BAB
I
PENDAHULUAN
Terjadinya
transaksi hingga melakukan pembayaran dengan uang terhadap barang dan jasa
dikarenakan berbagai konsumen, kalangan bisnis, dan instansi pemerintah
memiliki berbagai macam kebutuhan dan keinginan.
Dalam
sebuah perekonomian pasar, jika ada permintaan akan sesuatu, maka pasti akan
ada orang yang bersedia menyediakannya atau menawarkannya. Penawaran merupakan
pasangan permintaan. Sedangkan permintaan berhubungan dengan keinginan dan
kebutuhan seseorang terhadap sesuatu.
Dalam
sebuah perekonomian pasar, segalanya memiliki harga, dan pembeli yang memiliki
permintaan (kebutuhan dan keinginan) selalu menginginkan harga yang lebih
rendah. Sementara penjual menginginkan harga yang lebih tinggi.[1]
Pada
bab selanjutnya, pemakalah akan membahas tentang Kebutuhan Versus Keinginan,
dan mengenai: Mengenal manusia, Kefitrahan Alam dan Manusia, Islam dan
Kefitrahan, Iman dan Prilaku.
BAB II
PEMBAHASAN
(Kebutuhan
Versus Keinginan)
A. Kebutuhan
Kebutuhan
yaitu keinginan mutlak yang diperlukan manusia bagi kehidupan dan tanpanya
manusia tidak dapat hidup, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dan
lain-lain.
Hingga
saat ini, umumnya orang berbeda pendapat bahwa kebutuhan pokok manusia terdiri
dari pangan, sandang, dan papan. Tanpa terpenuhnya tiga jenis kebutuhan ini
manusia tak akan bisa hidup dengan baik.
Menurut
al-Syathibi, rumusan kebutuhan manusia dalam Islam terdiri dari tiga jenjang, dharuriyat,
hajiyat dan tahsiniyat:[2]
1) Dharuriyat
(Primer)
Kebutuhan
dharuriyat ialah tingkat kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini
tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di
akhirat kelak.[3]
Kebuthan dharuriyat mencakup:
a. Agama
(din)
b. Kehidupan
(nafs)
c. Pendidikan
(‘aql)
d. Keturunan
(nasl), dan
e. Harta
(mal)
Untuk
memelihara lima pokok inilah syariat Islam diturunkan. Setiap ayat hukum bila
diteliti akan ditemukan alasan pembentukannya yang tidak lain adalah untuk
memelihara lima pokok yang di atas. Misalnya, firman Allah dalam mewajibkan Qisas:
وَلَكُمْ
فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الألْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: “Dan dalam kisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (Al-Baqarah: 179).
Dan
firman-Nya dalam mewajibkan qishas:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لا تَكُونَ
فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلا عُدْوَانَ إِلا عَلَى
الظَّالِمِينَ
Artinya: “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi
dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti
(dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap
orang-orang yang lalim.” (Al-Baqarah:
193).
Dari
ayat pertama diketahui mengapa disyariatkan qisash, karena dengan itu
ancaman terhadap kehidupan manusia dapat dihilangkan. Sedangkan pada ayat
kedua, tujuan disyariatkannya perang adalah untuk melancarkan jalan dakwah
ketika terjadi gangguan dan mengajak manusia untuk menyembah Allah.
Tujuan
yang bersifat dharuri merupakan tujuan utama dalam pembinaan hukum yang
mutlak harus dicapai. Oleh karena itu suruhan-suruhan syara’ dalam hal ini
bersifat mutlak dan pasti, serta hukum syara’ yang berlatar belakang pemenuhan
kebutuhan dharuri adalah “wajib” (menurut jumhur ulama) atau “fhardu”
(menurut ulama Hanafiah). Sebaliknya, larangan Allah berkaitan dengan dharuri
ini bersifat tegas dan mutlak. Hukum yang ditimbulkannya termasuk haram
dzati. Untuk mendukung pencapaian dari tujuan dharuri ini, syara’
menetapkan hukum-hukum pelengkap yang terurai dalam kitab-kitab fiqh.[4]
Lima
kebutuhan dharuriyat (esensial) yang mencakup din, nafs, ‘aql, nasl, dan
mal merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Bila satu jenis
yang sengaja diabaikan, akan menimbulkan ketimpangan dalam hidup manusia.
Manusia hanya dapat melangsungkan hidupnya dengan baik jika kelima macam
kebutuhan itu terpenuhi dengan baik pula. Inilah kiranya bentuk keseimbangan
kebutuhan hidup dan kehidupan di dunia dan di akhirat kelak.
2) Hajiyat
(Sekunder)
Kebutuhan
hajiyat ialah kebutuhan sekunder. Apabila kebutuhan tersebut tidak
terwujudkan, tidak akan mengancam keselamatannya, namun akan mengalami
kesulitan. Syari’at Islam menghilangkan kesulitan itu. Adanya hukum rukhsah (keinginan)
adalah sebagai contoh dari kepedulian Syari’at Islam terhadap kebutuhan ini.
Hal
yang disuruh syara’ melakukannya untuk melaksanakan kewajiban syara’ secara
baik. Hal ini disebut muqaddimah wajib. Umpamanya mendirikan sekolah
dalam hubungannya dengan menuntut ilmu untuk meningkatkan kualitas akal.
Mendirikan sekolah memang perlu, namun seandainya sekolah tidak didirikan tidak
bearti tidak akan tercapai upaya mendapatkan ilmu, karena menuntut ilmu itu
dapat dilaksanakan di luar sekolah. Kebutuhan akan sekolah itu berada pada
tingkat hajiyat. [5]
Dalam
lapangan ibadat, Islam mensyari’atkan beberapa hukum rukhsah
(keringanan) apabila mendapatkan kesulitan dalam menjalanjakan
perintah-perintah Allah. Misalnya, ia membolehkan tidak puasa apabila dalam
jarak tertentu dengan syarat diganti pada hari yang lain. Dan demikian halnya
orang yang sedang sakit.
Dalam
lapangan muamalah, disyariatkan banyak macam kontrak (akad), serta macam-macam
jual beli, sewa menyewa, syirkah (perseroan) dan mudharabah
(berniaga dengan modal orang lain dengan perjanjian laba). Dalam lapangan ‘uqubat
(sanksi hukum), Islam mensyariatkan hukum diyat (denda) bagi
pembunuhan tidak disengaja, dan menangguhkan hukuman potong tangan atas seorang
pencuri karena terdesak menyelamatkannya nyawanya dari kelaparan.
Suatu
kesempitan menimbulkan keringanan dalam syariat Islam adalah ditarik dari petunjuk-petunjuk Al-Qur’an
juga. Misalnya dalam firman Allah SWT:
…مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ…
Artinya: “Dan
Dia (Allah) tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Al-Maidah:
6).
Pada
dasarnya jenjang hajiyat ini merupakan pelengkap yang mengokohkan,
menguatkan, dan melindungi jenjang dharuriyat.
3) Tahsiniyat,
Kebutuhan
tahsiniyat ialah tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak
mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok di atas dan tidak pula
menimbulkan kesulitan. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap,
seperti dikemukakan al-Syatibi, hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat
istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias
dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak.[6]
Jenjang
ini merupakan penambahan bentuk kesenangan dan keindahan dharuriyat dan hajiyat.
Pembelian
merupakan bagian dari keseluruhan perbuatan manusia, yang dilakukan untuk
memenuhi kebutahan jasmani (hajatu al-udhawiyah) dan naluri (gharizah)
baik berupa sandang, papan, dengan segala kelengkapannya, pangan, sarana
transportasi, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Semuanya adalah kebutuhan
yang telah menjadi potensi kehidupan yang dianugerahkan Allah SWT kepada
manusia.
Dalam
pemasaran, istilah kebutuhan (need) bearti hasrat untuk memenuhi
kebutuhan, keinginan (want) adalah hasrat terhadap pemuas spesifik untuk
terpenuhinya kebutuhan itu. Misalnya, dalam ungkapan: “butuh makan, ingin soto
ayam”. Kebutuhan bersifat terbatas pemenuhannya, sedangkan keinginan tidak
terbatas.
Dalam
Islam, ada kebijakan yang dinamakan politik ekonomi Islam. Politik ekonomi
Islam adalah jaminan tercapainya pemenuhan semua kebutuhan primer (basic
needs) tiap orang secara menyeluruh, berikut kemungkinan tiap orang untuk
memenuhi kebutuh-kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar
kesanggupannya, sebagai individu yang hidup dalam sebuah masyarakat yang
memiliki gaya hidup (life style) tertentu. Islam memandang tiap orang
secara pribadi, bukan secara kolektif sebagai komunitas yang hidup dalam sebuah
negara. Pertama kali, Islam memandang tiap orang sebagai manusia yang harus
dipenuhi semua kebutuhan primernya secara menyeluruh. Baru, berikutnya, Islam
memandangnya dengan kapasitas pribadinya untuk memenuhi kebutuhan-kebuthan
sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuannya.
Islam
telah menjamin terpenuhinya hak hidup secara pribadi serta memberikan
kesempatan kepada tiap orang tersebut untuk memperoleh kemakmuran hidupnya.
Sementara pada saat yang sama, Islam telah membatasi perolehan harta orang
tersebut, yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan primer serta kebutuhan
sekunder dan tersiernya dengan ketentuan yang khas, termasuk yang menjadikan
interaksi orang tersebut sebagai interaksi yang mengikuti gaya hidup yang khas
pula. Karenanya, Islam mengharamkan tiap Muslim untuk memproduksi dan
mengkonsumsi minuman keras.
B. Keinginan
Keinginan
yaitu kebutuhan yang dapat dipenuhi, dan kebutuhan-kebutuhan yang efektif. Yang
artinya: “Dari Ibn Abbasra. Berkata: “Saya mendengar Rasulullah saw
bersabda: “Apabila seorang anak Adam memiliki dua lembah harta, niscaya ia akan
mencari lembah yang ketiga. Tidak ada yang memuaskan mulutnya kecuali tanah
(kematian), dan semoga Allah saw memberi ampunan bagi orang yang bertaubat.”.
Hadits
ini menerangkan sifat dan tabiat manusia, selalu memiliki keinginan yang tidak
terbatas, terlepas apakah berupa keinginan positif atau negatif. Dengan
dibekali keinginan inilah manusia memiliki potensi untuk memakmurkan bumu, di
samping juga memiliki potensi untuk merusaknya.
Salah satu karakteristik keinginan
manusia sifatnya tidak terbatas, seperti
gambaran hadits di atas, jika manusia telah mendapatkan dua lembah emas
niscaya masih mencari lembah emas yang ketiga dan seterusnya. Kenyataannya
bahwa sifat keinginan manusia tidak terbatas merupakan fitrah dan tabiat alami
setiap manusia yang diakui dalam Al-Qur’an. Memang,
keinginan manusia juga menjadikan mereka mempunyai potensi untuk berbuat
kerusakan, namun semua itu merupakan bagian dari sunnahtullah yang ada di muka
bumi; ada siang dan ada malam, ada hitam dan ada putih, ada yang baik dan ada
yang buruk, begitu seterusnya. Semua ini karena kehidupan di dunia
diciptakan untuk menguji manusia, dan layaknya ujian hasilnya tidak ada yang
seragam.
Dalam
ilmu ekonomi sendiri, masalah keinginan manusia merupakan tema sentral dalam
susunan paradigmanya. Disebutkan dalam pengertian ilmu ekonomi; sebagai ilmu
yang membahas prilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan dan keinginannya yang
terbatas terhadap sumberdaya yang terbatas.
Keinginan
sama juga dengan harapan. Setiap manusia mempunyai harapan. Manusia tanpa
harapan, berarti manusia mati dalam hidup. Orang yang akan meninggal sekalipun
mempunyai harapan, biasanya berupa pesan-pesan kepada ahli warisnya.
Harapan tersebut tergantung pada pengetahuan, pengalaman,
lingkungan hidup, dan kemampuan masing-masing. Misalnya, Budi yang hanya mampu
membeli sepeda, biasanya tidak mempunyai harapan untuk membeli mobil. Seorang
yang mempunyai harapan yang berlebihan tentu menjadi buah tertawaan orang
banyak, atau orang itu, seperti peribahasa ”Si pungguk merindukan bulan”.
Berhasil atau tidaknya suatu harapan tergantung pada usaha orang yang
mempunyai harapan, misalnya Rafiq mengharapkan nilai A dalam ujian yang akan
datang, tetapi tidak ada usaha, tidak pernah kuliah, Ia menghadapi ujian dengan
santai. Bagaimana mungkin Rafiq memperoleh nilai A.
Harapan harus berdasarkan kepercayaan, baik kepercayaan
pada diri sendir, maupun kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Agar harapan
terwujud, maka perlu usaha dengan sungguh-sungguh. Manusia wajib selalu berdoa,
Karena usaha dan doa merupakan sarana terkabulkan harapan.
Harapan berasal dari kata harap yang berarti keinginan
supaya sesuatu terjadi; sehingga harapan berarti sesuatu yang di inginkan dapat terjadi. Dengan
demikian harapan menyangkut masa depan.
Antara harapan (keinginan) dan cita-cita terdapat
persamaan, yaitu :
·
Keduanya
menyangkut masa depan karena belum terwujud
·
Pada
umumnya dengan cita-cita maupun harapan orang mengingikan hal yang lebih baik
atua meningkat.
Selanjutnya, harapan manusia berada di akal sesuai dengan
keahliannya atau kepangkatannya atau profesinya. Pada saat itu manusia
mengembangkan bakat atau kepandainya agar ia diterima atau diakui kehebatannya.
Jika seseorang Muslim yang yakin akan Allah, ketika ia
menginginkan sesuatu, maka ia akan berdoa pada Allah. Dalam Al-Quran banyak
sekali kata-kata do'a dalam pengertian yang bebeda-beda:
Pertama,
do'a dalam pengertian "Ibadah." Seperti dalam Al-Quran surah
Yûnûs ayat 106.
وَلا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا
يَنْفَعُكَ وَلا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِين
Artinya: "Dan janganlah kamu beribadah, kepada selain
Allah, yaitu kepada sesuatu yang tidak dapat mendatangkan manfaat kepada engkau
dan tidak pula mendatangkan madarat kepada engkau." (Yunus: 106).
Maksud
kata berdo'a di atas adalah ber-"ibadah" (menyembah). Yaitu jangan
menyembah selain daripada Allah, yakni sesuatu yang tidak memberikan manfaat
dan tidak pula mendatangkan madarat kepadamu.
Kedua,
doa dalam pengertian "Istighatsah" (memohon bantuan dan
pertolongan). Seperti dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 23 dibawah ini.
…وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ…
Artinya: "Dan berdo'alah kamu
(mintalah bantuan) kepada orang-orang yang dapat membantumu." (Al-Baqarah: 23).
Maksud
kata ber-"doa" (wad'u) dalam ayat ini, adalah "Istighatsah"
(meminta bantuan, atau pertolongan). Yaitu mintalah bantuan atau pertolongan
dari orang-orang yang mungkin dapat membantu dan memberikan pertolongan kepada
kamu.
Ketiga,
Doa dalam pengertian "permintaan" atau "permohonan."
Seperti dalam Al-Quran surah Al-Mu'min ayat 60 dibawah ini.
…ادْعُونِي أَسْتَجِبْ
لَكُمْ…
Artinya: "Mohonlah (mintalah) kamu
kepada-Ku, pasti Aku perkenankan (permintaan) kamu itu." (Al-Mukmin: 60).
Maksud
kata "Doa" (ud'ûnî) dalam ayat ini adalah, "memohon"
atau "meminta." Yaitu, mohonlah (mintalah) kepada Aku (Allah)
nisscaya Aku (Allah) akan perkenankan permohonan (permintaan) kamu itu.
Maka
atas dasar uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa "Doa" adalah
ucapan permohonan (keinginan) dan pujian kepada Allah SWT. dengan cara-cara
tertentu disertai kerendahan hati untuk mendapatkan kemaslahatan dan kebaikan
yang ada disisi-Nya.
C. Mengenal
Manusia
Kita
sering melihat perbedaan karakteristik manusia dalam berpikir, berkata, dan
bertindak. Karakter setiap orang pasti ada perbedaan antara yang satu dengan
yang lainnya. ini merupakan fenomena alamiah yang tidak pernah habis dibahas
manusia. Karakteristik inilah yang kelak menentukan baik atau buruknya nilai
perilaku seseorang menurut ukuran agama dan budaya masyarakat. Seseorang akan
dikatakan baik bila perilakunya sesuai dengan ajaran agama, dan sebaliknya
tidak sesuai dengan ajaran agama.
Proses
dari berpikir hingga bertindak sesuai dengan ajaran agama tentu erat kaitannya
dengan kendali unsur-unsur mansuia yang dimiliki seseorang. Dalam hal ini,
sangat menarik apa yang diungkapkan al-Ghazali dalam karya besarnya Ihya
Ulumuddin mengenai unsur-unsur manusia yang dimiliki seseorang. Menurutnya,
manusia terdiri dari empat unsur, yakni ruh, nafs, ‘aql, dan qalb.
Setiap unsur tersebut memiliki aktivitas yang berbeda, tetapi satu sama lain
saling berhubungan dalam membentuk karakteristik seseorang. Baik atau buruknya
karakteristik seseorang rupanya tergantung oada tingkat kesehatan ‘aql,
qalb, dan nafs-nya. Tingkat kesehatan ‘aql, qalb dan nafs
tersebut tidak muncul dengan sendirinya. Mereka harus dilatih terlebih dahulu.
Keterpadua empat unsur manusia yang terlatih tersebut kelak mendorong kemajuan
tingkat ke-Islaman, keamalan, dan ketakwaan seseorang.
Pada
dasarnya, ‘aql merupakan rasio dan qalb merupakan rasa. ‘Aql
atau akal adalah alat berpikir manusia. Manusia perlu berpikir dengan ‘aql
berdasarkan standar rasio tertentu agar ia rasional. Manusia menghitung,
mengukur, menalar, menganalisis, dan menafsirkan sesuatu dengan akalnya.
Dengan
demikian, apa yang diinginkan akal ialah segala sesuatunya terukur, terhitung
dan teranalisis dengan baik. Dalam Islam, keakuratan seperti ini sama dengan
adil, karena adil menempatkan sesuatu pada tempat semestinya dan bertindak
sesuai dengan tindakan yang seharusnya. Adil dapat pula diartikan memberikan
sesuatu sesuai dengan yang seharusnya dia. Adil dapat pula diartikan memberikan
sesuatu sesuai dengan yang seharusnya dia berikan baik itu menurut ukurannya
atau jumlahnya. Atau menerima, sesuatu sesuai dengan yang seharusnya dia terima
baik dalam ukuran maupun jumlahnya. Menurut rasio, hemat itu adil karena hemat
memungkinkan seseorang memenuhi pos-pos konsumsi lain yang dibutuhkan saat itu.
Ada
satu unsur manusia lagi yang belum dibahas, yakni nafs. Nafs adalah jiwa
manusia, dia berbeda dengan yang dimiliki hewan dan tumbuh-tumbuhan.
D. Fitrah
Manusia Terhadap Agama
Keinginan
kepada hidup beragama adalah salah satu dari sifat-sifat asli pada manusia. Itu
adalah naluri, fitrahnya dan kecenderungannya yang telah menjadi pembawaannya,
dan bukan sesuatu yang dibuat-buat atau sesuatu keinginan yang datang kemudian,
lantaran pengaruhnya dari luar. Sama halnya dengan keinginannya kepada makan
dan minum, berketurunan, memiliki harta benda berkuasa dan bergaul dengan
sesama manusia. Oleh sebab itu, pada hakikatnya manusia merupakan makhluk yang
berpikir, merasa, bersikap, dan bertindak, maka akal bukan satu-satunya alat
kendali manusia. Karena di samping itu manusia masih memiliki qalbu (qalb)
yang potensinya tak kalah penting dengan akal (‘aql). Apalah jadinya
jika manusia hidup tanpa qalbu (qalb). Mereka akan selalu bersikap logis
tanpa sadis. Ego mereka sangat mendominasi masing-masing, sehingga satu sama
lain tidak ada yang pernah mengalah. Qalbu merupakan kendali rasa manusia.
Qalbu yang mengkerut menyebabkan manusia buta lingkungan, tetapi qalbu yang
mengembang membuat manusia dekat dengan Tuhan dan manusia-manusia lainnya.
E. Iman
dan Perilaku
Perasaan
manusia terhadap Tuhan erat kaitannya dengan keimanan dan ketakwaan. Tuhan
adalah Dzat Yang Maha Suci. Dia hanya bisa didekati oleh makhluk-makhluk-Nya
yang suci. Proses penyucian ini mengharuskan manusia tidak hanya berbuat baik pada Tuhan, tetapi harus pula
berbuat baik kepada manusia. Misalnya, agar keimanannya sempurna, manusia tidak
sekedar beribadah syakhsiah (individual), seperti shalat, puasa dan haji
supaya dikasihi dan disayang Tuhan., tetapi harus pula beribadah ijtima’iyah
(sosial), seperti zakat, sedekah dan berbuat baik terhadap orang lain. Oleh
karena itu, tidak beriman seseorang manakala dia shalat, tetapi tidak zakat,
atau zakat tetapi tidak shalat. Dua-duanya sama penting. Dalam rumusan ini
dapat disimpulkan bahwa orang dekat dengan Tuhan berimplikasi pada pendekatannya
dengan manusia, begitu pula sebaliknya.
Dalam
kaitan ini, pada konsep keimanan dikenal pengertian ihsan. Ihsan terdiri atas
dua macam, yakni ihsan terhadap Tuhan dan Ihsan terhadap manusia.
Tingkat
keimanan dan ketakwaan seseorang memengaruhi unsur aql, naff, dan qalb-nya.
Bila keimanan dan ketakwaan positif, maka ketiga unsur manusia tersebut positif
pula. Keadaan inilah yang mendorong tuan A berhemat dan pantang terhadap hasrat
untuk bermewah-mewahan. Indikator ‘aql positif adalah selalu berpikir
sehat, nafs positif selalu membawa dirinya pada upaya menjadi manusia
sempurna, dan qalb positif selalu ingin dekat dengan Tuhan dan berbuat
baik terhadap sesama manusia.
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
Kebutuhan
yaitu keinginan mutlak yang diperlukan manusia bagi kehidupan dan tanpanya
manusia tidak dapat hidup, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dan
lain-lain.
Kebutuhan
manusia terdiri atas: (1) Dharuriyat yang mencakup: Agama (din), kehidupan (nafs), pendidikan (‘aql), keturunan (nasl), dan harta (mal). (2) Hajiyat, jenjang ini merupakan pelengkap yang
mengokohkan, menguatkan, dan melindungi jenjang dharuriyat.
(3) Tahsiniyat,
jenjang ini
merupakan penambahan bentuk kesenangan dan keindahan dharuriyat dan hajiyat.
Keinginan
sama juga dengan harapan. Setiap manusia mempunyai harapan. Manusia tanpa
harapan, berarti manusia mati dalam hidup. Orang yang akan meninggal sekalipun
mempunyai harapan, biasanya berupa pesan-pesan kepada ahli warisnya. Harapan tersebut tergantung pada pengetahuan, pengalaman,
lingkungan hidup, dan kemampuan masing-masing.
Karakter
setiap orang pasti ada perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. ini
merupakan fenomena alamiah yang tidak pernah habis dibahas manusia.
Karakteristik inilah yang kelak menentukan baik atau buruknya nilai perilaku seseorang
menurut ukuran agama dan budaya masyarakat. Seseorang akan dikatakan baik bila
perilakunya sesuai dengan ajaran agama, dan sebaliknya tidak sesuai dengan
ajaran agama.
Keinginan
kepada hidup beragama adalah salah satu dari sifat-sifat asli pada manusia. Itu
adalah naluri, fitrahnya dan kecenderungannya yang telah menjadi pembawaannya,
dan bukan sesuatu yang dibuat-buat atau sesuatu keinginan yang datang kemudian,
lantaran pengaruhnya dari luar.
Perasaan
manusia terhadap Tuhan erat kaitannya dengan keimanan dan ketakwaan. Tuhan
adalah Dzat Yang Maha Suci. Dia hanya bisa didekati oleh makhluk-makhluk-Nya
yang suci. Proses penyucian ini mengharuskan manusia tidak hanya berbuat baik pada Tuhan, tetapi harus pula
berbuat baik kepada manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh II, Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008.
Muhammad Muflih, Perilaku
Konsumen Dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Satria
Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, Edisi 1, Cet-2, Jakarta: 2005.
Tom
Gorman, The Complete Ideal’s Guides:
Economics, Edisi Pertama, Cet. Ke-1, Jakarta: Prenada, 2009.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
BAB I
PENDAHULUAN........................................................................... 1
BAB II
PEMBAHASAN (Kebutuhan Versus Keinginan)....................... 2
A. Kebutuhan........................................................................................ 2
B. Keinginan.......................................................................................... 6
C. Mengenal
Manusia........................................................................... 9
D. Fitrah
Manusia Terhadap Agama................................................. 10
E. Iman
dan Perilaku........................................................................... 11
BAB III PENUTUP..................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 13
|
[1] Tom Gorman, The Complete Ideal’s Guides: Economics,
Edisi Pertama, Cet. Ke-1, (Jakarta: Prenada, 2009), hal. 54.
[2] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul
Fiqh, Edisi 1, Cet-2, (Jakarta: 2005), hal. 233. Dan lihat juga di: Muhammad
Muflih, Perilaku Konsumen Dalam Perspektif
Ilmu Ekonomi Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 66-67.
[3] Ibid, hal. 234.
[4] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh
II (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008), hal. 213.
[5] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh
II,…………. hal. 213-214.
[6] Satria Effendi, M. Zein, Ushul
Fiqh…….hal. 236.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar