pada sebuah pohon, menjerangnya –
menaruh di atas api.
Tunggu
punya tunggu, Abu Nawas tidak tampak batang hidungnya, maka Sultan pun
memanggil Abu Nawas, “kemana gerangan si Abu Nawas, sudah masakkah
nasinya atau belum?” gerutu Sultan. Rupanya gerutuan Sultan di dengar
oleh Abu Nawas, ia pun menjawab, “Tunggulah sebentar lagi, tuanku Syah
Alam.”
Baginda
pun diam, dan duduk kembali. Namun ketika matahari telah sampai ke
ubun-ubun, ternyata Abu Nawas tak juga muncul dihadapan para tamu. Perut
baginda yang buncit itu telah keroncongan.
“Hai Abu Nawas, bagaimana dengan masakanmu itu? Aku sudah lapar, kata Baginda. “Sebentar lagi, ya Syah Alam,” sahut tuan rumah.
Baginda
masih sabar, ia kemudian duduk kembali, tetapi ketika waktu dzuhur
sudah hampir habis tak juga ada hidangan yang keluar, baginda tak sabar
lagi, ia pun menyusul Abu Nawas dibagian belakang rumah, di ikuti
tamu-tamu lainnya. Mereka mau tahu apa sesungguhnya yang dikerjakan tuan
rumah, ternyata Abu Nawas sedang mengipa-ngipas api di tungkunya. “Hai Abu Nawas, mengapa kamu membuat api di bawah pohon seperti itu? Tanga baginda Sultan.
Abu
Nawas pun bangkit, demi mendengar pernyataan baginda. “Ya tuanku Syah
Alam, hamba sedang memasak nasi, sebentar lagi juga masak,” jawabnya.
“Menanak nasi?” tanya baginda, “Mana periuknya?”
“Ada, tuanku,” jawab Abu nawas sambil mengangkat mukanya ke atas.
“Ada?”
tanya beginda keheranan. “Mana?” ia mendongakkan mukanya ke atas
mengikuti gerak Abu Nawas, tampak di atas sana sebuah periuk besar
bergantung jauh dari tanah.
“Hai,
Abu Nawas, sudah gilakah kamu?” tanya Sultan. “Memasak nasi bukan
begitu caranya, periuk di atas pohon, apinya di bawah, kamu tunggu
sepuluh hari pun beras itu tidak bakalan jadi nasi.”
“Begini,
Baginda,” Abu Nawas berusaha menjelaskan perbuatannya. “Ada seorang
pengemis berjanji dengan seorang saudagar, pengemis itu disuruh berendam
dalam kolam yang airnya sangat dingin dan akan diupah sepuluh ringgit
jika mampu bertahan satu malam. Si pengemis setuju karena mengharap upah
sepuluh ringgit dan berhasil melaksanakan janjinya. Tapi si saudagar
tidak mau membayar, dengan alasan anak si pengemis membuat api di
pinggir kolam.” Lalu semuanya diceritakan kepada Sultan lengkap dengan
sikap tuan hakim dan para pembesar yang membenarkan sikap si saudagar.
“Itulah sebabnya patik berbuat seperti ini.”
“Boro-boro nasi itu akan matang,” kata Sultan, “Airnya saja tidak bakal panas, karena apinya terlalu jauh.”
“Demikian
pula halnya si pengemis,” kata Abu Nawas lagi. “Ia di dalam air dan
anaknya membuat api di tanah jauh dari pinggir kolam. Tetapi saudagar
itu mengatakan bahwa si pengemis tidak berendam di air karena ada api di
pinggir kolam, sehingga air kolam jadi hangat.”
Saudagar
itu pucat mukanya. Ia tidak dapat membantah kata-kata Abu Nawas. Begitu
pula para pembesar itu, karena memang demikian halnya.
“Sekarang
aku ambil keputusan begini,” kata Sultan. “Saudagar itu harus membayar
si pengemis seratus dirham dan di hukum selama satu bulan karena telah
berbuat salah kepada orang miskin.
Hakim dan orang-orang pembesar di hukum empat hari karena berbuat tidak adil dan menyalahkan orang yang benar.”
Saat
itu juga si pengemis memperoleh uangnya dari si saudagar. Setelah
menyampaikan hormat kepada Sultan dan memberi salam kepada Abu Nawas, ia
pun pulang dengan riangnya. Sultan kemudian memerintah mentrinya untuk
memenjarakan saudagar dan para pembesar sebelum akhirnya kembali
ke Istana dalam keadaan lapar dan dahaga.
Akan halnya Abu Nawas, ia pun sebenarnya perutnya keroncongan dan kehausan.
Abu Nawas dan Menteri yang Zalim
Di Negeri Baghdad dahulu kala ada seorang menteri yang dikenal sangat jahat perangainya, sehingga ditakuti warganya. Ia tidak bisa melihat perempuan cantik, terutama istri orang, pasti diambilnya. Apabila membeli suatu barang, ia tidak pernah mau membayar. Ihwal itu lama kelamaan sampai juga ke telinga Abu Nawas sehingga membuat hatinya panas. Maka Abu Nawas pun pasang niat tidak akan meninggalkan daerah itu sebelum sang menteri menghembuskan nafas
terakhir alias mati.
Kemudian
Abu Nawas berangkat ke tempat menteri itu tinggal dan sengaja menyewa
rumah yang berdekatan untuk melakukan investigasi. Setelah beberapa hari
bergaul dengan penduduk di situ, ia pun kenal dengan sang menteri dan
bahkan bersahabat baik. Begitu baiknya pendekatan yang dilakukan
sampai-sampai menteri itu tidak bisa mencium rencana busuk Abu Nawas.
Abu Nawas boleh masuk dan keluar rumah itu dengan bebas, sehingga ia
tidak menaruh curiga sama sekali kepadanya.
Di
dalam rumah itu Abu Nawas melihat sebuah tiang gantungan yang digunakan
untuk menggantung orang-orang yang bersalah kepada menteri itu. Cara
menggantungnya pun dengan cara yang sadis, yaitu kaki di atas dan kepala
di bawah. Dalam posisi demikian, orang itu dipukuli sampai mati.
“Dengan
demikian memang betul berita-berta yang aku dengar tentang menteri
ini,” pikir Abu Nawas. “Nantikanlah, aku pasti akan membalas.”
“Hai
orang muda,” kata Abu Nawas, kepada seorang pemuda tampan yang sedang
menggiringseekor lembu gemuk. “Apakah lembu itu akan dijual?” Pertemuan
itu terjadi ketika Abu Nawas berjalan-jalan di sebuah sudut desa itu.
“Lembu ini tidak dijual,” jawab si pemuda, “Karena ini warisan bapak hamba.”
“Lebih
baik lembu itu dijual saja,” Abu Nawas mencoba merayu. “Kalau laku
dengan harga tinggi, kamu bisa berdagang sehingga uang itu menjadi
banyak.”
“Betul
juga kata Tuan,” jawab si pemuda setelah berpikir sejenak. “Namun untuk
menjualnya hamba harus berkonsultasi dengan ibu di rumah, kalau ibu
setuju boleh tuan membelinya.”
“Itu
akan lebih baik,” Ujar Abu Nawas. Sementara anak muda itu pulang, Abu
Nawas memeras otak, ia akan berusaha memanfaatkan ketampanan wajah anak
muda itu untuk melaksanakan rencananya.
“Hai menteriku, tunggulah bagianmu kelak,” kata Abu Nawas dalam hati dengan perasaan geram.
“Ibu setuju menjual lembu ini,” kata pemuda itu kepada Abu Nawas, setelah keduanya bertemu lagi.
“Bagus,”
kata Abu Nawas, “Tetapi sebenarnya bukan aku yang akan membeli lembumu,
melainkan menteri yang zalim itu. Oleh karena itu berikan harga yang
pasti, sesudah itu kita membuat perjanjian dan kamu yang akan
melaksanakannnya. “Setuju?” Tanya Abu Nawas. “Setuju!” jawab si pemuda.
“Giringlah
lembumu itu ke kebun, dan tunggulah aku di sana,” kata Abu Nawas. “Aku
akan ke rumah menteri itu dan setelah itu aku menemuimu.”
“Hai
menteri, ada seorang pemuda yang akan menjual seekor lembu gemuk,” kata
Abu Nawas. “Jika Anda tertarik, silahkan anda beli dengan harga yang
pantas, tidak mahal, mari kita ke kebun itu.”
“Berapa harganya?” tanya si menteri begitu sampai di kebun. Ia sangat tertarik dan ingin segera membelinya.
“Lima
puluh dinar,” jawab si pemuda. “Boleh ditawar?” tanya si menteri.
“Tidak bisa, karena lembu ini warisan bapak hamba,” jawab si pemuda.
“Baik,
pasti kebayar harga itu,” ujar si menteri. Maka disodorkan ujung tali
pengikat lembu kepada menteri, namun ketika ditarik ternyata kosong.
Rupanya diam-diam Abu Nawas telah melepas binatang itu, namun karena
harga telah disepakati, pemuda itu meminta bayarannya.
“Mana lembunya?” tanya si menteri. “Masa hanya talinya? Aku tidak sudi membayar.”
Keduanya
pun berbantah-bantahan dengan sengitnya. “Aku minta bayarannya,” kata
si pemuda. “Kalau tidak mau bayar, kembalikan lembuku.”
“Apa yang mesti kubayar, dan apa yang harus kukembalikan,” kilah si menteri.
“Cuma tali yang kau berikan kepadaku … Nih, ambillah, aku tidak butuh tali.”
“Kerjamu memang cuma menipu dan menganiaya orang!” kata si pemuda lagi. “Kamu memang zalim, mau makan darah orang kecil.”
Si
menteri tidak menggubris lagi perkataan itu, ia berjalan pulang
kerumahnya. Sementar si anak muda hatinya sangat sedih, lembu hilang,
uang melayang. “Barangkali memang itulah nasibku. Apa boleh buat,”
keluhnya.
“Sudahkah kamu menerima pembayaran harga lembumu?” tanya Abu Nawas kepada anak muda pada malam harinya.
“Hamba diperdaya menteri itu,” jawab si pemuda dengan wajah nelangsa. “Lembu hilang, uang melayang.”
“Coba ceritakan kata Abu Nawas. “Aku kira jual beli berjalan lancar sehingga aku cepat-cepat pergi karena ada urusan lain.”
Maka diceritakanlah kejadian itu dengan nada mendongkol. “Sialan menteri itu,” ujar si pemuda.
“Oh
begitu, kata Abu Nawas. “Jangan sedih, Insya Allah aku akan membantu.”
Kemudian Abu Nawas minta si pemuda bersedia melaksanakan rencana yang
telah disusunnya untuk membunuh si menteri zalim itu.
Keesokan
harinya jam tujuh malam seorang wanita cantik berhenti di depan rumah
si menteri zalim, ia tampak membuang sesuatu yang dicabut dari kakinya.
“Hai Adinda, dari mana gerangan asalmu?” tiba-tiba muncul suara dari sudut yang
gelap.
Suara itu ternyata milik menteri yang saat itu juga sedang
berjalan-jalan di depan rumahnya. Hatinya amat girang begitu melihat
wajah cantik yang tiba-tiba muncul di depan matanya.
“Hamba
orang desa, tadi ketika berjalan bersama suami, kaki hamba tertusuk
duri. Hamba terpaksa berhenti untuk menarik duri dari kaki, suami hamba
tidak mau menunggu dan hamba ditinggal di sini.
Hamba tidak tahu jalan pulang ke rumah,” kata si perempuan itu dengan penuh iba, lalu ia pun menangis.
“Jika
Adinda mau, silahkan mampir ke rumah hamba sambil menunggu suami
Adinda. Barangkali dia sekarang sedang mencari Adinda,” kata si menteri.
“Jangan takut.”
“Hamba takut kepada istri dan pelayan-pelayan tuan,” kata perempuan muda itu.
“Kalau
begitu, silahkan Adinda duduk di sini, Kanda akan menyuruh istri pergi
ke rumah ibunya bersama pelayan-pelayan itu,” kata si menteri. Maka sang
menteri pun tergopoh-gopoh masuk ke rumahnya.
“Hai
Adinda, katanya, “Sekarang ini sebaiknya Adinda pergi ke rumah ibu
karena sudah lama rasanya Adinda tidak kesana.” “Jika demikian kehendak
Kakanda, baiklah hamba kesana,” jawab istri si menteri.
“Hai
Adinda, kata si menteri kepada perempuan muda itu setelah rumah kosong.
“Silahkan masuk ke rumah hamba, karena istri dan semua pelayan telah
pergi.”
“Baiklah, katanya sambil mengikuti langkah si menteri. Di dalam rumah dilihatnya
tali gantungan seperti yang diceritakan Abu Nawas. Menteri itu mendorong si
perempuan muda ke kamar dan mengajak tidur, namun ia mencoba menolak sambil
merajuk.
“Sebelum
kita tidur, cobalah Kakanda bergantung sebentar pada tali itu,”
rayunya. “Seumur hidup hamba belum pernah melihat orang bergantung
ditali.”
Karena
terdorong oleh nafsu syahwat yang menggelora, permintaan itu dituruti
si menteri. “Tolong Adinda pegang tali gantungan ini kuat-kuat, jangan
dilepaskan,” katanya.
Menteri
itu kemudian memasukkan badannya kedalam tali gantungan, setelah itu si
perempuan gadungan melepaskan tali yang dipegangnya sehingga badan si
menteri menggantung dengan posisi kaki di atas dan kepala di bawah. Si
perempuan pun mengeluarkan sebuah pentungan lalu memukul
badan
dan kepala si menteri zalim itu sambil berujar. “Hai menteri zalim, aku
bukan perempuan, akulah pemilik lembu yang kau tipu, sekarang terimalah
pembalasanku. Aku minta harga lembuku, ayo bayar… bayar” Bak – Bik –
Buk… darah segar mengalir dari mulut, hidung dan telinga menteri itu,
sehingga ia tidak sadarkan diri. “Mampuslah kau,” teriak si pemuda.
Mengira
bahwa si menteri sudah mati, masuklah perempuan palsu itu ke dalam
rumah, dan menjarah barang-barang yang ada, sesudah itu barulah ia
pulang dengan menggondol harta kekayaan si menteri Zalim
Di
tempat lain si istri menteri mendapat firasat buruk, hatinya
berebar-debar keras. “Ada apa gerangan di rumahku?” pikirnya dalam hati,
maka dengan bergegas pulanglah ia ke rumah.
Setiba
di rumah ia menjerit-jerit histeris lantaran dilihatnya suaminya
tergantung pingsan dengan kepala berdarah dan harta bendanya ludes.
Ketika tali gantungan dilepas, ternyata suaminya masih bernafas, meski
terengah-engah. Kemudian dipercikkan air mawar ke sekujur tubuhnya dan
kepala menteri hingga siuman dan membuka matanya.
“Ya Kakanda……” ucap si istri sambil menangis meratapi nasib suaminya. “Kenapa Kanda bisa begini?”
Si
menteri tidak bisa segera menjawab pertanyaan itu, tapi lambat laun
setelah kesadarannya mulai pulih ia pun bisa menceritakan semua yang
dialaminya. Setelah itu ia jatuh sakit.
Abu Nawas khawatir demi mendengar kabar itu, buru-buru ditemui si anak muda itu di rumahnya.
“Mengapa
tidak kamu matikan dia?” tanya Abu Nawas. “Bukankah aku sudah pesan,
jangan kamu tinggal sebelum dia mati. Sekarang sebaiknya kamu tambah
penyakit menteri itu supaya mati.
“Bagaimana caranya?” tanya si pemuda, ia tidak kalah khawatir dengan Abu Nawas.
“Berpura-puralah menjadi dukun, karena saat ini menteri itu sedang mencari dukun, kata Abu Nawas.
“Selanjutnya
usahakan dengan caramu sendiri agar rumah itu kosong, dan setelah
kosong pukulilah menteri itu sampai mati, sebelum mati, jangan kamu
tinggalkan dia.” Esok harinya datanglah seorang kakek tua bertongkat ke
rumah menteri itu, ia memakai jubah panjang dan serban putih dengan
langkah terbungkuk-bungkuk.
“Tuan, tanya seorang pelayan menteri itu, siapakah tuan ini?
“Aku
ini dukun,” jawabnya, “Kenapa kamu menyapa aku di tengah jalan seperti
ini, tidak sopan berbuat seperti itu kepada orang tua.”
“Maaf,”
kata si pelayan, “Hamba pelayan menteri, beliau saat ini sedang sakit
dan perlu dukun, jika tuan suka, silahkan masuk ke rumahnya.” “Ya tuan
dukun, obatilah hamba ini,” kata si menteri itu setelah dukun palsu itu
duduk di samping pembaringannya. “Hamba sakit…” lama-kelamaan suaranya
hilang.
“Moga-moga
hamba bisa mengobati tuan,” jawab si dukun. “Tapi bisakah
pelayan-pelayan itu disuruh mencari daun kayu lengkap dengan akarnya.
Daun itu memang sulit dicari tetapi banyak gunanya untuk penyembuhan
tuan.”
Menteri
itu kemudian menyuruh tiga orang pelayan untuk memenuhi permintaan
dukun. Tak lama kemudian dukun itu berkata lagi, “Maaf, hamba lupa,
adalagi daun kayu yang lain yang hamba butuhkan. Tolong pelayan yang
lain disuruh mencari.” Maka menteri itu pun menyuruh pelayan lainnya
sehingga
rumah itu kosong karena anak dan istri menteri itu sabelumnya sudah
pergi ke luar rumah. Setelah yakin bahwa rumah itu kosong, diambil
sebuah pentungan dan dipukulnya sekujur badan
menteri
itu sampai babak belur dan mengeluarkan darah dari hidung, telinga dan
mulunya. “Hai menteri, aku bukan dukun, tapi pemilik lembu yang kamu
tipu. Mana bayaranmu!” katanya. Menteri itu pingsan dan tidak bernafas
lagi. Dikiranya si menteri sudah mati, cepat-cepat dukun itu pergi,
karena khawatir para pelayan itu segera kembali. “Puas hatiku karena
menteri itu sudah mati,”
pikir si dukun palsu. Kira-kira satu jam kemudian para pelayan itu kembali dengan tangan hampa diikuti oleh istri menteri.
Mereka
cemas melihat tuannya tergeletak dan dukun itu tidak ada lagi. Lalu
istri menteri itu menyiram badan suaminya dengan air mawar yang
diminumkan seteguk ke mulutnya. Tak lama kemudian menteri itu sadar
namun belum bisa bicara.
“Ya
istriku, orang itu bukan dukun, tetapi yang punya lembu itu juga,” kata
si menteri setelah sadar. “Panggil orang-orang alim dan kabarkan kepada
mereka bahwa aku sudah mati. Masukkan badanku ke dalam keranda bersama
sekerat batang pisang yang dibungkus kain putih sebagaimana mayat
laiknya. Tetapi yang dimasukkan ke liang lahat nanti adalah batang
pisang tadi, sedang badanku tetap dalam keranda dan dibawa pulang
kembali. Dengan demikian orang yang punya lembu itu tidak akan datang
lagi kemari. Kapan-kapan bila aku sembuh akan kucari orang itu untuk
membuat perhitungan terakhir.”
Semua
pesan itu dikerjakan oleh istri menteri itu dengan baik. Tetap dasar
Abu Nawas, ia berhasil mencium akal busuk itu. Maka ditemuinya si
pemilik lembu. “Kenapa tidak kamu pukul sampai mati menteri itu?”
bertanya Abu Nawas.
“Orang
itu sudah mati,” kata si pemuda. “Ia tidak bergerak dan tidak bernafas
lagi, karena darah keluar dari hidung dan telinganya.”
“Saat
ini menteri itu masih hidup tapi pura-pura mati,” kata Abu Nawas. Lalu
diceritakannya rencana menteri tadi dan rencananya sendiri agar menteri
itu benar-benart mati, sebab jika ia masih hidup juga aku tidak dapat
menjamin nasibmu kelak,”
“Hai
saudara, maukan Anda aku bayar untuk menaiki kuda yang cepat larinya?”
kata Abu Nawas kepada seorang joki yang berbadan tinggi tegap, dekatilah
kuburan menteri itu, jika jenazah sudah sampai ke liang kubur,
berteriaklah keras-keras, “Akulah pemilik lembu”, kemudian paculah
kudamu sekencang-kencangnya. “Setuju?” “Nah, ini uangnya, pergilah.”
Esok
harinya iring-iringan jenazah menteri itu berangkat dari rumah lengkat
dengan orang besar, orang alim, sanak keluarga, dan sahabat almarhum.
Begitu sampai dekat liang lahat, terdengar teriakan
“Akulah pemilik lembu”.
Suasana
di kuburan menjadi kacau, karena para pelayat kemudian berlarian ingin
mengejar orang yang berteriak tadi. Namun apa lacur, orang yang dikejar
sudah kabur dengan kudanya, sementara keranda ditinggal tidak terurus.
Pada saat itulah si pemuda pemilik lembu yang sebenarnya muncul.
Rupanya
ia ikut dalam barisan pelayat. “Hai menteri, akulah pemilik lembu yang
kamu tipu, sekarang saatnya kamu harus membayar lunas utangmu. Tidak
akan kubiarkan nyawamu tetap bersarang di badanmu.” Lalu di pukulnya
menteri itu sekuat tenaga hingga benar-benar mati. Setelah itu ia pulang
ke rumah. Akan halnya joki tadi, akhirnya ia terkejar dan tertangkap dan kemudian dibawa ke kuburan menteri.
Upacara
pemakaman yang tadinya hanya pura-pura menjadi upacara sungguhan karena
menteri yang diusung di dalam keranda itu benar-benar mati, badannya
hancur dan tidak bernafas lagi tanpa diketahui siapa pelakunya. Hal itu
mengagetkan seluruh pelayat.
Setelah
itu orang-orang pulang ke rumah masing-masing dengan hati masygul dan
heran. Sedangkan si joki dibawa oleh anak-anak menteri kerumahnya. “Apa
sebab kamu berteriak dan mengaku sebagai orang yang punya lembu?” tanya
mereka.
“Aku tidak tahu sebabnya, aku hanya diupah untuk berteriak seperti itu,” jawab si joki.
“Siapa yang mengupah kamu?” Tanya anak-anak meteri. “Abu Nawas,” jawab si joki.
“Hai
Abu Nawas,” kata anak menteri setelah menemukan Abu Nawas, kenapa kamu
mengupah untuk berteriak seperti itu dan menganiaya bapakku?”
“Menganiaya bapakmu?” Abu Nawas balik bertanya. “Bertanyalah yang benar.”
“Engkau suruh orang itu berteriak mengaku sebagai orang yang punya lembu, maka kami kejar dia,
karena yang menyebabkan bapakku sakit tiada lain adalah orang yang punya lembu, bukan dari Allah.
“Oh
begitu,” kata Abu Nawas sambil senyum kecil. “Jadi kamu tidak tahu
bahwa orang yang punya lembu itu sudah ditakdirkan Allah untuk berbuat
demikian karena bapakmu terlalu zalim, penipu, penganiaya, pengisap
darah orang kecil, dan sebagainya. Rasanya tidak usah diperpanjang
masalah ini,
yang akan membuatmu malu besar, lebih baik kamu doakan saja agar bapakmu diampuni Allah.”
Anak
menteri itu terdiam, sebab ia tahu semua perbuatan bapaknya.
“Barangkali memang demikian takdir bapakku,” pikirnya dalam hati sambil
berjalan pulang ke rumah.
Warga
kota itu – termasuk orang yang punya lembu – merasa senang dan tenang
hatinya karena tidak ada lagi orang yang akan berbuat zalim.
Sedangkan
Abu Nawas segera kembali ke rumahnya. “Niatku sudah terlaksana,”
pikirnya. “Siapa tahu barangkali Khalifah Harun Al-Rasyid sedang menanti
kedatanganku ke istana beliau, lagi pula aku juga sudah sangat rindu
kepada Baginda Sultan.”
Keabunawasan {Semuanya “J” }
Satu hari Sultan merasa sungguh “boring n bete abis”, jadi dia
Tanya Bendahara, “Bendahara, siapa paling pandai saat ini?”
“Abunawas” jawab Bendahara.
Sultan pun manggil Abunawas n baginda bertitah :
“Kalau kamu pandai, coba buat satu cerita seratus kata tapi setiap kata mesti dimulai dengan huruf ‘J’. Terperanjat Abunawas, tapi setelah berfikir, diapun mulai bercerita:
Tanya Bendahara, “Bendahara, siapa paling pandai saat ini?”
“Abunawas” jawab Bendahara.
Sultan pun manggil Abunawas n baginda bertitah :
“Kalau kamu pandai, coba buat satu cerita seratus kata tapi setiap kata mesti dimulai dengan huruf ‘J’. Terperanjat Abunawas, tapi setelah berfikir, diapun mulai bercerita:
Jeng Juminten janda judes, jelek jerawatan, jari jempolnya jorok. Jeng juminten jajal jualan jamu jarak jauh Jogya-Jakarta. Jamu
jagoannya: jamu jahe. “Jamu-jamuuu…, jamu jahe-jamu jaheee…!”
Juminten jerit-jerit jajakan jamunya, jelajahi jalanan.
jagoannya: jamu jahe. “Jamu-jamuuu…, jamu jahe-jamu jaheee…!”
Juminten jerit-jerit jajakan jamunya, jelajahi jalanan.
Jariknya jatuh, Juminten jatuh jumpalitan. Jeng Juminten
jerit-jerit: “Jarikku jatuh, jarikku jatuh…” Juminten jengkel,
jualan jamunya jungkir-jungkiran, jadi jemu juga.
jerit-jerit: “Jarikku jatuh, jarikku jatuh…” Juminten jengkel,
jualan jamunya jungkir-jungkiran, jadi jemu juga.
Juminten jumpa Jack, jejaka Jawa jomblo, juragan jengkol, jantan,
juara judo. Jantungnya Jeng Juminten janda judes jadi jedag-jedug.
Juminten janji jera jualan jamu, jadi julietnya Jack.
juara judo. Jantungnya Jeng Juminten janda judes jadi jedag-jedug.
Juminten janji jera jualan jamu, jadi julietnya Jack.
Johny justru jadi jelous Juminten jadi juliet-nya Jack. Johny juga
jejaka jomblo, jalang, juga jangkung. Julukannya, Johny Jago Joget.
“Jieehhh, Jack jejaka Jawa, Jum?” joke-nya Johny. Jakunnya jadi
jungkat-jungkit jelalatan jenguk Juminten. “Jangan jealous, John…”
jawab Juminten.
jejaka jomblo, jalang, juga jangkung. Julukannya, Johny Jago Joget.
“Jieehhh, Jack jejaka Jawa, Jum?” joke-nya Johny. Jakunnya jadi
jungkat-jungkit jelalatan jenguk Juminten. “Jangan jealous, John…”
jawab Juminten.
Jumat, Johny jambret, jagoannya jembatan Joglo jarinya jawil-jawil
jerawatnya Juminten. Juminten jerit-jerit: “Jack, Jack, Johny jahil, jawil-jawil!!!” Jack jumping-in jalan, jembatan juga jemuran. Jack jegal Johny, Jebr eeet…, Jack jotos Johny. Jidatnya Johny jenong, jadi jontor juga jendol… jeleekk. “John, jangan jahilin
Juminten…!” jerit Jack. Jantungnya Johny jedot-jedotan, “Janji,
Jack, janji… Johnny jera,” jawab Johny. Jack jadikan Johny join
jualan jajan jejer Juminten.
jerawatnya Juminten. Juminten jerit-jerit: “Jack, Jack, Johny jahil, jawil-jawil!!!” Jack jumping-in jalan, jembatan juga jemuran. Jack jegal Johny, Jebr eeet…, Jack jotos Johny. Jidatnya Johny jenong, jadi jontor juga jendol… jeleekk. “John, jangan jahilin
Juminten…!” jerit Jack. Jantungnya Johny jedot-jedotan, “Janji,
Jack, janji… Johnny jera,” jawab Johny. Jack jadikan Johny join
jualan jajan jejer Juminten.
Jhony jadi jongosnya Jack-Juminten, jagain jongko, jualan jus
jengkol j ajanan jurumudi jurusan Jogja-Jombang, julukannya Jus
Jengkol Johny “Jolly-jolly Jumper.” Jumpalagi, jek……..!!!
jengkol j ajanan jurumudi jurusan Jogja-Jombang, julukannya Jus
Jengkol Johny “Jolly-jolly Jumper.” Jumpalagi, jek……..!!!
Jeringatan : Jangan joba-joba jikin jerita jayak jini jagi ja…!!!
JUSAH…!!!
JUSAH…!!!
entahlah…
bener atw hehe..
Abu Nawas Merayu Tuhan
Abu
Nawas sebenarnya adalah seorang ulama yang alim. Tak begitu
mengherankan jika Abu Nawas mempunyai murid yang tidak sedikit. Di
antara sekian banyak muridnya, ada satu orang yang hampir selalu
menanyakan mengapa Abu Nawas mengatakan begini dan begitu. Suatu ketika
ada tiga orang tamu bertanya kepada Abu Nawas dengan pertanyaan yang
sama. Orang pertama mulai bertanya.
“Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?”
“Orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil.” jawab Abu Nawas.
“Mengapa?” kata orang pertama.
“Sebab lebih mudah diampuni oleh Tuhan.” kata Abu Nawas.
Orang pertama puas karena ia memang yakin begitu.
Orang kedua bertanya dengan pertanyaan yang sama.
“Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?”
“Orang yang tidak mengerjakan keduanya.” jawab Abu Nawas.
“Mengapa?” kata orang kedua.
“Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu tidak memerlukan pengampunan dari Tuhan.” kata Abu Nawas.
Orang kedua langsung bisa mencerna jawaban Abu Nawas.
Orang ketiga juga bertanya dengan pertanyaan yang sama.
“Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?”
“Orang yang mengerjakan dosa-dosa besar.” jawab Abu Nawas.
“Mengapa?” kata orang ketiga.
“Sebab pengampunan Allah kepada hambaNya sebanding dengan besarnya dosa hamba itu.” jawab Abu Nawas. Orang ketiga menerima alasan Abu Nawas. Kemudian ketiga orang itu pulang dengan perasaan puas.
“Orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil.” jawab Abu Nawas.
“Mengapa?” kata orang pertama.
“Sebab lebih mudah diampuni oleh Tuhan.” kata Abu Nawas.
Orang pertama puas karena ia memang yakin begitu.
Orang kedua bertanya dengan pertanyaan yang sama.
“Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?”
“Orang yang tidak mengerjakan keduanya.” jawab Abu Nawas.
“Mengapa?” kata orang kedua.
“Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu tidak memerlukan pengampunan dari Tuhan.” kata Abu Nawas.
Orang kedua langsung bisa mencerna jawaban Abu Nawas.
Orang ketiga juga bertanya dengan pertanyaan yang sama.
“Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?”
“Orang yang mengerjakan dosa-dosa besar.” jawab Abu Nawas.
“Mengapa?” kata orang ketiga.
“Sebab pengampunan Allah kepada hambaNya sebanding dengan besarnya dosa hamba itu.” jawab Abu Nawas. Orang ketiga menerima alasan Abu Nawas. Kemudian ketiga orang itu pulang dengan perasaan puas.
Karena belum mengerti seorang murid Abu Nawas bertanya.
“Mengapa dengan pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda?”
“Manusia dibagi tiga tingkatan. Tingkatan mata, tingkatan otak, dan tingkatan hati.”
“Apakah tingkatan mata itu?” tanya murid Abu Nawas.
“Anak kecil yang melihat bintang di langit. Ia mengatakan bintang itu kecil karena ia hanya menggunakan mata.” jawab Abun Nawas mengandaikan.
“Apakah tingkatan otak itu?” tanya murid Abu Nawas.
“Orang pandai yang melihat bintang di langit. Ia mengatakan bintang itu besar karena ia berpengetahuan.” jawab Abu Nawas.
“Lalu apakah tingkatan hati itu?” tanya murid Abu Nawas.
“Orang pandai dan mengerti yang melihat bintang di langit. Ia tetap mengatakan bintang itu kecil walaupun ia tahu bintang itu besar. Karena bagi orang yang mengerti tidak ada sesuatu apapun yang besar jika dibandingkan dengan keMaha-Besaran Allah.”
Kini murid Abu Nawas mulai mengerti mengapa pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda.
Ia bertanya lagi.
“Wahai guru, mungkinkah manusia bisa menipu Tuhan?”
“Mungkin.” jawab Abu Nawas.
“Bagaimana caranya?” tanya murid Abu Nawas ingin tahu.
“Dengan merayuNya melalui pujian dan doa.” kata Abu Nawas.
“Ajarkanlah doa itu padaku wahai guru.” pinta murid Abu Nawas.
“Doa itu adalah : Ilahi lastu lil firdausi ahla, wala aqwa’alan naril jahimi, fahabi taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzanbil ‘adhimi.”
Sedangkan arti doa itu adalah: Wahai Tuhanku, aku ini tidak pantas menjadi penghuni surga, tetapi aku tidak akan kuat terhadap panasnya api neraka. Oleh sebab itu terimalah tobatku serta ampunilah dosa-dosaku. Karena sesungguhnya Engkaulah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar.
“Mengapa dengan pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda?”
“Manusia dibagi tiga tingkatan. Tingkatan mata, tingkatan otak, dan tingkatan hati.”
“Apakah tingkatan mata itu?” tanya murid Abu Nawas.
“Anak kecil yang melihat bintang di langit. Ia mengatakan bintang itu kecil karena ia hanya menggunakan mata.” jawab Abun Nawas mengandaikan.
“Apakah tingkatan otak itu?” tanya murid Abu Nawas.
“Orang pandai yang melihat bintang di langit. Ia mengatakan bintang itu besar karena ia berpengetahuan.” jawab Abu Nawas.
“Lalu apakah tingkatan hati itu?” tanya murid Abu Nawas.
“Orang pandai dan mengerti yang melihat bintang di langit. Ia tetap mengatakan bintang itu kecil walaupun ia tahu bintang itu besar. Karena bagi orang yang mengerti tidak ada sesuatu apapun yang besar jika dibandingkan dengan keMaha-Besaran Allah.”
Kini murid Abu Nawas mulai mengerti mengapa pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda.
Ia bertanya lagi.
“Wahai guru, mungkinkah manusia bisa menipu Tuhan?”
“Mungkin.” jawab Abu Nawas.
“Bagaimana caranya?” tanya murid Abu Nawas ingin tahu.
“Dengan merayuNya melalui pujian dan doa.” kata Abu Nawas.
“Ajarkanlah doa itu padaku wahai guru.” pinta murid Abu Nawas.
“Doa itu adalah : Ilahi lastu lil firdausi ahla, wala aqwa’alan naril jahimi, fahabi taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzanbil ‘adhimi.”
Sedangkan arti doa itu adalah: Wahai Tuhanku, aku ini tidak pantas menjadi penghuni surga, tetapi aku tidak akan kuat terhadap panasnya api neraka. Oleh sebab itu terimalah tobatku serta ampunilah dosa-dosaku. Karena sesungguhnya Engkaulah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar.
Memintalah kepadaNya..
Karena yakinlah allah tidak akan menyia2kan hambanya..
Dikutip dari _Ismail_
BERSAMBUNG…………….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar