Kamis, 04 Juli 2013

Makalah Kebutuhan VS Keinginan



BAB I
PENDAHULUAN
Terjadinya transaksi hingga melakukan pembayaran dengan uang terhadap barang dan jasa dikarenakan berbagai konsumen, kalangan bisnis, dan instansi pemerintah memiliki berbagai macam kebutuhan dan keinginan.
Dalam sebuah perekonomian pasar, jika ada permintaan akan sesuatu, maka pasti akan ada orang yang bersedia menyediakannya atau menawarkannya. Penawaran merupakan pasangan permintaan. Sedangkan permintaan berhubungan dengan keinginan dan kebutuhan seseorang terhadap sesuatu.
Dalam sebuah perekonomian pasar, segalanya memiliki harga, dan pembeli yang memiliki permintaan (kebutuhan dan keinginan) selalu menginginkan harga yang lebih rendah. Sementara penjual menginginkan harga yang lebih tinggi.[1]
Pada bab selanjutnya, pemakalah akan membahas tentang Kebutuhan Versus Keinginan, dan mengenai: Mengenal manusia, Kefitrahan Alam dan Manusia, Islam dan Kefitrahan, Iman dan Prilaku.

BAB II
PEMBAHASAN
(Kebutuhan Versus Keinginan)
A.    Kebutuhan
Kebutuhan yaitu keinginan mutlak yang diperlukan manusia bagi kehidupan dan tanpanya manusia tidak dapat hidup, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain.
Hingga saat ini, umumnya orang berbeda pendapat bahwa kebutuhan pokok manusia terdiri dari pangan, sandang, dan papan. Tanpa terpenuhnya tiga jenis kebutuhan ini manusia tak akan bisa hidup dengan baik.
Menurut al-Syathibi, rumusan kebutuhan manusia dalam Islam terdiri dari tiga jenjang, dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat:[2]
1)      Dharuriyat (Primer)
Kebutuhan dharuriyat ialah tingkat kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak.[3] Kebuthan dharuriyat  mencakup:
a.       Agama (din)
b.      Kehidupan (nafs)
c.       Pendidikan (‘aql)
d.      Keturunan (nasl), dan
e.       Harta (mal)
Untuk memelihara lima pokok inilah syariat Islam diturunkan. Setiap ayat hukum bila diteliti akan ditemukan alasan pembentukannya yang tidak lain adalah untuk memelihara lima pokok yang di atas. Misalnya, firman Allah dalam mewajibkan Qisas:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الألْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: Dan dalam kisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.(Al-Baqarah: 179).
Dan firman-Nya dalam mewajibkan qishas:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلا عُدْوَانَ إِلا عَلَى الظَّالِمِينَ
Artinya: Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang lalim.” (Al-Baqarah: 193).
Dari ayat pertama diketahui mengapa disyariatkan qisash, karena dengan itu ancaman terhadap kehidupan manusia dapat dihilangkan. Sedangkan pada ayat kedua, tujuan disyariatkannya perang adalah untuk melancarkan jalan dakwah ketika terjadi gangguan dan mengajak manusia untuk menyembah Allah.
Tujuan yang bersifat dharuri merupakan tujuan utama dalam pembinaan hukum yang mutlak harus dicapai. Oleh karena itu suruhan-suruhan syara’ dalam hal ini bersifat mutlak dan pasti, serta hukum syara’ yang berlatar belakang pemenuhan kebutuhan dharuri adalah “wajib” (menurut jumhur ulama) atau “fhardu” (menurut ulama Hanafiah). Sebaliknya, larangan Allah berkaitan dengan dharuri ini bersifat tegas dan mutlak. Hukum yang ditimbulkannya termasuk haram dzati. Untuk mendukung pencapaian dari tujuan dharuri ini, syara’ menetapkan hukum-hukum pelengkap yang terurai dalam kitab-kitab fiqh.[4]
Lima kebutuhan dharuriyat (esensial) yang mencakup din, nafs, ‘aql, nasl, dan mal merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Bila satu jenis yang sengaja diabaikan, akan menimbulkan ketimpangan dalam hidup manusia. Manusia hanya dapat melangsungkan hidupnya dengan baik jika kelima macam kebutuhan itu terpenuhi dengan baik pula. Inilah kiranya bentuk keseimbangan kebutuhan hidup dan kehidupan di dunia dan di akhirat kelak.
2)      Hajiyat (Sekunder)
Kebutuhan hajiyat ialah kebutuhan sekunder. Apabila kebutuhan tersebut tidak terwujudkan, tidak akan mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Syari’at Islam menghilangkan kesulitan itu. Adanya hukum rukhsah (keinginan) adalah sebagai contoh dari kepedulian Syari’at Islam terhadap kebutuhan ini.
Hal yang disuruh syara’ melakukannya untuk melaksanakan kewajiban syara’ secara baik. Hal ini disebut muqaddimah wajib. Umpamanya mendirikan sekolah dalam hubungannya dengan menuntut ilmu untuk meningkatkan kualitas akal. Mendirikan sekolah memang perlu, namun seandainya sekolah tidak didirikan tidak bearti tidak akan tercapai upaya mendapatkan ilmu, karena menuntut ilmu itu dapat dilaksanakan di luar sekolah. Kebutuhan akan sekolah itu berada pada tingkat hajiyat. [5]
Dalam lapangan ibadat, Islam mensyari’atkan beberapa hukum rukhsah (keringanan) apabila mendapatkan kesulitan dalam menjalanjakan perintah-perintah Allah. Misalnya, ia membolehkan tidak puasa apabila dalam jarak tertentu dengan syarat diganti pada hari yang lain. Dan demikian halnya orang yang sedang sakit.
Dalam lapangan muamalah, disyariatkan banyak macam kontrak (akad), serta macam-macam jual beli, sewa menyewa, syirkah (perseroan) dan mudharabah (berniaga dengan modal orang lain dengan perjanjian laba). Dalam lapangan ‘uqubat (sanksi hukum), Islam mensyariatkan hukum diyat (denda) bagi pembunuhan tidak disengaja, dan menangguhkan hukuman potong tangan atas seorang pencuri karena terdesak menyelamatkannya nyawanya dari kelaparan.
Suatu kesempitan menimbulkan keringanan dalam syariat Islam adalah  ditarik dari petunjuk-petunjuk Al-Qur’an juga. Misalnya dalam firman Allah SWT:
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ
Artinya: Dan Dia (Allah) tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Al-Maidah: 6).
Pada dasarnya jenjang hajiyat ini merupakan pelengkap yang mengokohkan, menguatkan, dan melindungi jenjang dharuriyat.
3)      Tahsiniyat,
Kebutuhan tahsiniyat ialah tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok di atas dan tidak pula menimbulkan kesulitan. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan al-Syatibi, hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak.[6]
Jenjang ini merupakan penambahan bentuk kesenangan dan keindahan dharuriyat dan hajiyat.
Pembelian merupakan bagian dari keseluruhan perbuatan manusia, yang dilakukan untuk memenuhi kebutahan jasmani (hajatu al-udhawiyah) dan naluri (gharizah) baik berupa sandang, papan, dengan segala kelengkapannya, pangan, sarana transportasi, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Semuanya adalah kebutuhan yang telah menjadi potensi kehidupan yang dianugerahkan Allah SWT kepada manusia.
Dalam pemasaran, istilah kebutuhan (need) bearti hasrat untuk memenuhi kebutuhan, keinginan (want) adalah hasrat terhadap pemuas spesifik untuk terpenuhinya kebutuhan itu. Misalnya, dalam ungkapan: “butuh makan, ingin soto ayam”. Kebutuhan bersifat terbatas pemenuhannya, sedangkan keinginan tidak terbatas.
Dalam Islam, ada kebijakan yang dinamakan politik ekonomi Islam. Politik ekonomi Islam adalah jaminan tercapainya pemenuhan semua kebutuhan primer (basic needs) tiap orang secara menyeluruh, berikut kemungkinan tiap orang untuk memenuhi kebutuh-kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kesanggupannya, sebagai individu yang hidup dalam sebuah masyarakat yang memiliki gaya hidup (life style) tertentu. Islam memandang tiap orang secara pribadi, bukan secara kolektif sebagai komunitas yang hidup dalam sebuah negara. Pertama kali, Islam memandang tiap orang sebagai manusia yang harus dipenuhi semua kebutuhan primernya secara menyeluruh. Baru, berikutnya, Islam memandangnya dengan kapasitas pribadinya untuk memenuhi kebutuhan-kebuthan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuannya.
Islam telah menjamin terpenuhinya hak hidup secara pribadi serta memberikan kesempatan kepada tiap orang tersebut untuk memperoleh kemakmuran hidupnya. Sementara pada saat yang sama, Islam telah membatasi perolehan harta orang tersebut, yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan primer serta kebutuhan sekunder dan tersiernya dengan ketentuan yang khas, termasuk yang menjadikan interaksi orang tersebut sebagai interaksi yang mengikuti gaya hidup yang khas pula. Karenanya, Islam mengharamkan tiap Muslim untuk memproduksi dan mengkonsumsi minuman keras.
B.     Keinginan
Keinginan yaitu kebutuhan yang dapat dipenuhi, dan kebutuhan-kebutuhan yang efektif. Yang artinya: “Dari Ibn Abbasra. Berkata: “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Apabila seorang anak Adam memiliki dua lembah harta, niscaya ia akan mencari lembah yang ketiga. Tidak ada yang memuaskan mulutnya kecuali tanah (kematian), dan semoga Allah saw memberi ampunan bagi orang yang bertaubat.”.
Hadits ini menerangkan sifat dan tabiat manusia, selalu memiliki keinginan yang tidak terbatas, terlepas apakah berupa keinginan positif atau negatif. Dengan dibekali keinginan inilah manusia memiliki potensi untuk memakmurkan bumu, di samping juga memiliki potensi untuk merusaknya.
Salah satu karakteristik keinginan manusia sifatnya tidak terbatas, seperti gambaran hadits di atas, jika manusia telah mendapatkan dua lembah emas niscaya masih mencari lembah emas yang ketiga dan seterusnya. Kenyataannya bahwa sifat keinginan manusia tidak terbatas merupakan fitrah dan tabiat alami setiap manusia yang diakui dalam Al-Qur’an. Memang, keinginan manusia juga menjadikan mereka mempunyai potensi untuk berbuat kerusakan, namun semua itu merupakan bagian dari sunnahtullah yang ada di muka bumi; ada siang dan ada malam, ada hitam dan ada putih, ada yang baik dan ada yang buruk, begitu seterusnya. Semua ini karena kehidupan di dunia diciptakan untuk menguji manusia, dan layaknya ujian hasilnya tidak ada yang seragam.
Dalam ilmu ekonomi sendiri, masalah keinginan manusia merupakan tema sentral dalam susunan paradigmanya. Disebutkan dalam pengertian ilmu ekonomi; sebagai ilmu yang membahas prilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan dan keinginannya yang terbatas terhadap sumberdaya yang terbatas.
Keinginan sama juga dengan harapan. Setiap manusia mempunyai harapan. Manusia tanpa harapan, berarti manusia mati dalam hidup. Orang yang akan meninggal sekalipun mempunyai harapan, biasanya berupa pesan-pesan kepada ahli warisnya.
Harapan tersebut tergantung pada pengetahuan, pengalaman, lingkungan hidup, dan kemampuan masing-masing. Misalnya, Budi yang hanya mampu membeli sepeda, biasanya tidak mempunyai harapan untuk membeli mobil. Seorang yang mempunyai harapan yang berlebihan tentu menjadi buah tertawaan orang banyak, atau orang itu, seperti peribahasa ”Si pungguk merindukan bulan”.
Berhasil atau tidaknya suatu  harapan tergantung pada usaha orang yang mempunyai harapan, misalnya Rafiq mengharapkan nilai A dalam ujian yang akan datang, tetapi tidak ada usaha, tidak pernah kuliah, Ia menghadapi ujian dengan santai. Bagaimana mungkin Rafiq memperoleh nilai A.
Harapan harus berdasarkan kepercayaan, baik kepercayaan pada diri sendir, maupun kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Agar harapan terwujud, maka perlu usaha dengan sungguh-sungguh. Manusia wajib selalu berdoa, Karena usaha dan doa merupakan sarana terkabulkan harapan.
Harapan berasal dari kata harap yang berarti keinginan supaya sesuatu terjadi; sehingga harapan berarti sesuatu  yang di inginkan dapat terjadi. Dengan demikian harapan menyangkut masa depan.
Antara harapan (keinginan) dan cita-cita terdapat persamaan, yaitu :
·         Keduanya menyangkut masa depan karena belum terwujud
·         Pada umumnya dengan cita-cita maupun harapan orang mengingikan hal yang lebih baik atua meningkat.
Selanjutnya, harapan manusia berada di akal sesuai dengan keahliannya atau kepangkatannya atau profesinya. Pada saat itu manusia mengembangkan bakat atau kepandainya agar ia diterima atau diakui kehebatannya.
Jika seseorang Muslim yang yakin akan Allah, ketika ia menginginkan sesuatu, maka ia akan berdoa pada Allah. Dalam Al-Quran banyak sekali kata-kata do'a dalam pengertian yang bebeda-beda:
Pertama, do'a dalam pengertian "Ibadah." Seperti dalam Al-Quran surah Yûnûs    ayat 106.
  وَلا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَنْفَعُكَ وَلا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِين
Artinya: "Dan janganlah kamu beribadah, kepada selain Allah, yaitu kepada sesuatu yang tidak dapat mendatangkan manfaat kepada engkau dan tidak pula mendatangkan madarat kepada engkau." (Yunus: 106).
Maksud kata berdo'a di atas adalah ber-"ibadah" (menyembah). Yaitu jangan menyembah selain daripada Allah, yakni sesuatu yang tidak memberikan manfaat dan tidak pula mendatangkan madarat kepadamu.
Kedua, doa dalam pengertian "Istighatsah" (memohon bantuan dan pertolongan). Seperti dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 23 dibawah ini.
وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ
Artinya: "Dan berdo'alah kamu (mintalah bantuan) kepada orang-orang yang dapat membantumu." (Al-Baqarah: 23).
Maksud kata ber-"doa" (wad'u) dalam ayat ini, adalah "Istighatsah" (meminta bantuan, atau pertolongan). Yaitu mintalah bantuan atau pertolongan dari orang-orang yang mungkin dapat membantu dan memberikan pertolongan kepada kamu.
Ketiga, Doa dalam pengertian "permintaan" atau "permohonan." Seperti dalam Al-Quran surah Al-Mu'min ayat 60 dibawah ini.
ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
Artinya: "Mohonlah (mintalah) kamu kepada-Ku, pasti Aku perkenankan (permintaan) kamu itu." (Al-Mukmin: 60).
Maksud kata "Doa" (ud'ûnî) dalam ayat ini adalah, "memohon" atau "meminta." Yaitu, mohonlah (mintalah) kepada Aku (Allah) nisscaya Aku (Allah) akan perkenankan permohonan (permintaan) kamu itu.
Maka atas dasar uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa "Doa" adalah ucapan permohonan (keinginan) dan pujian kepada Allah SWT. dengan cara-cara tertentu disertai kerendahan hati untuk mendapatkan kemaslahatan dan kebaikan yang ada disisi-Nya.
C.    Mengenal Manusia
Kita sering melihat perbedaan karakteristik manusia dalam berpikir, berkata, dan bertindak. Karakter setiap orang pasti ada perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. ini merupakan fenomena alamiah yang tidak pernah habis dibahas manusia. Karakteristik inilah yang kelak menentukan baik atau buruknya nilai perilaku seseorang menurut ukuran agama dan budaya masyarakat. Seseorang akan dikatakan baik bila perilakunya sesuai dengan ajaran agama, dan sebaliknya tidak sesuai dengan ajaran agama.
Proses dari berpikir hingga bertindak sesuai dengan ajaran agama tentu erat kaitannya dengan kendali unsur-unsur mansuia yang dimiliki seseorang. Dalam hal ini, sangat menarik apa yang diungkapkan al-Ghazali dalam karya besarnya Ihya Ulumuddin mengenai unsur-unsur manusia yang dimiliki seseorang. Menurutnya, manusia terdiri dari empat unsur, yakni ruh, nafs, ‘aql, dan qalb. Setiap unsur tersebut memiliki aktivitas yang berbeda, tetapi satu sama lain saling berhubungan dalam membentuk karakteristik seseorang. Baik atau buruknya karakteristik seseorang rupanya tergantung oada tingkat kesehatan ‘aql, qalb, dan nafs-nya. Tingkat kesehatan ‘aql, qalb dan nafs tersebut tidak muncul dengan sendirinya. Mereka harus dilatih terlebih dahulu. Keterpadua empat unsur manusia yang terlatih tersebut kelak mendorong kemajuan tingkat ke-Islaman, keamalan, dan ketakwaan seseorang.
Pada dasarnya, ‘aql merupakan rasio dan qalb merupakan rasa. ‘Aql atau akal adalah alat berpikir manusia. Manusia perlu berpikir dengan ‘aql berdasarkan standar rasio tertentu agar ia rasional. Manusia menghitung, mengukur, menalar, menganalisis, dan menafsirkan sesuatu dengan akalnya.
Dengan demikian, apa yang diinginkan akal ialah segala sesuatunya terukur, terhitung dan teranalisis dengan baik. Dalam Islam, keakuratan seperti ini sama dengan adil, karena adil menempatkan sesuatu pada tempat semestinya dan bertindak sesuai dengan tindakan yang seharusnya. Adil dapat pula diartikan memberikan sesuatu sesuai dengan yang seharusnya dia. Adil dapat pula diartikan memberikan sesuatu sesuai dengan yang seharusnya dia berikan baik itu menurut ukurannya atau jumlahnya. Atau menerima, sesuatu sesuai dengan yang seharusnya dia terima baik dalam ukuran maupun jumlahnya. Menurut rasio, hemat itu adil karena hemat memungkinkan seseorang memenuhi pos-pos konsumsi lain yang dibutuhkan saat itu.
Ada satu unsur manusia lagi yang belum dibahas, yakni nafs. Nafs adalah jiwa manusia, dia berbeda dengan yang dimiliki hewan dan tumbuh-tumbuhan.
D.    Fitrah Manusia Terhadap Agama
Keinginan kepada hidup beragama adalah salah satu dari sifat-sifat asli pada manusia. Itu adalah naluri, fitrahnya dan kecenderungannya yang telah menjadi pembawaannya, dan bukan sesuatu yang dibuat-buat atau sesuatu keinginan yang datang kemudian, lantaran pengaruhnya dari luar. Sama halnya dengan keinginannya kepada makan dan minum, berketurunan, memiliki harta benda berkuasa dan bergaul dengan sesama manusia. Oleh sebab itu, pada hakikatnya manusia merupakan makhluk yang berpikir, merasa, bersikap, dan bertindak, maka akal bukan satu-satunya alat kendali manusia. Karena di samping itu manusia masih memiliki qalbu (qalb) yang potensinya tak kalah penting dengan akal (‘aql). Apalah jadinya jika manusia hidup tanpa qalbu (qalb). Mereka akan selalu bersikap logis tanpa sadis. Ego mereka sangat mendominasi masing-masing, sehingga satu sama lain tidak ada yang pernah mengalah. Qalbu merupakan kendali rasa manusia. Qalbu yang mengkerut menyebabkan manusia buta lingkungan, tetapi qalbu yang mengembang membuat manusia dekat dengan Tuhan dan manusia-manusia lainnya.
E.     Iman dan Perilaku
Perasaan manusia terhadap Tuhan erat kaitannya dengan keimanan dan ketakwaan. Tuhan adalah Dzat Yang Maha Suci. Dia hanya bisa didekati oleh makhluk-makhluk-Nya yang suci. Proses penyucian ini mengharuskan manusia tidak hanya  berbuat baik pada Tuhan, tetapi harus pula berbuat baik kepada manusia. Misalnya, agar keimanannya sempurna, manusia tidak sekedar beribadah syakhsiah (individual), seperti shalat, puasa dan haji supaya dikasihi dan disayang Tuhan., tetapi harus pula beribadah ijtima’iyah (sosial), seperti zakat, sedekah dan berbuat baik terhadap orang lain. Oleh karena itu, tidak beriman seseorang manakala dia shalat, tetapi tidak zakat, atau zakat tetapi tidak shalat. Dua-duanya sama penting. Dalam rumusan ini dapat disimpulkan bahwa orang dekat dengan Tuhan berimplikasi pada pendekatannya dengan manusia, begitu pula sebaliknya.
Dalam kaitan ini, pada konsep keimanan dikenal pengertian ihsan. Ihsan terdiri atas dua macam, yakni ihsan terhadap Tuhan dan Ihsan terhadap manusia.
Tingkat keimanan dan ketakwaan seseorang memengaruhi unsur aql, naff, dan qalb-nya. Bila keimanan dan ketakwaan positif, maka ketiga unsur manusia tersebut positif pula. Keadaan inilah yang mendorong tuan A berhemat dan pantang terhadap hasrat untuk bermewah-mewahan. Indikator ‘aql positif adalah selalu berpikir sehat, nafs positif selalu membawa dirinya pada upaya menjadi manusia sempurna, dan qalb positif selalu ingin dekat dengan Tuhan dan berbuat baik terhadap sesama manusia.

BAB III
PENUTUP
Kebutuhan yaitu keinginan mutlak yang diperlukan manusia bagi kehidupan dan tanpanya manusia tidak dapat hidup, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain.
Kebutuhan manusia terdiri atas: (1) Dharuriyat yang mencakup: Agama (din), kehidupan (nafs), pendidikan (‘aql), keturunan (nasl), dan harta (mal). (2) Hajiyat, jenjang ini merupakan pelengkap yang mengokohkan, menguatkan, dan melindungi jenjang dharuriyat. (3) Tahsiniyat, jenjang ini merupakan penambahan bentuk kesenangan dan keindahan dharuriyat dan hajiyat.
Keinginan sama juga dengan harapan. Setiap manusia mempunyai harapan. Manusia tanpa harapan, berarti manusia mati dalam hidup. Orang yang akan meninggal sekalipun mempunyai harapan, biasanya berupa pesan-pesan kepada ahli warisnya. Harapan tersebut tergantung pada pengetahuan, pengalaman, lingkungan hidup, dan kemampuan masing-masing.
Karakter setiap orang pasti ada perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. ini merupakan fenomena alamiah yang tidak pernah habis dibahas manusia. Karakteristik inilah yang kelak menentukan baik atau buruknya nilai perilaku seseorang menurut ukuran agama dan budaya masyarakat. Seseorang akan dikatakan baik bila perilakunya sesuai dengan ajaran agama, dan sebaliknya tidak sesuai dengan ajaran agama.
Keinginan kepada hidup beragama adalah salah satu dari sifat-sifat asli pada manusia. Itu adalah naluri, fitrahnya dan kecenderungannya yang telah menjadi pembawaannya, dan bukan sesuatu yang dibuat-buat atau sesuatu keinginan yang datang kemudian, lantaran pengaruhnya dari luar.
Perasaan manusia terhadap Tuhan erat kaitannya dengan keimanan dan ketakwaan. Tuhan adalah Dzat Yang Maha Suci. Dia hanya bisa didekati oleh makhluk-makhluk-Nya yang suci. Proses penyucian ini mengharuskan manusia tidak hanya  berbuat baik pada Tuhan, tetapi harus pula berbuat baik kepada manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II, Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008.
Muhammad Muflih, Perilaku Konsumen Dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, Edisi 1, Cet-2, Jakarta: 2005.
Tom Gorman,  The Complete Ideal’s Guides: Economics, Edisi Pertama, Cet. Ke-1, Jakarta: Prenada, 2009.

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................           i
DAFTAR ISI................................................................................................          ii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................          1
BAB II PEMBAHASAN (Kebutuhan Versus Keinginan).......................          2
A.    Kebutuhan........................................................................................          2
B.     Keinginan..........................................................................................          6
C.    Mengenal Manusia...........................................................................          9
D.    Fitrah Manusia Terhadap Agama.................................................        10
E.     Iman dan Perilaku...........................................................................        11
BAB III PENUTUP.....................................................................................        12
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................        13


ii
 
 


[1] Tom Gorman,  The Complete Ideal’s Guides: Economics, Edisi Pertama, Cet. Ke-1, (Jakarta: Prenada, 2009), hal. 54.
[2] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, Edisi 1, Cet-2, (Jakarta: 2005), hal. 233. Dan lihat juga di: Muhammad Muflih, Perilaku Konsumen Dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 66-67.
[3] Ibid, hal. 234.
[4] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008), hal. 213.
[5] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II,…………. hal. 213-214.
[6] Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh…….hal. 236.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar