Kamis, 04 Juli 2013

Makalah Maqashid Al-Tasri'



BAB I
PENDAHULUAN
Pembicaraan tentang tujuan pembinaan hukum Islam atau maqashid al-tasyri’, merupakan pembahasana penting dalam hukum Islam yang tidak luput dari perhatian ulama serta para pakar hukum Islam. Sebagaian ulama menempatkannya dalam bahasan Ushul Fiqh, dan ulama lain membahasnya sebagai bahasan tersendiri serta diperluas dalam “Filsafat Hukum Islam”. Untuk tidak mengurangi kedudukannya sebagai bahasan dalam Filsafat Hukum Islam namun tetap menjadikannya sebagai bagian dari bahasan Ushul Fiqh.
Bila diteliti semua suruhan dan larangan Allah dalam Al-Qur’an, begitu pula seluruh larangan Rasulullah dalam Sunnahnya yang terumuskan dalam fiqih, akan terlihat bahwa semuanya mempunyai tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya mempunyai hikmah yang mendalam, yaitu sebagai rahmat bagi setiap umat, sebagaimana ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, di antaranya dalam surat Al-Anbiya’ ayat 107, tentang tujuan Nabi Muhammad diutus.
Pada bab selanjutnya, kami akan membahas mengenai Maqasid Syar’iyah secara lebih rinci lagi.


BAB II
PEMBAHASAN
(MAQASID SYAR’IYAH)
Maqasid syar’iyah bearti tujuan Allah SWT dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelurusi dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.[1]
Berdasarkan hasil penelitian para ulama terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah bahwa hukum-hukum yang disyariatkan Allah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
A.    Pengertian Kemaslahatan
Secara sederhana maslahat itu diartikan sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh akal yang sehat.[2] Diterima akal, maksudnya adalah bahwa akal itu dapat mengetahui dengan jelas kenapa begitu. Setiap suruhan Allah dapat dipahami oleh akal. Allah menyuruh manusia karena mengandung kemaslahatan untuk manusia baik dijelaskan sendiri oleh Allah maupun tidak. Suruhan Allah untuk berzikir dan shalat disebutkan oleh Allah sendiri alasannya oleh Allah. Alasan diperintahkan shalat dijelaskan dalam surat Al-Ankabut ayat 45:
إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
Artinya: Sesungguhnya salat itu dapat mencegah seseorang  dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.”[3]
Sedangkan suruhan berzikir disebutkan alasannya dalam surat Al-Ra’d ayat 28:
أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
Artinya: ketahuilah bahwa dengan berzikir itu hati akan tentram”.[4]
Kemaslahatan yang akan duwujudkan itu menurut as-Syatibi terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu: kebutuhan dharuriyat, kebutuhan hajiyat, dan kebutuhan tahsiniyat.[5]
B.     Bentuk Maslahat
Maslahat itu ada dua bentuk:
1.      Mewujudkan manfaat, kebaikan dan kesenangan untuk manusia yang disebut جلب المنافع (membawa manfaat) kebaikan dan kesenangan itu ada yang langsung dirasakan oleh yang melakukan saat melakukan perbuatan yang disuruh itu. Ibarat orang yang sedang haus meminum minuman segar. Ada juga yang dirasakan di kemudian hari, sedangkan pada waktu melaksanakannya, tidak dirasakan sebagai kenikmatan tetapi justru ketidakenakan. Seperti orang yang sedang sakit malaria disuruh minum pil kina yang pahit. Segala suruhan Allah berlaku untuk mewujudkan kebaikan dan manfaat seperti ini.
2.      Menghindari umat manusia dari kerusakan dan keburukan yang   disebut   المفاسد  درأ  (menolak kerusakan). Kerusakan dan keburukan itu ada yang langsung dirasakannya setelah melakukan perbuatan yang dilarang, ada juga pada waktu berbuat, dirasakannya sebagai suatu yang menyenangkan tetapi setelah itu dirasakan kerusakan dan keburukannya. Umpamannya berzina dengan pelacur yang berpenyakit atau meminum minuman manis bagi yang berpenyakit gula.
Tuntutan kebutuhan bagi kehidupan manusia itu bertingkat-tingkat. Secara berurutan, peningkatan kebutuhan itu adalah: primer, sekunder dan tersier.
a.       Kebutuhan primer (Dharuriyat)
Kebutuhan dharuriyat ialah tingkat kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Menurut al-Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara kehormatan, dan keturunan, serta memelihara harta. [6]
Kelima dharuriyat tersebut adalah yang mutlak harus ada pada manusia. Karenanya Allah menyuruh untuk melakukan segala upaya bagi keberadaan dan kesempurnaannya. Sebaliknya Allah melarang melakukan perbuatan yang dapat menghilangkan dan mengurangi salah satu dari kelima dharuriyat yang lima itu. Segala perbuatan yang dapat mewujudkan atau mengekalkan kelima unsur pokok itu adalah baik, dan karenanya harus dikerjakan. Sedangkan segala perbuatan yang merusaak atau mengurangi nilai lima unsur pokok itu adalah buruk, karenanya harus dijauhi.
Untuk menegakkan agama, manusia disuruh beriman kepada Allah, kepada Rasul, kepada kitab suci, kepada malaikat, kepada hari akhir, mengucap dua kalimat syahadat serta melakukan ibadah yang pokok lainnya. Untuk menjaga agama, Allah menyuruh manusia untuk berjihad di jalan Allah. 
Di samping itu Allah melarang manusia berbuat sesuatu yang dapat menghilangkan agama. Karena itu Allah mengharamkan murtad sebagaiaman firman-Nya dalam surat Al-Baqarah ayat 217:
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ
Artinya: “…Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat…[7]
Untuk memelihara keberadaan jiwa yang telah diberikan Allah bagi kehidupan, manusia harus melakukan banyak hal, seperti makan, minum, menutup badan dan mencegah penyakit. Segala sesuatu yang dapat menghilangkan atau merusak jiwa adalah perbuatan yang buruk yang dilarang Allah. Dalam hal ini Allah melarang membunuh tanpa hak, sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-An’am ayat 151:
وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ
Artinya: “…janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali secara hak…”[8]
Untuk memelihara akal yang diciptakan Allah khusus bagi manusia, diharuskan berbuat segala sesuatu untuk menjaga keberadaannya dan meningkatkan kualitasnya dengan cara menuntut ilmu. Segala usaha untuk itu adalah berbuat baik yang disuruh Allah. Dalam hal ini manusia disuruh untuk menuntut ilmu tanpa batas usia dan tidak memperhitungkan jarak atau tempat, sebagaimana sabda Nabi:
طلب العم فريضة على كل مسلم
Artinya: “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap orang yang beriman”
Sebaliknya manusia dilarang berbuat sesuatu yang dapat menghilangkan atau dapat merusak akal. Untuk mempertahankan hidup, manusia memerlukan sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti makan, minum dan pakaian. Untuk itu diperlukan harta dan manusia harus berupaya mendapatkannya secara halal dan baik.
Banyak firman Allah dalam Al-Qur’an yang menyuruh manusia mencari rezeki, di antaranya dalam surat al-Jumu’ah ayat 10:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
Artinya: Bila telah kamu tunaikan shalat, bertebarlah kamu di muka bumi dan carilah rezeki dari Allah…”[9]
Untuk kelangsungan kehidupan manusia, perlu adanya keturunan sah dan yang jelas. Untuk maksud itu Allah melengkapi makhluk hidup ini dengan nafsu syahwat yang mendorong untuk melakukan hubungan kelamin yang dilakukan secara sah adalah baik. Dalam hal ini Allah mensyari’atkan kawin dan berketurunan, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Nur ayat 32:
وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ
Artinya: “Kawinilah orang-orang yang membujang di antaramu dan orang-orang baik di antara hambamu…”[10]
Segala usaha yang mengarah pada penghapusan atau perusakan keturunan yang sah adalah perbuatan buruk. Oleh karena itu Nabi sangat melarang sikap tabattul atau membujang karena mengarah pada peniadaan keturunan. Islam juga melarang zina yang dinilai sebagai perbuatan keji dan dapat merusak tatanan sosial, mengaburkan nasab keturunan serta akan mendatangkan bencana.
Termasuk dalam kelima kebutuhan primer (dharuri) tersebut menurut sebagian ulama adalah “harga diri” yang disuruh Allah untuk menjaganya  dan melarang berbuat sesuatu yang dapat mencemarkannya. Dalam hal ini diharamkan menuduh perempuan baik-baik melakukan zina tanpa bukti yang sah dan pelakunya diancam 80 kali cambuk, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Nur ayat 4:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh perempuan baik-baik berbuat zina dan tidak dapat mengemukakan empat saksi cambuklah 80 kali”.[11]
Tujuan yang bersifat dharuri merupakan tujuan utama dalam pembinaan hukum yang mutlak harus dicapai. Oleh karena itu suruhan-suruhan syara’ dalam hal ini bersifat mutlak dan pasti, serta hukum syara’ yang berlatar belakang pemenuhan kebutuhan dharuri adalah “wajib” (menurut jumhur ulama) atau “fhardu” (menurut ulama Hanafiah). Sebaliknya, larangan Allah berkaitan dengan dharuri ini bersifat tegas dan mutlak. Hukum yang ditimbulkannya termasuk haram dzati. Untuk mendukung pencapaian dari tujuan dharuri ini, syara’ menetapkan hukum-hukum pelengkap yang terurai dalam kitab-kitab fiqh.[12]
b.      Kebutuhan Sekunder (Hajiyat)
Kebutuhan hajiyat ialah kebutuhan sekunder. Apabila kebutuhan tersebut tidak terwujudkan, tidak akan mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Syari’at Islam menghilangkan kesulitan itu. Adanya hukum rukhsah (keinginan) seperti dijelaskan Abd al-Wahhab Khallaf, adalah sebagai contoh dari kepedulian Syari’at Islam terhadap kebutuhan ini.
Tujuan hajiyat dari segi penetapan hukumnya dikelompokkan pada tiga kelompok:
1.      Hal yang disuruh syara’ melakukannya untuk melaksanakan kewajiban syara’ secara baik. Hal ini disebut muqaddimah wajib. Umpamanya mendirikan sekolah dalam hubungannya dengan menuntut ilmu untuk meningkatkan kualitas akal. Mendirikan sekolah memang perlu, namun seandainya sekolah tidak didirikan tidak bearti tidak akan tercapai upaya mendapatkan ilmu, karena menuntut ilmu itu dapat dilaksanakan di luar sekolah. Kebutuhan akan sekolah itu berada pada tingkat hajiyat.
2.      Hal yang dilarang syara’ melakukannya untuk menghindarkan secara tidak langsung pelanggaran pada salah satu unsur yang dharuri. Perbuatan zina berada pada larangan tingkat dharuri. Namun segala perbuatan yang menjurus kepada perbuatan zina itu juga dilarang untuk menutup pintu bagi terlaksananya larangan zina yang dharuri itu. Melakukan khalwat (berdua-duaan dengan lawan jenis di tempat sepi) memang bukan zina dan tidak merusak keturunan. Juga tidak mesti khalwat itu berakhir pada zina. Meskipun demikian, khalwat itu dilarang dalam rangka menutup pintu terhadap pelanggaran larangan yang bersifat dharuri. Kepentingan akan adanya tindakan untuk menjauhi larangan ini berada pada tingkat hajiyat.
3.      Segala bentuk kemudahan yang termasuk hukum rukhsah (kemudahan) yang memberi kelapangan dalam kehidupan manusia. Sebenarnya tidak ada rukhsah pun tidak akan hilang salah satu unsur yang dharuri itu, tetapi manusia akan berada dalam kesempitan (kesulitan). Rukhsah ini, berlaku dalam hukum “ibadat” seperti shalat bagi yang berada dalam perjalanan; dalam “muamalah” seperti bolehnya jual beli salam (inden); juga “jinayat” seperti adanya maaf untuk membatalkan pelaksanaan qhisash bagi pembunuh, baik diganti dengan diyat (denda) atau tanpa diyat sama sekali.[13]
c.       Kebutuhan Tahsiniyat
Kebutuhan tahsiniyat ialah tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok di atas dan tidak pula menimbulkan kesulitan. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan al-Syatibi, hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak.[14]
Tujuan takhsiniyat ini menurut asalnya tidak menimbulkan hukum wajib pada perbuatan yang disuruh dan tidak menimbulkan hukum haram pada yang dilarang sebagaimana yang berlaku pada dua tingkat lainnya (dharuri dan hajiyat). Segala usaha untuk memenuhi kebutuhan takhsini ini menimbulkan hukum “sunat”, dan perbuatan yang mengabaikan kebutuhan takhsini menimbulkan hukum “makhruh”.
Takhsini berlaku pada bidang ibadat, seperti berhias dan berpakaian rapi padaa waktu ke mesjid; dan pada bidang muamalah, seperti pada jual beli syuf’ah, juga berlaku adat, seperti hemat dalam belanja; serta berlaku pula dalam bidang jinayat seperti tidak membunuh anak-anak dan perempuan dalam peperangan.
Pembagian tujuan syara’ pada tiga hal tersebut, sekaligus menunjukkan peringkat kepentingan. Tingkat dharuri lebih tinggi dari tingkat hajiyat, dan tingkat hajiyat lebih tinggi dari tingkat takhsiniyat. Kebutuhan dalam peringkat yang sesama dharuri pun berurutan pula tingkat kepentingannya, yaitu: agama, jiwa, akal, harta, keturunan (harga diri). Adanya peringkat dan urutan kepentingan itu akan tampak di saat terjadi perbenturan antar masing-masing kepentingan itu dan salah satu diantaranya harus didahulukan.


BAB III
PENUTUP
Maqasid syar’iyah merupakan tujuan Allah SWT dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelurusi dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.
Secara sederhana maslahat itu diartikan sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh akal yang sehat. Setiap suruhan Allah dapat dipahami oleh akal. Allah memerintahkan manusia karena mengandung kemaslahatan untuk dirinya.
rumusan kebutuhan manusia dalam Islam terdiri dari tiga jenjang, yaitu:
1)      Dharuriyat yang mencakup:
a.       Agama (din)
b.      Kehidupan (nafs)
c.       Pendidikan (‘aql)
d.      Keturunan (nasl), dan
e.       Harta (mal)
2)      Hajiyat, jenjang ini merupakan pelengkap yang mengokohkan, menguatkan, dan melindungi jenjang dharuriyat.
3)      Tahsiniyat, jenjang ini merupakan penambahan bentuk kesenangan dan keindahan dharuriyat dan hajiyat.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahan
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II. Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008.
Satria Effendi dan M. Zein. Ushul Fiqh. Edisi 1. Cet-2. Jakarta: 2005.



[1] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, Edisi 1, Cet-2, (Jakarta: 2005), hal. 233.
[2] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008), hal. 207.
[3] Q.S. Al-Ankabut ayat 45.
[4] Q.S Al-Ra’d ayat 45.
[5] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh ……..,hal. 233.
[6] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II,…………. hal. 234
[7] Q.S Al-Baqarah ayat 217.
[8] Q.S Al-An’am ayat 151.
[9] Q.S Al-Jumuah ayat 10.
[10] Q.S An-Nur ayat 32.
[11] Q.S An-Nur ayat 4.
[12] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II,…………. hal. 213.
[13] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II,…………. hal. 213-214.
[14] Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh…….hal. 236.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar