By: Jaimah
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Islam
melarang semua bentuk transaksi yang mengandung unsur kejahatan dan
penipuan. Di mana hak-hak semua pihak yang terlibat dalam sebuah
perilaku ekonomi yang tidak dijelaskan secara seksama (terbuka/jelas),
akan mengakibatkan sebagian dari pihak yang yang terlibat menarik
keuntungan, akan tetapi dengan merugikan pihak yang lain.
Apapun
bentuknya, segala aktivitas dalam bidang ekonomi yang tidak dihalalkan
dalam Islam adalah suatu perilaku ekonomi yang mengandung unsur yang
tidak halal, atau melanggar dan merampas hak kekayaan orang lain.
Al-Qur’an
difokuskan untuk mengeleminasi semua bentuk kejahatan dan penipuan
dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya. Dalam bab selanjutnya kami
akan membahas lebih rinci lagi mengenai Norma Prilaku Ekonomi Yang Dilarang Dalam Islam, dengan perincian sebagai berikut:
1. Hakikat pelarangan
2. Tidak bermewah-mewah
3. Kriteria transaksi yang dilarang
4. Maysir (judi & spekulasi), dan
5. Gharar
BAB II
PEMBAHASAN
(Norma Prilaku Ekonomi Yang Dilarang Dalam Islam)
A. Hakikat Pelarangan
Hakikat merupakan intisari, dasar, atau kenyataan yang sebenarnya.[1]
Sedangkan pelarangan berasal dari kata “larang”, jika timbah awalan
“me” menjadi “melarang” yang artinya memerintahkan supaya tidak
melakukan sesuatu atau tidak memperbolehkan berbuat sesuatu. Jika
ditambah awalan “pe” dan akhiran “an” menjadi “pelarangan”, artinya
perihal, proses, cara, perbuatan untuk melarang.[2]
Berdasarkan
pengertian di atas, hakikat pelarangan yang kami bahas dalam makalah
ini merupakan kebenaran terhadap sesuatu yang dilarang (yang tidak boleh
dilakukan) berdasarkan ketentuan yang ditetapkan dalam Al-Qur’an maupun
Hadits Nabi SAW. Beberapa contoh perbuatan yang dilarang dalam Islam,
di antaranya adalah:
1. Riba
Riba
secara literal bearti peningkatan dan penambahan. Al-Qur’an juga
mempergunakan istilah ini untuk menyatakan peningkatan/ tambahan yang
signifikan.[3]
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275:
الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي
يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا
إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا
سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ
النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Artinya: “Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang
yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”[4]
Berdasar
ayat di atas, telas jelas bahwa Allah melarang bahkan telah
mengharamkan riba. Segala sesuatu yang berhubungan dengan riba telah
dilarang oleh Allah SWT. Secara teknikal riba bearti penambahan jumlah
hutang dalam waktu yang ditentukan karena masa pinjaman dipanjangkan
waktunya, atau yang meminjam tidak mampu membayar pada waktu yang telah
ditentukan.[5] Secara hukum fikih, riba mengandung pengertian:
a. Tambahan uang yang diberikan ataupun diambil dimana pertukaran uang tersebut dalam bentuk uang yang sama.
b. Tambahan
nilai uang pada satu sisi yang sedang melakukan kontrak tatkala
komoditas yang didagangkan secara barter itu pada jenis yang serupa.[6]
Para fukaha telah membagi riba itu dalam dua kategori yaitu (a) riba nasi’ah dan riba al-fadl. Riba dalam format yang pertama disebut juga riba jahiliyyah yang
secara ekplisit dilarang dalam Al-Qur’an. Sedangkan yang kedua dilarang
oleh Nabi Muhammad SAW dalam rangka membendung semua perilaku yang
mengarah kepada riba.
Riba nasi’ah adalah tambahan jumlah uang yang didapat dari pemberi pinjaman, biasanya didasarkan pada batasan waktu tertentu. Riba al-fadhl adalah perdagangan dalam bentuk barter komoditas sejenis tanpa adanya kesamaan kuantitas.
Rasulullah bersabda:
Artinya: “Pertukaran
itu hendaknya dilakukan dengan barang yang sama, emas dengan emas,
perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir (jewawut) dengan
sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, hendaklah sama
banyaknya, tunai dan melalui serah terima. Jika berlainan jenis, kalian
boleh jual sekehendak kalian, asalakan dalam bentuk tunai.” (HR. Muslim).
Hadits
di atas menerangkan dengan jelas kepada kita, darimana riba itu masuk
dan bagaimana cara menghindarinya. Islam membolehkan pertukaran
komuditas dengan jenis yang sama, bahwasanya keduanya harus sama dalam
kwantitasnya, dan semuanya hendaknya dilakukan di tempat melakukan
transaksi.
Kejahatan-kejahatan riba itu adalah sebagai berikut:
a. Riba
akan meningkatkan rasa tamak, menimbulkan rasa kikir yang berlebihan,
mementingkan diri sendiri, keras hati, dan memuja uang.
b. Riba akan menimbulkan kebencian dan permusuhan.
c. Riba akan mendorong terjadinya penimbunan akumulasi kekayaan dan akan menghambat adanya investasi langsung dalam perdagangan.
d. Riba akan mencegah terjadinya sirkulasi kekayaan karena kekayaan itu hanya akan berada di dalam tangan-tangan pemilik modal.
2. Penipuan
Al-Qur’an
sangat tidak setuju dengan penipuan dalam bentuk apapun. Penipuan atau
kelicikan digambarkan dalam Al-Qur’an sebagai karakter utama
kemunafikan, dimana Al-Qur’an telah menyediakan siksa yang pedih bagi
tindakan ini di dalam Neraka. Allah berfirman, artinya:
“Sesungguhnya
orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah
dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang
penolongpun bagi mereka.”[7]
Islam
menuntut pemeluknya untuk menjadi orang yang jujur dan amanah. Orang
melakukan penipuan dan kelicikan tidak dianggap sebagai umat Islam yang
sesungguhnya, meskipun dari lisannya keluar pernyataan bahwasannya
dirinya adalah seorang Muslim. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Barang siapa yang melakukan penipuan maka dia bukan dari golongan kami (HR. Ibnu Hibban dan Abu Nu’aim).
Beberapa bentuk penipuan yang dilarang keras dalam Al-Qur’an, di antaranya:
1. Tidak jujur
Tak
diragukan bahwasanya ketidakjujuran, adalah bentuk kecurangan yang
paling jelek. Orang yang tidak jujur akan selalu berusaha melakukan
penipuan pada orang lain, kapan dan dimana saja kesempatan itu terbuka
bagi dirinya. Al-Qur’an dengan tegas melarang ketidakjujuran itu.
“Rasulullah
SAW, menyatakan bahwasanya ketidak jujuran adalah salah satu dari
tanda-tanda sifat orang munafik. Rasulullah bersabda: Tiga tanda orang
munafik adalah jika dia bicara dia selalu berdusta, dan jika dia
berjanji, maka dia akan selalu mengingkari dan jika dia diberi amanat
maka dia akan berkhianat.”[8]
Islam
melarang semua penyalahgunaan dan penggunaaan barang milik majikan oleh
orang yang bekerja padanya, di mana ia terikat hanya mendapatkan gaji
saja. Penggunaan dan pengambilan barang melebihi batas imbalan yang
ditetapkan maka itu dianggap sebagai ketidakjujuran, dan pencurian, yang
keduanya dilarang Islam. Kutukan, celaan, dan larangan terhadap
kecurangan, dan pengkhianatan amanah terdapat lebih dari 19 ayat di
dalam Al-Qur’an.[9]
2. Kebohongan dan Pengingkaran Janji
Al-Qur’an
dengan keras menentang kebohongan. Tuntutan palsu, tuduhan yang tidak
mendasar, dan kesaksian palsu sangat dikutuk dan dilarang dengan tegas.
Beberapa ayat berikut akan menjelaskan larangan-larangan Allah itu.
Allah berfirman, yang artinya:
“Dan
barang siapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian
dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia
telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata.”[10]
Al-Qur’an
mengutuk para pembohong dan pendusta. Rasulullah menggambarkan bahwa
dusta adalah salah satu dari tiga tanda orang-orang munafik. Dusta,
kapan dan dimanapun sangatlah berbahaya. Pengingkaran janji juga
merupakan satu praktek kejahatan lain yang dengan keras ditentang oleh
Islam. Sebagaimana firman Allah,
“Dan
orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh
dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan
mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan
dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahanam).”[11]
Pelanggaran sumpah juga merupakan salah satu dosa besar yang harus ditebus dengan membayar kaffarat.[12]
B. Kriteria Transaksi Yang Dilarang
Rasulullah
SAW telah melarang beberapa model transaksi yang biasa dilakukan di
zamannya karena adanya nuansa penipuan dan kecurangan di dalamnya, baik
oleh adanya sesuatu yang ambigu dalam transaksi itu dan kesalahpahaman
di antara dua pihak yang hanya akan memunculkan perkelahian yang hanya
akan menimbulkan kerugian pada satu pihak. Beberapa bentuk transaksi
yang dilarang Rasulullah SAW adalah sebagai berikut:
a. Bay’ qabl al-qabdh.
Secara literal ia bearti menjual barang belum menjadi miliknya. Ini
mereferen pada praktek transaksi dimana seseorang membeli sebuah
komoditas dari seseorang pedagang kemudian ia menjual barang itu pada
orang lain sebelum ia mengambil barang yang dibeli dari pedagang itu.
b. Bay’ al-mulamasah.
Artinya adalah sebuah transaksi yang dilakukan dengan memegang barang
yang akan dijual. Ini merujuk pada praktek dagang dan transaksi dimana
seseorang memegang kain misalnya, dan dia mengatakan pada yang lain:
“Saya menjual kain ini pada anda dengan kain yang ada di tangan anda.
Jika setelah ini mereka saling memegang atau menyentuh kain itu maka
transaksi dianggap final.
c. Bay’ al-munabadhah.
Artinya ialah konklusi sebuah transaksi dilakukan dengan melempar baru
kerikil/koral. Ini merujuk pada praktek saat orang mengatakan: “Saya
akan menjual sepotong kain atau tanah tempat dimana kerikil itu jatuh.”
Setelah berkata demikian, dia melemparkan kerikil, dan dimana kerikil
itu jatuh, di tanah ataupun kain maka ia akan dinyatakan sebagai barang
yang dijual.
C. Tidak Bermewah-Mewah
Islam
mengikat semua cara-cara usaha mendapatkan harta, dan Islam juga
mengikat cara pengeluaran dan penggunaan harta. Islam melarang
pengeluaran harta yang berlebihan, pemborosan, dan kemewahan.[13]
Dalam hal ini Allah berfirman:
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا
Artinya: “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”[14]
Islam
mengharamkan berlebih-lebihan dan kemewahan, karena bahaya kemewahan di
bidang ekonomi dan sosial dalam hubungannya dengan individu maupun
orang banyak adalah sama.
Kemewahan
menyebabkan adanya sifat berfoya-foya, suatu sikap yang mendorong orang
berbuat keji dan melemahkannya dari perjuangan dan pengorbanan, dalam
kondisi seperti inilah terletak bahaya paling besar atas umat Islam.
Kemewahan
menyebabkan semakin dalamnya jurang antara si kaya dan si miskin. Dari
soal inilah datangnya dengki, dendam, dan perpecahan yang dapat membuka
pintu lebar-lebar pertentangan antargolongan dalam masyarakat.
Kemewahan
menyebabkan orang mengeluarkan harta banyak-banyak untuk hal-hal yang
tidak berguna. Kalaupun ada, maka hanya untuk pemiliknya. Sebaliknya,
seandainya bagian harta diarahkan untuk pembangunan sekolah-sekolah
ataupun perguruan tinggi atau rumah sakit tentu manfaatnya akan kembali
kepada orang banyak.
D. Jual-Beli Barang Haram
Apabila
pada jual-beli itu salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi,
atau jual-beli itu pada dasarnya dan sifatnya tidak disyari’atkan, maka
jual beli itu batil. Umpanya, jual-beli yang dilakukan oleh anak-anak,
orang gila, atau barang-barang yang dijual itu barang-barang yang
diharamkan syara’ (bangkai, darah, babi dan khamar).[15]
Syari’at
Islam membolehkan yang baik-baik yaitu sebagian besar dari makhluk
Allah dari selain manusia seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan untuk
keperluan manusia di bumi ini, dan mengharamkan yang buruk bagi manusia.
Jual beli yang diharamkan diantaranya sebagai berikut:[16]
1. Haram
menjual-belikan khamar, membuatnya, segala sesuatu yang membantu
terjadinya, meminumnya dan berobat dengannya. Khamar, yaitu segala
sesuatu yang dapat memabukkan, baik berupa benda cair atau padat.
2. Haramnya
bangkai, baik dagingnya, lemaknya, darahnya, urat-uratnya dan segala
sesuatu yang masuk kepadanya atau bagian-bagian dari tubuhnyanya.
Kecuali bangakai hewan yang dijelaskan kehalalannya yang dijelaskan oleh
syari’at, seperti: belalang, dan binatang laut (ikan, dan lain-lain).
3. Haramnya berjual beli hewan babi, memakannya, menyentuhnya dan mendekatinya. Karena babi adalah hewan yang kotor.
4. Haram berjual beli berhala, karena dapat mengakibatkan kerusakan yang sangat besar bagi akal dan agama.
E. Maisir (Judi dan Spekulasi)
Kata maisir
dalam bahasa Arab bearti memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa
kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja yang biasanya disebut
dengan berjudi. Istilah lain yang digunakan dalam Al-Qur’an adalah kata
‘azlam yang berarti praktek perjudian. Judi dalam terminologi
agama diartikan sebagai “suatu transaksi yang dilakukan oleh dua pihak
untuk kepemilikan suatu benda atau jasa yang menguntungkan satu puhak
dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut
dengan suatu tindakan atau kejadian tertentu. [17]
Prinsip
perjudian adalah terlarang, baik itu telibat secara mendalam maupun
hanya berperan sedikit saja atau tidak berperan sama sekali,
mengharapkan keuntungan semata (misalnya mencoba-coba) di samping
sebagian orang-orang terlibat melakukan kecurangan, kita mendapatkan apa
yang semestinya kita tidak dapatkan, atau menghilankan suatu
kesempatan. Melakukan pemotongan dan bertaruh benar-benar masuk dalam
kategori defenisi berjudi.[18]
Judi, pada umumnya (maisir) dan penjualan undian khususnya (azlam)
dalam segala bentuk taruhan, undian atau lotre yang berdasarkan pada
bentuk perjudian adalah haram di dalam Islam. Rasulullah SAW melarang
segala bentuk bisnis yang mendatangkan uang yang diperoleh dari
untung-untungan, spekulasi dan ramalan atau terkaan (misalnya judi) dan
bukan diperoleh dari bekerja.[19]
“Diriwayatkan
oleh beberapa sahabat Nabi, termasuk Jabir, Abu Hurairah, Abu Said
Khudri, Said bin Al-Musayyib dan Rafiy bin Khadij bahwa Rasulullah
melarang transaksi muzabanah dan muhaqalah”. Muzabanah
adalah tukar menukar buah yang masih segar dengan cara bahwa jumlah
buah yang kering sudah dapat dipastikan jumlahnya sedangkan buah yang
segar ditukarkan hanya dapat ditebak karena masih berada di pohon. Sama
halnya dengan muhaqalah yaitu penjualan gandum ditukar dengan
gandum yang masih ada dalam bulirnya yang jumlahnya masih ditebak-tebak.
Disebabkan karena kejahatan judi itu lebih parah dari pada keuntungan
yang diperolehnya, maka dalam Al-Qur’an Allah SWT sangat tegas melarang maisir (judi atau semacamnya) sebagaimana ayat berikut: “Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, maisir, berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan
syaitan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan”.[20]
F. Gharar
1. Pengertian gharar
Gharar artinya keraguan, tipuan atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan pihak lain.[21]
Suatu akad mengandung unsur penipuan, karena tidak ada kepastian, baik
mengenai ada atau tidak ada objek akad, besar kecil jumlah maupun
menyerahkan objek akad tersebut.
Menurut imam Nawawi, gharar merupakan unsur akad yang dilarang dalam syari’at Islam.
Imam Al-Qarafi mengemukakan gharar
adalah suatu akad yang tidak diketahui dengan tegas, apakah efek akad
akan terlaksana atau tidak, seperti melakukan jual-beli ikan yang masih
di dalam air (tambak). [22]
2. Bentuk-bentuk jual-beli gharar
Menurut ulama fikih, bentuk-bentuk gharar yang dilarang adalah:
a. Tidak
ada kemampuan penjual untuk menyerahkan objek akad pada waktu terjadi
akad, baik objek akad itu sudah ada maupun belum ada. Umpamanya menjual
janin yang masih dalam perut binatang ternak tanpa menjual induknya.
b. Menjual
sesuatu yang belum berada di bawah penguasaan penjual. Apabila barang
yang sudah dibeli dari orang lain belum diserahkan kepada pembeli, maka
pembeli itu belum boleh menjual barang itu kepada pembeli lain.
c. Tidak ada kepastian tentang jenis pembayaran atau jenis benda yang dijual.
d. Tidak
ada kepastian tentang tertentu dari barang yang dijual. Umpamanya
penjual berkata: “Saya menjual sepeda yang ada di rumah saya kepada
anda”, tanpa menentukan ciri-ciri seepeda tersebut secara tegas.
Termasuk ke dalam bentuk ini adalah menjual buah-buahan yang masih di
pohon dan belum layak dikonsumsi.
e. Tidak
ada kepastian tentang jumlah harga yang harus dibayar. Umpamanya: orang
berkata “Saya jual beras kepada anda sesuai dengan harga berlaku hari
ini”. Padahal jenis beras juga macam-macam dan harganya tidak sama.
f. Tidak ada kepastian tentang waktu penyerahan objek akad. Umpamanya: setelah seseorang meninggal. Jual-beli semacam ini termasuk gharar, karena objek akad dipandang belum ada.
g. Tidak
ada ketegasan bentuk transaksi, yaitu dua macam atau lebih yang berbeda
dalam satu objek akad tanpa menegaskan bentuk transaksi mana yang
dipilih waktu terjadi akad. Umpamanya: Sebuah motor dijual seharga Rp.
10.000.000,- dengan harga tunai dan Rp. 12.000.000- dengan harga kredit.
Namun sewaktu terjadi akad, tidak ditentukan bentuk transaksi mana yang
akan dipilih.
h. Tidak
ada kepastian objek akad, karena ada dua objek akad yang berbeda dalam
satu transaksi. Umpamanya; salah satu dari dua potong pakaian yang
berbeda mutunya dijual dengan harga yang sama.
i. Kondisi
objek akad, tidak dapat dijamin kesesuaiannya dengan yang ditentukan
dalam transaksi. Umpamanya: menjual seekor kuda pacuan yang sedang
sakit. Di dalamnya terdapat jual-beli gharar, karena baik penjual maupun pembeli bespekulasi dalam transaksi ini.
j. Dalam
transaksi disebutkan kualitas barang yang berkualitas nomor satu,
sedangkan dalam realisasinya kualitasnya berbeda. Hal ini mungkin
diketahui kedua belah pihak (ada kerja sama) atau sepihak saja (pihak
pertama).
k. Jual-beli dengan cara undian dalam berbagai bentuk.
l. Mempermainkan harga. Dalam transaksi, harga barang dicantumkan dua kali atau tiga kali lipat dari harga pasaran.
m. Cara lain adalah menginport atau mengeksport barang, tidak sesuai dengan dokumen yang ada.
n. Menyamakan
barang tiruan dengan asli seperti arloji, mas murni, dan imitasi
dianggap sama, adalah termasuk penipuan dalam jual-beli. Tentu masih
banyak lagi contoh-contoh lain, yang pada dasarnya ada mengandung unsur
penipuan di dalamnya. Hal ini salah satu sebab merusak ekonomi
masyarakat dan kemorosotan moral dalam bermuamalah. Dengan demikian
tidak mendapat rahmat dari Allah.
BAB III
PENUTUP
Hakikat
pelarangan merupakan kebenaran terhadap sesuatu yang dilarang (yang
tidak boleh dilakukan) berdasarkan ketentuan yang ditetapkan dalam
Al-Qur’an maupun Hadits Nabi SAW. Beberapa contoh perbuatan yang
dilarang dalam Islam, di antaranya adalah:
1. Riba
2. Penipuan
3. Dan lain-lain
Islam
mengikat semua cara-cara usaha mendapatkan harta, dan Islam juga
mengikat cara pengeluaran dan penggunaan harta. Islam melarang
pengeluaran harta yang berlebihan, pemborosan, dan kemewahan.
Apabila
pada jual-beli itu salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi,
atau jual-beli itu pada dasarnya dan sifatnya tidak disyari’atkan, maka
jual beli itu batil. Umpanya, jual-beli yang dilakukan oleh anak-anak,
orang gila, atau barang-barang yang dijual itu barang-barang yang
diharamkan syara’ (bangkai, darah, babi dan khamar).
Prinsip
perjudian adalah terlarang, baik itu telibat secara mendalam maupun
hanya berperan sedikit saja atau tidak berperan sama sekali,
mengharapkan keuntungan semata (misalnya mencoba-coba) di samping
sebagian orang-orang terlibat melakukan kecurangan, kita mendapatkan apa
yang semestinya kita tidak dapatkan, atau menghilankan suatu
kesempatan. Melakukan pemotongan dan bertaruh.
Gharar
artinya keraguan, tipuan atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan
pihak lain. Suatu akad mengandung unsur penipuan, karena tidak ada
kepastian, baik mengenai ada atau tidak ada objek akad, besar kecil
jumlah maupun menyerahkan objek akad tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
A. Djazuli, Fiqf Siasah, Bandung: Prenada Media, 2003.
Ahmad Muhammad Al-Assal, dkk. Sistem Prinsip Dan Tujuan Ekonomi Islam, Kairo: CV. Pustaka Setia, 1999
Al-Qur’an Dan Terjemahan
http://jual.beli.barang.haram.org. Diakses Tanggal 26 Maret 2012, pukul 15.10.
http://kamusbahasaindonesia.org/hakikat#ixzz1qcsw5vng, Diakses Tanggal 26 Maret 2012, Pukul. 15.23.
http://kamusbahasaindonesia.org/larang#ixzz1qcsf0s7e, Diakses Tanggal 26 Maret 2012, Pukul. 15.29.
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2003.
Mustaq Ahmad, Etika Bisnis Dalam Islam, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001.
Yusuf Al-Qardawi, Fiqih Praktis Bagi Kehidupan Modern, Kairo: Makabah Wabah, 1999.
[1] http://kamusbahasaindonesia.org/hakikat#ixzz1qcsw5vng, Diakses Tanggal 26 Maret 2012, Pukul. 15.23.
[2] http://kamusbahasaindonesia.org/larang#ixzz1qcsf0s7e, Diakses Tanggal 26 Maret 2012, Pukul. 15.29.
[3] Mustaq Ahmad, Etika Bisnis Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hal. 126-127.
[4] Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 275.
[5] Mustaq Ahmad, Etika Bisnis Dalam Islam……………., hal. 127.
[6] Ibid, hal. 127.
[7] Al-Qur’an Surat Annisa Ayat 145.
[8] Hadits Riwayat Bukhari.
[9] Al-Qur’an Surat 3: 164; 4: 2, 107; 7: 85-86; 24: 47-48; 26: 181-183; 61: 2-3; 68: 20-25, 74.
[10] Al-Qur’an Surat Annisa Ayat 112.
[11] Al-Qur’an Surat Ar-Ra’d Ayat 25.
[12] Al-Qur’an Surat Al-Maidah Ayat 89.
[13] Ahmad Muhammad Al-Assal, dkk. Sistem Prinsip Dan Tujuan Ekonomi Islam, (Kairo: CV. Pustaka Setia, 1999), hal. 96-97.
[14] AL-QUR’AN SURAT. Al-Isra Ayat 27
[15] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), hal. 128.
[17] Yusuf Al-Qardawi, Fiqih Praktis Bagi Kehidupan Modern (Kairo: Makabah Wabah, 1999), hal. 80.
[18] A. Djazuli, Fiqf Siasah (Bandung: Prenada Media, 2003), hal. 397.
[19] Yusuf Al-Qardawi, Fiqih Praktis Bagi Kehidupan Modern……………………, hal. 79.
[20] Al-Qur’an Surat Al-Maidah Ayat 90.
[21] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam….., hal. 147.
[22] Ibid, hal. 147.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar